Yang aku pikirkan memang belum terjadi. Tapi, aku sering mengjadapi ini. Pasien yang tidak tahu keadaan dirinya sendiri. Akan tiba-tiba merasa lemah. Padahal dia baik-baik saja sebelumnya. Aku tahu jika ini dikarenakan sugesti yang dokter sudah diagnosa. Seperti diriku.
Itu sebabnya aku tidak ingin mengatakan kepada Chanyeol jika ada tumor di dalam dirinya. Sampai aku menemukan solusi. Aku merasa bahwa ini akan menjadi pemecah masalah. Biar Chanyeol melakukan apapun seperti ketika dia masih sehat dimataku.
Banyak orang mungkin akan menyerah. Tumor pada jantung adalah masalah langka yang hanya beberapa kali terjadi. Di Yonsei, selama aku berkerja, masalah ini tidak pernah lebih dari tiga kali terjadi. Dan Chanyeol termasuk di dalamnya.
Semakin jarang penyakit diderita seseorang, maka, semakin sulit juga memberikan tindakan kepada mereka yang menderita penyakitnya. Kasus tumor jantung tidak banyak dibuat menjadi riset atau jurn. Sehingga aku kesulitan untuk menentukan apakah yang harus aku lakukan terhadap tumor tersebut.
Tapi aku berusaha. Mengakses jurnal paling pribadi sekalipun. Mencari sedikitnya kesempatan yang mungkin bisa aku gunakan sebagai tindakan terhadap pasien tumor jantung. Riset yang aku lakukan secara singkat, ditemani beberapa dokter yang masih belum tahu apa tujuanku berada di sana. Menggali beragam informasi mengenai penyakit langka itu.
Chanyeol berada di hadapanku pagi ini. Dengan rambutnya yang berantakan. Matanya yang setengah terbuka. Membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Beberapa kertas yang ada di atas meja makan aku rapikan. Lalu menutup laptop yang masih menyala sejak subuh tadi.
"Ini mimpi bukan sih? Kok ada bidadari di meja makan rumahku," kata dia. Chanyeol menarik kursi di hadapanku. Memandangku lalu tersenyum bodoh. Sialnya membuat aku semakin sedih.
Chanyeol tidak tahu, bahwa jantungnya sedang bermasalah. Dia tidak tahu jika aku sedang berurusan dengannya sebagai dokter secara profesional. "Aku lagi nggak ada kerjaan di rumah sakit. Jadi berangkat siang nggak masalah," kataku. Berohong. Faktanya, aku memohon kepada Dokter Jungsoo untuk menggantikan sift pagiku. Dan Seulgi untuk memeriksa beberapa pasien yang harusnya sudah aku periksa.
Aku ingin makan masakkan Chanyeol pagi ini. Aku ingin melihat dia melakukan apa yang dia suka. Selain aku. Memasak. Hal yang membuat dia selalu terlihat tampan berkali-kali lipat. Hal yang membuat dia merasa lebih hidup.
"Omong-omong. Aku pengen makan masakkan kamu nih. Masakkin omelet ya, aku siap-siap. Bye," karena jam pagi hampir habis aku harus bersiap untuk ke rumah sakit. Sayang sekali, Chanyeol bangun agak siang. Jadi aku hanya melihatnya sebentar pagi ini.
Chanyeol tidak menjawab, karena aku memutuskan pergi dari dapur. Benar. Aku menahan diri untuk tidak terlihat berlebihan. Padahal hatiku rasanya sudah menjerit. Aku ingin berteriak di hadapannya. Kalau dia mungkin sakit parah. Aku ingin bilang kalau dia harus menjaga kesehatan dan asupan makanannya.
Tapi aku tidak bisa. Aku tidak mau melihat dia merasa sakit. Aku tidak mau melihat dia terluka hanya karena rasa sakit yang aku bilang. Aku tidak mau memberikan sugesti kalau dia bisa sakit kapan saja.
Sambil membelakanginya, aku menyeka air mata. Chanyeol tidak sakit. Chanyeol tidak sakit. Chanyeol tidak sakit. Itulah yang aku sugestikan pada diriku sendiri.
×××
Aku melihat punggung lebar Chanyeol. Tubuhnya masih berbalut kaos hitam. Bidang. Salah satu bagian tubuh yang banyak perempuan sukai. Aku perempuan. Setelah meletakkan handuk di atas sandaran kursi, aku menghampirinya. Memeluknya dari belakang. Menyandarkan kepalaku di punggungnya. Menghirup aromanya yang hangat dan dingin bersamaan.
"Kapan lagi ya aku dipeluk bidadari pagi-pagi gini," kata dia lalu tertawa kecil. Aku juga. Sambil terus merengkuhnya dengan erat. Lalu air mataku turun lagi sedikit. Seceoatnya aku tahan sekuat tenaga. Agar tidak membasahi punggung kesayanganku itu.
"Ini udah siang sih, pagi dari mana coba," suaraku melengking lembut, setengah mencibir. Memang, pagiku dan pagi Chanyeol berbeda. Aku akan mengatakan ini siang. Sementara Chanyeol baru bangun tidur.
Wangi telur setengah matang menguar. Aku tidak melepaskan pelukanku kepada Chanyeol. Lalu, dia juga tidak berusaha untuk melepaskannya. Padahal semalam suntuk, aku dan dia sibuk saling memeluk di atas kasur. Meskipun, kami tidur di waktu yang berbeda.
"Tumben sih kamu, manja gini. Nggak lagi hamil ka kamu?" Chanyeol berjalan mundur. Pelan-pelan dan hati-hati. Supaya aku tidak menyenggol teflon yang masih panas di atas kompor. Bergerak ke arah meja makan. Dan di sanalah kebersamaan kami akan berlanjut.
"Ngomong suka asal deh kamu. Emang kamu udah apain aku sampai aku hamil heh"
Aku duduk di atas kursi yang disiapkan Chanyeol. Kemudian, mempersilakan Chanyeol duduk di sampingku. Kami akan menghabiskan sarapan bersama. Hal yang jarang kami lakukan. Dan mungkin akan menjadi rutinitas baru. Mengingat, aku yang ingin memanfaatkan waktu bersamanya begitu banyak.
"Kayaknya seru deh kalau kita sarapan bareng terus gini," aku memotong omeletnya. Lalu menyuapkannya ke arah mulut Chanyeol.
"Makanya, kalau mau kerja, bangunin aku. Kan bisa aku masakkin kamu makanan dulu. Biar sarapan nggak cuma roti gandum aja. Sekali-sekali banyakin vitamin dari sayuran, protein dari daging, karbo dari nasi," kata dia, yang kali ini menuangkan susu ke dalam gelasku.
Chanyeol adalah satu-satunya. Laki-laki yang mau memasakkan apapun yang aku mau. Meskipun Papa punya kemampuan memasak yang juga bagus. Dia tidak pernah menuruti apa yang aku inginkan. Omelet sekalipun. Chanyeol hadir menjadi seseorang yang keberadaannya sangat aku sukai. Dia menghadirkan peran yang aku butuhkan dari sosok laki-laki.
"Ada kamu di sini, aku senang," kataku yang disambut tawa kecil dari Chanyeol. Mungkin dia merasakan keanehanku. Aku yang terlalu manja dan ada di hadapannya pada pagi hari. Sejak aku disibukkan menjadi dokter jantung. Kami tidak pernah menghabiskan pagi bersama selain akhir pekan.
"Aku sayang kamu Chan. Kamu nggak boleh ragu soal itu. Oke?"
×××
"Riset sebanyak ini mau kamu baca sendiri Wan?" Seulgi memandang tumpukkan kertas yang aku copy dari gudang data rumah sakit. Tidak banyak. Tapi cukup membuat meja kerjaku penuh.
Waktu istirahat aku benar-benar memanfaatkan waktu untuk memeriksa riset yang sudah dilakukan oleh dokter jantung senior sebelum aku dan Jungsoo. Ternyata ada lima kasus. Tiga dari pasien dinyatakan meninggal setekah beberapa bulan dioperasi. Dua di antaranya meninggal karena enggan untuk melakukan operasi.
Tidak ada pilihan. Bahkan dokter sebelumnya belum menemukan solusi penyembuhan tumor jantung. Aku merasa pesimis dengan apa yang bisa aku lakukan untuk proses penyembuhan Chanyeol. Satupun. Bahkan jurnal rumah sakit asing sekalipun.
"Kamu masih nggak mau bilang kenapa, Seungwan? Pasien kamu, mengidap tumor jantung?" Tanya Seulgi memastikan bahwa aku mendengarnya.
Ya. Chanyeol pasienku didiagnosa mengalami tumor jantung.
Tapi tidak. Aku tidak sampai hati mengatakan kepada Seulgi apa yang dialami oleh Chanyeol. Seulgi mengenal Chanyeol dengan baik. Memberitahu Seulgi akan memberikan peluang yang besar bagi Chanyeol untuk tahu apa yang terjadi di dalam tubuhnya. Jadi aku menggeleng. Kemudian tersenyum.
Aku memutuskan untuk menyimpan ini sendiri. Chanyeol adalah kesayangan banyak orang. Dengan mereka tahu, ada kesedihan yang mungkin akan mereka rasakan. Jadi biar aku yang mencari tahu bagaimana masalah ini bisa selesai. Agar mereka tahu, bahwa Chanyeol baik-baik saja.
"Nothing."
×××
Menurut kalian. Enakkan aku jadi orang ke tiga serba tahu. Atau kaya gini? Komentat ya. Biar aku bisa menentukan kalian lebih enak baca model kaya gimana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atrium ✔
FanfikceDokter bedah berpengalaman sekalipun, tidak akan pernah mau membelah dada orang yang dicintainya sendiri. -Son Seungwan Karena aku percaya kamu bisa. Jadi kamu juga harus percaya bahwa kamu bisa. -Park Chanyeol Disclaimer : You might never find the...