14. Mulai Sakit

923 165 10
                                        

Aku tertidur di atas dada Chanyeol yang masih tidak mau bangkit dari sofa. Dia tetap melihat tayangan televisi yang menunjukkan acara memasak di Australia. Aku tahu dan menyadari kesedihan Chanyeol. Berhenti berkerja di restoran seperti sebuah mimpi buruk yang jadi kenyataan. Dia memolih berhenti. Meskipun aku tidak memintanya, Chanyeol memilih untuk fokus pada pengobatannya.

Semenjak aku kembali dari rumah sakit, dia sudah terlihat di depan TV. Mungkin benar jika kini Chanyeol kehilangan semangat hidupnya. 50 persen dari nafasnya adalah aku, 30 persennya adalah memasak. Dan sisanya adalah untuk beberapa hal yang tidak jelas keberadaannya.

Aku pun menyadari jika Chanyeol mungkin merasa kosong. Dua hari lalu, setelah dia memilih mundur dari pekerjaannya. Aku masih ingat di malam, ketika dia memutuskan untuk tidak menyalakan lampu apapun pada saat tidur. Biasanya, kami kan tetap menyalakan lampu tidur yang redup. Tapi malam itu tidak.

Aku belum tidur, mendengar dia terisak. Tidak keras. Tapi cukup terdengar. Aku memeluknya malam itu, mengusap punggungnya. Yang belakangan ini, lebih sering bergetar. Bukan tertawa. Justru sebaliknya. Membuatku mereasa lebih tertekan.

Hal yang paling membuatku tertekan pada dasarnya bukanlah eksistensi Chanyeol atau segala macam hal yang sedang menimpanya. Melainkan ketika aku tidak bisa menjelaskan rasa tertekanku kepada siapapun. Sementara aku terus disibukkan untuk mencari jurnal yang aku butuhkan selama memberikan perawatan kepada Chanyeol.

Kadang kala, aku ingin bersandar. Seperti biasa kepada Chanyeol. Menceritakan apapun yang bisa aku jelaskan. Sayangnya sekarang tidak bisa. Keresahanku adalah murni untuk Chanyeol. Bagaimana bisa aku membicarakan semuanya kepada orang yang aku resahkan?

"Wan," Chanyeol memanggilku. Sayangnya menggantung begitu saja. Beberapa saat kemudian, dia mengusap puncak kepalaku, "kalau kita nikah, masih mau tinggal disini atau di rumah yang udah aku siapin?"

Aku tercenung, bukan soal Chanyeol menyembunyikan fakta bahwa dia memiliki rumah lain dibandingkan apartemen ini. Aku lebih terkejut ketika dia memilih membahas pernikahan. Entah sejak kapan aku memastikan danmemutuskan untuk tidak memusinhkan pernikahan. Aku mulai memahami jika Chanyeol adalah laki-laki independen yang tidak mengakhiri sebuah hubungan dengan menikah.

Jadi aku diam saja. Takut kalau ternyata aku salah dengar. Selain itu, jika memang Chanyeol sedang serius dengan kalimatnya. Mungkin dia akan mengulang. Memastikan bahwa aku mendengar apa yang dia katakan.

"Kamu, mau nggak nikah sama aku Wan?" kata Chanyeol lagi. Barulah kali ini aku menatap matanya yang masih lurus menatap layar TV. Tidak menatapku, seolah sedang melafalkan apa yang dia hapalkan sebelum kami memutuskan menghabiskan waktu di ruang TV.

Aku menarik nafas sebentar, kemudian menggenggam jemarinya. "Kamu habis hapalin skrip drama mana nih?" begitu kataku disusul tawa kecil. Chanyeol tidak menanggapi gurauanku. Membuat aku jadi diam dan mulai memahami. Kalau dia serius dengan apa yang dikatakannya.

"Tumben banget sih, ngomongin nikah."

Aku duduk tegak, kemudian menatapnya yang kini masih tidak berubah. Sambil menarik nafas, aku genggam jemarinya lagi yang tadi terlepas. Membuat dia menatapku. Tidak ada apapun yang bisa aku baca dari tatapan itu. Terlalu ambigu.

"Kenapa kita harus menikah?" kataku.

Jujur, setelah menahan diri untuk tidak melamar Chanyeol lebih dulu, aku tidak banyak berharap soal pernikahan. Dia terlalu membingungkan. Membuatku juga bingung. Apakah pernikahan adalah akhir yang indah bagi hubungan kami? Aku berusaha melupakannya. Dan sekarang, aku bisa memahaminya.
"Kamu benar, dulu pertanyaan aku juga gitu. Kenapa harus menikah, padahal kita bahagia-bahagia saja sekarang," kata dia kemudian tersenyum. "Tapi, kamu memangnya nggak mau menikah sama aku?" ternyata pertanyaan itu belum berakhir.

Aku ingin berteriak di hadapannya. Kalau aku ingin dinikahinya. Bukankan, mimpi perempuan dewasa adalah menikah dengan orang yang mencintai dan dicintainya? Aku juga. Tapi sudah cukup. Sekarang mimpinya berubah menjadi sangat sederhana. Chanyeol sembuh. Dan aku akan menuruti apa kemauan Chanyeol nantinya.

"Mau dong. Kamu ganteng, kaya, baik, siapa yang nggak mau sama kamu? Tapi balik lagi, menikah itu adalah kesepakatan yang sulit. Aku dulu ingin sekali menikah. Tapi, makin kesini yang aku berpikir, apakah pernikahan bisa meningkatkan kualitas hubungan kita?"

Chanyeol mengangguk sepaham. "Mungkin ada, tapi kita nggak tahu, karena satupun dari kita belum ada yang menikah. Mau minta nasihat juga nggak tahu ke siapa, karena teman-teman kita belum menikah."

Kemudian aku menyahut, "Selama ini kita bisa mengatasi hubungan ini dengan baik tanpa menikah. Nanti mungkin ada masanya, untuk kita membutuhkan pernikahan."

Belum selesai aku menjelaskan, Chanyeol segera memotong. "Benar, misalnya, kebutuhan laki-laki," lalu tertawa kecil. Aku juga.

Lama kami terdiam setelah tawa kecil sahut bersahut. Aku jadi memikirkan sesuatu, "Chan, kamu laki-laki normal kan?"

XXX

Aku mungkin tidak pernah tahu jika tidak ada pertanyaan, apakah Chanyeol laki-laki normal. Karena sejujurnya tidak pernah ada gelagat aneh yang bisa membuatku kahwatir berduaan bersamanya. Aku jadi berpikir apakah hubungan kami, aku dan Chanyeol merupakan sebuah alibi yang digunakan CHanyeol untuk menutupi jati dirinya sebagai orang lain.

"Kamu pikir, aku ngapain ke kamar mandi tengah malam kalau bukan pengen kamu?" kata Chanyeol sebal.

Ya aku tidak tahu. Yang aku tahu, tiap dini hari di tengah kantuk, Chanyeol akan menghabiskan waktunya di kamar mandi selama beberapa puluh menit. Pikirku dia sedang buang air besar. Jadi untuk apa juga aku bertanya, mengenai apa yang dia lakukan sepagi itu di kamar mandi.

Pelan-pelan aku silangkan tangan di depan dada. Membuat sebuah pertahanan. "Yakin kamu nggak ngapa-ngapain?" tanyaku penuh selidik.

Chanyeol frustasi. Diamengusap wajahnya kasar. Kemudian, "Tahu kamu curiga gini. Ya aku mending ngapa-ngapain lah," katanya gemas.

Kami berdua punya kesepakatan. Sex sebelum menikah adalah hal yang masih tabu bagi keluarga kami. Tinggal bersama bukan berarti kami hidup bebas. Melakukan apapun sesuka hati. Kami tinggal di Negara penuh norma. Tidak perlu melakukan kesalahan yang ditetapkan dalam hukum Negara untuk tidak melakukan hal buruk. Sebab sebenarnya kesalahan kecil saja, semua manusia memiliki hukuman yang harus diterima. Misalnya, dikucilkan oleh lingkungan tempat tinggal.

"Kamu bisa aja sih ya dapatin sebenarnya," aku buka suara, duduk lebih rileks dari biasanya. Kemudian, "Kalau menikah, kamu bisa melakukan apapun. Kalau sekarang, nggak bisa."

Chanyeol mengusap kepalaku lembut, lalu senyum lebar mengembang, "Aku nggak menikahi kamu untuk memuaskan sesuatu yang aku bisa tahan. Seungwan, kamu terlalu berharga. Aku cuma mau menikahi kamu, ketika kamu memang membutuhkan aku sebagai suami, dan aku akan memastikan aku selalu ada," begitu katanya.

Aku akan selalu merasa tersanjung dengan apa yang dikatakan Chanyeol sekarang. Dia menghargaiku bukan hanya sebagai kekasihnya. Tapi sebagai perempuan juga. "jangan gitu, aku jadi senang nih dengarnya," aku tertawa kecil, memperlihatkan deretan gigi yang baru di scaling.

"Loh, kamu tahu nggak kenapa aku ada di sini sekarang? Di depan kamu?"

Aku menggeleng.

Dia tersenyum. Kemudian, "buat kamu bahagia."

Aku ingin memukul bahunya. Kalau saja dia tidak tiba-tiba menggenggam dadanya yang terlihat sakit. Senyum yang mengembang diganti dengan kerutan dalam di dahi. Chanyeol terlihat menahan sesuatu. Aku segera menyentuh dadanya. Dan menatapnya serius.

"Aku panggil ambulans," kataku sesegera mungkin saat tahu ada yang tidak beres dalam tubuh Chanyeol. Aku mencari ponsel, menelpon rumah sakit. Mengakses ruang VVIP untuk siap diisi oleh Chanyeol. Sambil air mata yang menetes diam-diam, membasahi  pipi yang sebelumnya naik beberapa senti karena tersenyum dengan gurauan Chanyeol.

×××

READY FOR BOM UPDATE???

Atrium ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang