Arkan terbangun ketika suara terompet begitu menggelegar terdengar. Tak lama kemudian aroma tak sedap menyapa kedua lubang penciumannya. Pria itu mengerutkan dahi dalam pejam matanya. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Hawa mengantuk masih kian menguasai. Padahal mentari pagi telah menerpa sejak beberapa menit yang lalu. Suara gaduh dari arah dapur juga tak mampu membuat pria itu berhasil membuka mata.
"Aduh, pengen eek..."
Prooottt...
Ketika suara terompet yang lebih dahsyat itu kembali terdengar dan menebarkan aroma memabukkan, kesadaran akhirnya menyapa diri Arkan. Ia terkejut, lantas terduduk sembari menutup kedua lubang hidungnya. Ketika terbangun, ia baru sadar bahwa sejak tadi Daneen tengah menungging tepat di depan wajahnya.
"Nin! Kamu ngapain?"
Daneen berbalik, wajahnya berkerut menahan sesuatu yang hendak keluar. "Tadi, tadi Anin bajah sowat. Tapi, peyut Anin sakit. Anin tentut. Endak tahan Anin, tuh. Jadi Anin tentut. Napa?" tanya anak itu dengan kerjapan polos sepolos pantat wajan yang baru dibeli.
"Kenapa belajar sholat di depan Papa yang lagi tidur? Mana kentutin Papa lagi. Bau, Nin."
Bibir anak itu mengerucut. Tapi kemudian wajahnya berubah, ia meringis sembari memegangi perut bulatnya. "Aduh. Anin mo eek." Daneen berdiri, lantas berlari menuju dapur. "Bi Acuuum. Anin mo e'eeek..."
"Eh? Buka celananyaaa... Ayooo..."
Arkan hanya menggelengkan kepala ketika suara ribut Bi Kulsum yang panik karena Daneen hendak buang air. Tapi, setidaknya dengan segala tingkah polah Bi Kulsum, suasana rumah berlantai tiga itu tak terlalu tegang atau sunyi. Rumah yang dibangun demi membuktikan rasa sayang dan cintanya terhadap sang istri kini tak lagi memberikan kehangatan. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran tiada akhir.
Pria itu meraup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ia harus bersabar dalam menghadapi tingkah sang istri yang begitu berapi-api. Semalam, dirinya hanya merasa sangat lelah dan begitu banyak beban pikiran. Tiba di rumah disambut wajah kecut sang istri dan tanpa sapaan hangat seperti yang ia harapkan, membuat emosinya tersulut. Ia tak tahan hanya berdiam diri membiarkan Dhara terus bertingkah demikian, seolah membuat diri sang suami tidak berguna sama sekali. Arkan merasa harga dirinya sebagai seorang suami diinjak-injak sesuka hati.
"Sabar, Arkan. Istrimu lagi hamil. Dia begitu mungkin karena pembawaan bayi." Arkan berusaha menyabarkan dirinya sendiri. Ia ingat bahwa ada dua bayi yang harus diperhatikan. Jika ia mengikuti segala emosi yang terpancing, Dhara dan bayinya dalam bahaya.
Ting Tong.
Dahi Arkan berkerut. Pria itu menengok jam yang tergantung di dinding ruang tengah. "Siapa yang bertamu pagi-pagi gini?"
Ting Tong.
Lagi, bell rumahnya kembali dibunyikan. Arkan bangkit. Ia beranjak untuk membuka pintu dan melihat siapa orang yang bertamu pagi-pagi seperti itu. Begitu pintu terbuka, kerutan dahi Arkan semakin bertambah. "Anisa?"
Tamu itu ternyata adalah Anisa. Senyum wanita itu terpahat sempurna. Arkan sempat terhipnotis selama beberapa saat. Maklum, lama dirinya tak diberikan senyum semanis itu oleh Dhara. Tapi, pria itu segera menyadarkan diri. "Ada apa?"
"Ini, aku bikin kue tadi pagi. Kue sederhana, sih. Aku lagi seneng belajar masak akhir-akhir ini. Jadi, ini aku ngasih kalian juga buat nyobain. Siapa tau kalian suka." Anisa mengulurkan kue bolu coklat dengan topping keju itu pada Arkan.
Belum sempat Arkan menolak, bocah kecil hobi makan itu tiba-tiba berlari ke arahnya dan memekik girang. "Kueeeeh... Anin mau kueeeh..." bahkan ia mengabaikan bawahannya yang polos karena Bi Kulsum belum sempat mengenakan anak itu celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiddos (Tamat)
General FictionBagaimana jika orang pelit dan tak peka seperti Arkan Mikail dihadapkan pada tingkah anak-anaknya dengan karakter yang berbeda? Menjadi orangtua dari dua anak angkat dan satu anak kandung bukanlah sesuatu yang mudah. Merawat satu anak seperti Danee...