15. Keputusan

917 160 15
                                    

Tidak ada jalan lain, Jungsoo bilang satu-satunya cara untuk mneyembuhkan penyakit Chanyeol adalah operasi. Sementara beberapa riset yang aku baca, kemungkinan berhasil menyembuhkan melalui operasi hanya 30 persen.

Selalu ada kemungkinan. Tapi presentasenya terlalu kecil. Tidak perlu terburu-buru. Masih ada waktu untuk berpikir. Di sisi lain, semakin lama aku beprikir, maka semakin lebar juga tumor yang bersarang di jantung Chanyeol. Pada akhirnya aku harus cepat menentukan apa yang paling baik untuk Chanyeol.

"Kamu stress, dampaknya nggam baik sama jantung kamu," kata aku kepada Chanyeol yang baru sadar dari pingsannya. Setelah merasa sangat sakit, Chanyeol pingsan. Tepat ketika ambulans tiba di lobby apartemen.

Aku pernah hampir putus asa ketika mengetahui jika Chanyeol tidak punya harapan untuk hidup lebih lama. Semakin lama, ketika dibiarkan, tumor itu akan semakin parah. Tidak membiarkan Chanyeol selamat begitu saja. Dan aku masih belum tahu apakah keputusan untuk melakukan operasi adalah solusi yang baik.

Aku tidak bermaksud untuk memperlambat atau mempercepat kesembuhan atau kematian Chanyeol. Operasi memang bisa membuat tumor itu hilang. Tapi ada kemungkinan besar, fungsi jantung sebagai pemompa darah bisa hilang juga. Bersamaan tumor yang dia miliki. Karena itu kami butuh pemeriksaan lebih lanjut.

Aku tidak tahu, kenapa Chanyeol bisa mengeluhkan dadanya kemarin malam. Panikku menguasai, dibandingkan memberikan pertolongan pertama. Aku justru histeris melihat Chanyeol tidak sadarkan diri.

Kemampuanku untuk menolong, hilang secara tiba-tiba. Apalagi, melihat jika yang membutuhkan pertolongan adalah Chanyeol. Aku merasa bahwa kemampuanku bisa menolong semua orang. Kecuali Chanyeol.

"Aku nggak apa-apa kok, Wan, jangan murung" tanganku digenggam Chanyeol. Dia tersenyum menggunakan bibirnya yang pucat. Aku membalasnya sekilas, lalu menangis tiba-tiba.

Tidak, aku tidak tahu kenapa aku mudah menangis belakangan ini. Meskipun aku tidak menginginkannya, air mata akan jatuh begitu saja. Seperti sekarang. Padahal, semenjak Chanyeol didiagnosa mengidap tumor jantung, aku sudah membiasakan diri dengan kesedihan dan kesusahan.

"Seungwan, aku nggak apa-apa. Kok kamu nangis," kata dia menenangkan aku.

Bukannya berhenti, aku semakin terisak. Eksistensi Chanyeol begitu nyata. Semakin jelas juga aku melihat bahwa ada kemungkinan kehadirannya akan selesai dalam jangka waktu sangat dekat. Mengetahui itu semua, membuatku merasa tidak mampu.

"Aku nggak mau kehilangan kamu Chan. Nggak mau, aku takut," kataku pada akhirnya. Menghancurkan semua dinding pertahananku untuk terlihat baik-baik saja. Aku hanya bisa mengeluhkan keadaan ini padanya. Meskipun yang aku keluhkan adalah dirinya.

"Aku akan berusaha Seungwan. Aku akan berusaha untuk terus bertahan. Buat kamu, aku nggak akan nyerah hanya karena sedang sakit. Kamu lebih berhargar untuk diperjuangkan. Aku mau kamu. Jadi, please, jangan sedih, ayo kita berusaha bareng-bareng."

Kami saling mencintai. Kami saling mebutuhkan. Sampai beberapa minggu lalu hidup kami masih damai. Tapi, setelah dia melakukan pemeriksaan itu. Segalanya berakhir. Gedung yang kami bangun, runtuh seketika. Membuat kami harus memilih.

Apakah kami perlu membangun gedung yang jauh lebih kecil dengan harapan seadanya. Atau menyerah. Karena ujung dari semua ini, akan tetap sama. Kami akan saling meninggalkan, bagaimanapun caranya. Bagaimanapun jalannya. Siapapun yang akan pergi terlebih dahulu. Kami akan berjalan masing-masing.

Atrium ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang