12. Akhirnya

801 157 12
                                        

Kami berbaikan. Berakhir di atas ranjang yang sama. Tidak. Maksudku, aku dan Chanyeol hanya tidur bersama. Tidur. Yang aku maksud memejamkan mata. Menghabiskan malam yang terlanjur larut.

Aku meletakkan telingaku di permukaan dadanya yang bidang. Mendengarkan detak jantungnya yang tenang. Sampai pagi. Saat aku menyadari. Bahwa kami melupakan pertengkaran pelik semalam.

Chanyeol bangun lebih pagi. Aku masih berlapis selimut ketika wangi telur goreng tercium. Lelaki paling seksi di dunia itu berdiri membelakangi pintu kamar. Berhadapan dengan teflon panas. Asap yang dihisap blower melewati sela-sela rambutnya.

Aku ingin menggapainya tanpa berjalan. Rasanya jarak itu begitu jauh. Membentang. Bagai samudra yang memisah daratan. Lucu. Aku ingin mentertawakan diriku sendiri sekarang. Ini berlebihan. Tapi, rasanya begitu jelas. Jiwaku yang lain, seperti terang-terangan membangun benteng. Membatasiku dengan Chanyeol.

Jiwaku yang lain hanya tertawa. Ada berapa jiwa yang aku miliki? Tidak tahu. Relungku sudah terlalu berisik. Ada yang menyalahkanku. Menuduhku egois. Tapi, tidak sedikit juga suara berbisik membenarkan. Seperti ini aku bagai di tengah padang pasit. Tanpa arah tujuan. Kebingungan. Mencari arah pulang. Ke rumahku. Chanyeol.

"Hey, kan, melamun lagi. Kenapasih, akhir-akhir ini sering melamun."

Samudra itu hilang begitu saja. Gurun pasir pias entah kemana. Chanyeol di hadapanku. Tersenyum bahagia. Rumahku yang terlalu nyata. Membuatku langsung memeluknya erat. Menyampaikan luka yang teramat dalam. Luka yang aku buat sendiri. Aku terisak.

"Sayang, kenapa sih. Aku pikir masalah semalam udah selesai. Kok nangis lagi,?" Dia melepas rengkuhanku. Aku menolak. Menggelengkan kepala. Tidak mau melepaskannya. Seakan-akan, jika aku melepaskannya, tidak akan pernah ada pelukkan sehangat ini.

"Kamu menyembunyikan sesuatu?" Suaranya pelan. Tapi berat. Dan cukup bisa membuatku semakin terisak.

Air mata yang tak terbendung tanpa sadar membuat kami tenggelam dalam samudra ilusi. Tidak, mungkin hanya aku. Karena hanya aku yang tak bisa bernafas. Hidung dan paru-paruku seolah tersumbat air. Aku ingin menggapai udara. Tapi tubuh ini seperti tak kunjung naik dalam permukaan.

Kali itu, Chanyeol terpaksa agak lebih keras mendorongku. Melepaskan pelukkanku. Menatapku. Tanpa bicara. Tapi terang aku tahu. Dia meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin memang ini saatnya. Saatnya aku menarik Chanyeol tenggelam bersamaku. Dalam samudra pilu. Merasakan sesaknya tersumbat lautan. Menggapai udara yang hanya ada dalam angan.

"Kamu sakit, Chan," kataku sendu. Lebih sendu daripada saat aku mengetahui jika Seunghee, kakakku meninggal dunia. Lebih menyedihkan pada saat aku tahu jika orang tuaku memilih berpisah. Ini jauh dari pada itu.

×××

"Hal yang kaya gini kamu sembunyiin ke aku Seungwan?" Chanyeol meremas hasil rognten beberapa waktu lalu. Sekaligus hasil diagnosa yang aku simpan selama berminggu-minggu di dalam tas. Tidak berani aku keluarkan. Takut kalau Chanyeol melihatnya. Dan tahu. Kalau dia sedang sakit sekarang.

Aku menggeleng. Lalu mengangguk. Tapi ini membingungkan. Aku tidak tahu harus bagaimana menyikapinya. Terutama, Chanyeol yang tatapannya berubah. Tidak tahu menjadi apa. Bukan marah. Bukan juga kecewa. Bukan tatapan biasa. Jiwa Chanyeol yang berbeda.

"Aku, berusaha.." sulit rasanya melanjutkan kalimat ini. Kalimat yang mungkin terdengar sangat menggelikan. "Aku berusaha bangun dari mimpi buruk ini Chan. Ini pasti mimpi. Kamu sehat. Kamu sehat. Aku selalu berpikir seperti itu.."

"Tapi kamu salah. Gitu maksud kamu Wan?" Chanyeol menyela kalimatku.

Dia bangkit dengan kasar. Membuat kursi berderit dan meninggalkan suara keras yang mengilu. Lalu berjalan ke arah kamar untuk menyambar mantel yang tergantung di belakang pintu kamar. Mengenakannya. Sambil tidak berhenti berjalan ke arah pintu keluar.

"Chan, mau kemana?" Aku menyusulnya. Menahan pintu untuk tidak terbuka sesaat Chanyeol sudah menekan tuasnya. Kami berhadapan. Aku yang masih terisak berusaha menahannya untuk tidak kemanapun.

"Sama seperti kamu yang nggak percaya ini," Chanyeol memperlihatkan kertas yang teremas dalam genggamannya. "Aku akan membuktikan ke kamu, kalau ini nggak benar."

Chanyeol membuatku tersingkir. Dia keluar. Pergi. Meninggalkanku yang masih terisak. Buntu. Ini yang aku takutkan. Bahwa tidak ada satupun yang percaya bahwa ini adalah kenyataan.

Apa Tuhan sedang bercanda? Kenapa harus Chanyeol? Kenapa tidak aku? Kenapa tidak orang lain? Chanyeol milikku. Satu-satunya. Kenaoa harus dia.

Aku lelah. Selama dua minggu ini perasaan dan pikiranku terasa terbebani. Aku mencari solusi sendiri. Hingga pada akhirnya aku memang harus memilih, memberitahu Chanyeol. Bukannya terbagi. Tapi beban ini semakin berat. Terutama, melihat Chanyeol yang nampaknya tidak terima dengan keadaan tersebut.

Saat aku menyadari bahwa mungkin saja emosi Chanyeol tidak stabil, aku segera berlari. Tidak peduli jika musim gugur tiba. Hujan mungkin akan membasahi Seoul hari ini. Tapi itu bukan kendala. Hanya mengenakan setelan tidur. Serta sandal ruangan yang tipisnya tidak sampai tiga mili meter. Aku berlari. Mencari Chanyeol. Mengejarnya yang mungkin belum jauh. Semoga saja.

×××

"Hai Chan," Jennie melambaikan tangan ke arah Chanyeol yang sedang berjalan lemah ke arah lift. Awalnya dia menyambut teman laki-lakinya itu dengan senyum merekah. Tapi pudar seketika dia melihatku yang masih setia berdiri dengan penampilan gila pagi hari. "Sesuatu terjadi?" Tanya Jennie yang kemudian memandangku dan memandang Chanyeol bergantian.

Merasa tidak mendengar apa yang dia harapkan, Jennie berjalan menghindar. Dia menghampiriku sebentar, "kuharap kalian baik-baik saja," katanua lalu menepuk bahuku. Membuatku mengangguk dan tersenyum getir sambil terus menahan air mataku yang siap jatuh.

Selama satu jam aku berjalan di belakang Chanyeol. Tidak menyapanya. Berjalan saja. Mengawasi Chanyeol untuk tidak melakukan hal di luar nalarnya. Emosinya tidak stabil. Setidaknya itu yang aku ketahui.

Sementara aku sendiri tidak punya keberanian untuk berjalan lebih dekat kepada Chanyeol. Untuk pertama kalinya, dia menjadi seseorang yang sulit digapai. Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Sayangnya, aku hanya berandai-andai. Karena sekarang aku melihatnya tenggelam dari bali pintu lift. Tidak menungguku. Dan akupun tidak berjalan lebih dekat.

Lift yang transparan memudahkanku melihat kemana dia pergi. Mungkin tebakkanku salah. Bisa jadi benar. Tapi satu-satunya orang yang paham situasi ini. Jungsoo. Aku punya firasat yang tajam soal ini.

Dan benar saja. Seorang kerabat pasien menggerutu saat keluar dari ruang rawat Jungsoo. Menatapku sambil mendesis sebal. "Kenapa rumah sakit ini berisi banyak orang aneh," katanya dan berlalu.

Ketakutanku yang menumpuk kini menjadi gunung. Jemari yang lemah itu menekan tuas pintu. Aku bisa melihat Chanyeol yang sudah menarik kerah Jungsoo tinggi. Aku? Aku berjalan cepat. Tubuhku sudah sangat lemah. Tidak ada lagi tenaga tersisa. Tapi aku berupaya, menjadi penengah antara mereka.

"Jelaskan. Maksud dari foto ini," kata Chanyeol setengah menggeram. Dia masih enggan melepaskan cengkramannya.

"Chanyeol, tahan. Kita bisa bicata baik-baik," kataku pelan. Setengah berbisik, lebih dekat dengan telinganya. Sayangnya cara itu tidak mengubah apapun.

Jungsoo diam saja. Dia tidak berniat menjawab pertanyaan Chanyeol. Karena dia tidak berhak. Disini, akulah yang menjadi dokternya Chanyeol. Aku yang punya kewenangan untuk mendiagnosa penyakit yang dideritanya.

"Chanyeol, kamu salah kalau kayak gini. Dokter Jungsoo bukan doktermu. Aku yang menemukan kejanggalan dalam jantungmu pertama kali. Jadi kamu hanya bisa bertanya padaku," kataku lagi, berusaha untuk mengalihkan perhatian Chanyeol.

Tapi Chanyeol justru semakin tersulut. Tenagaku yang tidak ada apa-apanya terhalau oleh sebuah tangkisan. Lelah. Pelik. Bingung. Dan limbung menyatu. Aku, terhempas. Berserobok pada meja kerja Jungsoo. Mengeluarkan suara benturan berkali-kali. Semua barang di atas meja kaca itu jatuh. Aku juga. Bunyi pecah belah mengakhiri kesadaranku. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi.

×××

There's no weekend for me. Kemana hilangnya libur dalam kalenderk kerjaku?

Hop u guys enjoy this. Lafs.

Dont forget to leave a vote.
Hahaha kidding.

Atrium ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang