Chanyeol terlihat putus asa. Di hadapanku yang sedang terbaring. Seulgi di sana juga. Tapi dia diam. Sibuk menjahit tanganku yang terluka. Kami semua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Aku tahu, ini akan berat Chanyeol tanggung. Setiap orang tidak ada yang siap mati. Dan Chanyeol sedang berhadapan dengan penyakit yang membawanya kepada kematian. Sayangnya, aku tidak bisa berbuat apapun.
"Pas kamu pingsan, aku diperiksa lagi. Kata Jungsoo, tumornya sudah cukup besar," kata Chanyeol memecah keheningan. Aku mengusap pipinya hangat. Kumis dan janggut tipis terlihat di sana. Dalam situasi biasa, aku akan berteriak. Lalu memaksa Chanyeol masuk ke dalam kamar mandi untuk mencukurnya.
Tapi sekarang. Bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak mampu. "Kamu pasti sembuh. Kalau rajin berobat dan minum obat," aku berusaha untuk menguatkannya. Meskipun aku sendiri merasa rapuh.
Chanyeol menunduk dalam. "Jungsoo juga bilang, kalau..." jemari Chanyeol meraba dadanya. Enggan menyebutkan apa yang ada di dalam pikirannya. "Ini belum ada obatnya. Bahkan dengan operasi."
Getar suara Chanyeol memang lembut. Tapi bisa menyayat hatiku. Membuat air mataku turun lagi. Lalu segera kuseka. Aku tidak ingin terlihat sedih di hadapan Chanyeol. Karena yang sekarang dibutuhkan oleh dia adalah semangat yang tulus. Yang mungkin hanya bisa aku berikan.
Tidak lama, Chanyeol menciumi telapak tanganku. "Aku pengen buat kami bahagia Wan. Pas aku tahu aku sakit, semuanya runtuh. Kebahagiaan kamu seketika hancur. Aku sedih lihat kamu sedih karena aku," dia genggam lagi tangan itu.
Aku tidak ingin menangis. Sekuat tenaga aku tahan air yang membendung untuk tidak melewati bingkai mata. Aku berusaha tersenyum. Lebar, memperlihatkan gigi-gigi beraturanku. Tapi, gagal, ketika Chanyeol yang memecahkan tangisnya dulu. Dia terisak dalam lipatan tangannya. Meninggalkan bahunya yang bergetar hebat.
Seulgi yang merasa canggung dengan situasi tersebut pamit dalam diam. Membuat aku mengangguk dan mempersilakan dirinya meninggalkan kami.
Lengan yang terbebas dari rengkuhan Chanyeol aku usap-usapkan ke bahunya yang bidang. Aku merengkuh kepalanya. Menciumnya sesekali. Ini akan menjadi hal yang paling sulit yang pernah dia lalui. Dan aku bersumpah akan ada terus bersama Chanyeol. Apapun nanti yang terjadi.
"Chaan, udah dong. Kamu pasti sembuh. Aku jamin. Aku akan berusaha sekeras apapun untuk bisa nemuin cara kamu bisa sembuh. Kamu harus percaya sama aku," aku mengangkat kepalanya. Tidak memdulikan jika lenganku yang sempat terluka itu menimbulkan rasa perih luar biasa.
Jemariku menangkupnya. Menciumnya sekilas. Lalu tersenyum. "Percaya sama aku, aku akan menjadi dokter yang baik buat kamu. Menyembuhkan kamu, dan kamu nggak perlu khawatir," kataku berusaha meyakinkan. Meskipun faktanya, aku sendiri ragu dengan kemampuanku.
"Aku nggak bisa percaya siapapun Wan. Kalau aku pergi, aku takut kamu nggak bahagia sama siapapun. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, aku mau disini terus. Sama kamu, please.." Chanyeol menatapku getir.
Aku? Aku terluka begitu besar. Aku juga sama takutnya. Tapi, aku tidak bisa memperlihatkan ketakutanku kepada Chanyeol. Jadi yang aku lakukan hanya membalas tatapannya dengan kekuatan yang tersisa.
"Makanya kamu harus percaya sama aku. Aku bakal melakukan yang terbaik untuk kamu. Apapun itu,"
Chanyeol tidak menjawab. Dia hanya menarikku ke dalam pelukkannya. "Tolong aku Seungwan. Please."
×××
Seseorang akan terlihat sakit hanya karena dia tahu bahwa ada penyakit yang bersarang dalam dirinya. Begitu juga Chanyeol. Yang tidak berminat melakukan apapun. Dia kehilangan semangat. Bahkan untuk memasak.
Malam ini dia akan bertemu dengan Junmyeon. Dia akan mengajukan libur panjang. Atau memilih pensiun dini. Karena di kepalanya, sudah hilang catatan-catatan untuk memasak makanan terenak di restoran. Dia tidak punya pilihan selain akan fokus pada kesehatannya.
"So?" Kata Junmyeon yang baru saja tiba. "Jadi benar kamu sakit, Chan?" Kata dia lagi lalu meneguk air putih yang sengaja dipesankan Chanyeol.
Chanyeol menarik ujung bibirnya. Dia sendiri masih tidak percaya kalau saat ini, ada penyakit yang sedang dia idap. Lucu. Tapi tidak jauh lebih lucu dari obrolannya dengan Jungsoo tadi pagi.
Dirabanya dada yang masih berdetak itu. Ini nyata. Tapi sebentar lagi mungkin dia tidak bisa melakukannya. "Setiap penyakit punya presentase kemungkinan terburuk. Untuk kamu, 80 persen," masih dia ingat bagaimana Jungsoo dengan mudahnya membicarakan kemungkinannya bertahan. Hanya 20 persen.
"Kamu sudah berkerja di restoranku selama delapan tahun. Dan sepertinya hanya sesekali kamu mengambil libur. Aku izinkan kamu mengambil cuti panjang. Tanpa batas, dengan satu syarat," Junmyeon mengangkat jemarinya. Memanggil pelayan. Lalu memesan beberapa makanan kecil sebagai camilan.
Chanyeol masih sabar untuk menunggu kalimat yang akan disampaikan oleh Junmyeon. Bisa jadi satu hal yang penting yang harus dia siapkan untuk mengambil libur panjang tanpa akhir yang jelas. Sampai pelayan pergi, baru Junmyeon menatap Chanyeol lekat-lekat.
"Chan, nikahi Seungwan," kata dia pelan.
Chanyeol menatap kaget Junmyeon. Itu tidak mungkin. Dia sakit. Seharusnya dia fokus dengan penyembuhannya. Saran yang diberikan Junmyeon tidak masuk akal.
"Aku tahu separah apa kamu sakit. Irene menceritakannya. Dan anehnya, kamu menjadi trending topic di Yonsei University Hospital." Nada Junmyeon berubah menjadi setengah malas. Tapi dia kemudian melanjutkan. "Pada akhirnya informasi betapa parahnya penyakitmu juga ikut tersebar."
Junmyeon membetulkan letak kerahnya. "Aku sejujurnya tidak peduli kapan kamu hidup dan sampai kapan kamu eksis di muka bumi ini. Meskipun, ya mungkin aku akan menangis jika kamu meninggal."
Sialan. Tidak ada yang sefrontal Junmyeon soal seperti ini.
"Setiap orang akan meninggal. Yeah. Dan kita harus mempersiapkannya. Kalau aku jadi kamu, aku ingin memastikan kebahagiaan Seungwan. Meninggalkan kenangan yang tidak terlupakan. Menikahinya misalnya, melakukan apa yang dia inginkan,"
Chanyeol menyimak. Kemudian dia menanggapinya dengan kalimat, "Seungwan tidak pernah biacara kalau dia ingin menikah," katanya.
Junmyeon menghela nafas kesal. "Seungwan tidak bicara karena kamu tidak memancing. Chan, perempuan dimanapun sama. Intinya butuh pengakuan dan komitmen. Meski tidak sakitpun, kamu harus menikahi Seungwan."
"Junmyeon aku sakit. Kenapa kita tidak fokus dengan penyembuhanku saja dibanding harus menikahi Seungwan," kata Chanyeol setengah mati kesal.
"Karena kita nggak tahu Chan. Apakah usia kita akan bertahan sampai kapan. Kenapa kita harus fokus pada situasi yang memang akan terjadi dibanding memedulikan orang yang peduli terhadap kita? Kematian itu pasti. Sembuh atau tidak kamu nantinya, kamu pasti mati. Tapi membuat Seungwan bahagia?"
Pesanan Junmyeon datang, menginterupsi percakapan panas itu. Baru setelah pelayan pergi, Junmyeon melanjutkan kalimatnya. "Mungkin besok kamu bisa mati. Tapi membahagiakan Seungwan. Jika tidak berupaya, kamu tidak akan pernah bisa membahagiakannya,"
Chanyeol tidak tahu untuk siapa pesanan itu. Karena sesaat setelah menyampaikan kalimat itu, Junmyeon pergi meninggalkannya. "Manfaatkan kesempatan ini," kata Junmyeon yang sudah satu langkah meninggalkannya.
Lama Chanyeol termenung, sampai sebuah sentuhan menyadarkannya. "Seungwan? Kamu ngapain disini?".
×××
Aku yang lagi kobam lagu2 enak SM. Long Flight nya Taeyong. EXO SC. Sampai dengan Highway To Heavennya NCT 127 eng ver. Huweeee. Dari dulu sih SM kek gini. Wkwkwk.
Udah ah. Silakan raemin.
Ohya kalau aku bikin FF NCT ada yg mau baca ? Hehehe
![](https://img.wattpad.com/cover/190016862-288-k120467.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Atrium ✔
Hayran KurguDokter bedah berpengalaman sekalipun, tidak akan pernah mau membelah dada orang yang dicintainya sendiri. -Son Seungwan Karena aku percaya kamu bisa. Jadi kamu juga harus percaya bahwa kamu bisa. -Park Chanyeol Disclaimer : You might never find the...