Sudah hampir sebulan sejak kejadian di Kuala Lumpur waktu itu, aku merasa beruntung karena sampai saat ini semuanya masih tertutup rapat. Bahkan Rose juga tidak tahu apapun tentang ini. Yang dia tahu kami pesta besar setelah kepulanganku dan CEO Kim dari Kuala Lumpur dalam rangka merayakan keberhasilan kami membawa 3 penghargaan sekaligus. Dibalik semua kebahagiaanku, justru Rose merasa sedih karena tim-nya gagal membawa penghargaan. Mereka pulang tanpa membawa apapun kecuali rasa kecewa. Rose sangat terpukul bahkan hingga ia sakit selama beberapa hari. Beruntung hari ini dia sudah bisa kembali bekerja. Jadi aku tidak pulang pergi sendirian lagi. Aku tahu pasti berat untuknya mengambil alih event penting seperti ini, tapi semua adalah keputusan CEO Kim. Jadi, tidak ada yang berhak disalahkan.
Hari ini aku dan Rose naik bis seperti biasa. Semenjak duduk di bis, Rose sudah sibuk dengan handphonenya entah dia memang sibuk atau hanya menyibukkan diri, sedangkan aku mengawasi sekitar. Mataku terpaku pada pasangan muda yang baru saja bergabung dalam perjalanan kami, lelaki itu terlihat sangat mencintai istrinya hingga ia rela berdiri sembari membawa dua kantung belanjaan sang istri. Disisi lain, wanita hamil itu duduk sembari mengajak bercanda sang suami dan calon bayi mereka. Mungkin itulah yang dinamakan keluarga kecil bahagia. Lamunan ku buyar saat Rose menyenggol bahuku. Aku segera mengalihkan pandangan sedangkan Rose tampak melirik sekilas ke arah pasangan itu kemudian menaikkan bahunya pertanda tidak mengerti dengan apa yang sedang ku amati sejak tadi. Yang jelas aku benar-benar belum siap jika harus mengalami masa itu.
Bis berhenti. Aku dan Rose turun bersama. Rose sempat menawariku sarapan di tempat langganan kami, tapi hari ini sepertinya aku tidak nafsu makan sama sekali setelah melihat pemandangan seperti tadi sehingga Rose juga mengurungkan niat untuk sarapan. Padahal aku sudah mengatakan akan menemani, tapi tetap saja dia enggan sarapan sendiri. Di sepanjang perjalanan menuju kantor, aku terus teringat pada kejadian sebulan lalu yang membuatku menikah dengan lelaki asing. Entah mengapa aku merasa terikat meski pemuda itu justru menganggap pernikahan ini sebagai permainan. Lagi-lagi Rose menyenggol bahuku. Aku sedikit kaget karena dia menatapku dengan aneh seakan tahu benar kalau ada sesuatu yang kusembunyikan. Dengan segera aku berusaha mencairkan suasana dengan berbagai cara. Beruntung, aku menemukan cara paling ampuh supaya Rose lupa dengan pembicaraan kita.
"Joe.. "
"Mana Joe?" tanyanya antusias. Dengan polosnya aku menunjuk Joe yang akan masuk ke kantor. Benar saja tanpa menungguku, Rose berlari pergi mengejar Joe. Kurasa mereka sudah cukup dekat semenjak pergi ke Bangkok bersama. Bahkan Joe juga tidak secanggung dulu saat bersama Rose. Dia mulai terbiasa dengannya dan itu berita bagus.
Saat di lobi, tak sengaja aku berpapasan dengan CEO Kim dan sekretarisnya. Aku tidak ingin terjebak satu lift dengannya sehingga aku berpura-pura menyapa beberapa karyawan dan berbincang dengan mereka sejenak. Bukan karena apa, tapi keduanya sungguh membosankan. Jadi aku tidak terlalu suka apabila harus terjebak dengan mereka dalam berbagai hal termasuk satu lift sekalipun. Setelah keduanya masuk barulah aku mengantri menunggu kedatangan lift selanjutnya. Semua orang berkerumun karena memang sudah hampir jam 7. Entah mengapa saat berada di tengah kerumunan, napasku tersengal-sengal dan keringat dingin mulai membasahi pelipisku. Sungguh, keadaan ini membuat ku tidak nyaman, aku kesulitan bernapas entah karena faktor berada di tengah kerumunan manusia atau alasan lain yang tak ku ketahui. Tak lama setelah itu semuanya menjadi gelap.
Aku melenguh saat berusaha bangkit dari tidur. Aku melihat sekitar dan baru sadar kalau sudah berada di kontrakan. Tiba-tiba Rose masuk kamar sembari membawa nampan berisi beberapa obat-obatan dan segelas minuman. Bukannya berterima kasih aku justru menyuruh Rose kembali ke kantor. Namun gadis itu enggan beranjak satu sentipun dari hadapanku. Dia mengatakan bahwa CEO Kim sendiri yang menyuruhnya tetap menjagaku kalau perlu sampai sembuh. Astaga drama apalagi ini. Entah apa itu yang jelas aku tidak ingin memikirkannya saat ini. Aku sama sekali tidak menyadari mengapa tubuhku mendadak demam dan berkeringat padahal tadinya aku baik-baik saja. Disisi lain Rose masih saja menceritakan bagaimana perhatian yang CEO Kim berikan padaku. Aku hanya mendengarkan ceritanya dengan seksama dan ikut tertawa saat ada bagian yang menurut Rose lucu. Setelah puas bercerita, dia keluar kamar begitu saja, tak terdengar lagi suara Rose. Mungkin dia sedang sibuk memasak di dapur karena tadi belum sempat sarapan.
Tak terasa hari ini berlalu begitu cepat, aku sudah banyak tidur dan baru menyadari kalau sudah sore. Aku berusaha bangkit meski tubuhku masih saja kedinginan. Aku sangat haus tapi tanganku terlalu lemas. Beruntung tak lama, Rose datang membantuku minum. Bahkan dia juga membawa beberapa makanan. Aku tersenyum manis sembari berterima kasih. Dia benar-benar menjagaku dengan baik di saat seperti ini. Mungkin saat ini keadaan ku benar-benar menyedihkan. Bahkan saking menyedihkannya, Rose sampai harus menyuapiku. Aku tidak bisa seperti ini terus karena Rose juga harus beraktivitas seperti biasa. Aku tidak ingin menjadi beban semua orang hanya karena demam. Ucapku dalam hati.
"Gimana hubungan elo sama Joe?" tanya ku buka suara. Meski berusaha acuh dan tak mau tahu tentang hubungan mereka tapi pada akhirnya tetap saja aku penasaran dengan hubungan mereka yang tampak membaik seiring berjalannya waktu.
"Sebenarnya gue gak deket sama dia. Tapi.. "
"Tapi apa?" tanyaku mulai penasaran karena dia menggantungkan kalimatnya seakan-akan memang sengaja membuat ku penasaran.
"Joe ngenalin gue ke temennya." aku tersenyum manis mendengarnya. "Dia cowok baik. Dia kerja di JK.ink pembuat game gitu."
"Wah, bukannya dulu elo sebel banget sama gamers?" godaku membuat Rose tertawa. "Elo bahkan pernah bersumpah gak akan pacaran sama cowok gamers sekalipun tinggal satu-satunya di dunia ini." sindirku memojokkan Rose.
"Tapi kayaknya gue udah jilat ludah sendiri." sahutnya sembari terkekeh pelan. Ku lihat sepertinya Rose memang benar-benar serius menjalin hubungan ini.
"Apa elo udah punya bayangan buat menikah?" tanyaku tiba-tiba membuat Rose terkejut. Sebenarnya aku juga kaget karena tiba-tiba membahas tentang ini. Mungkin karena efek melihat pasangan muda di bis tadi pagi.
"Doain aja. Gue sih sebenernya udah serius sama dia. Cape tau main-main terus. Mana kita udah tambah tua. Entar yang ada kek CEO Kim lagi, kaga kawin-kawin."
"Astaga tuh mulut dijaga napa. Gitu-gitu dia yang gaji kita." omelku membuat Rose tersenyum aneh.
"Iyadeh belain kecengannya." ledek Rose membuatku refleks memutar bola mata.
"Aish kecengan apa'an sih. Ngaco!" gerutuku kesal saat Rose terus menghubungkan semua dengan kebaikan CEO Kim. Padahal CEO Kim sudah pasti melakukan semua ini pada karyawan yang sakit.
"Nah gitu dong, kalo bahas CEO Kim langsung sehat elu. Bangsat." runtuknya membuatku refleks menjitaknya.
"Aelah apa'an sih elu." gerutuku kembali menyelimuti seluruh tubuh dengan bed cover.
Baiklah begitu akhir dari perbincangan sore kita yang selalu berakhir dengan perdebatan. Tapi inilah yang kusukai dari persahabatan kami. Kami sering berdebat tapi mengenai hal sepele dan cenderung tidak penting.
Jangan lupa comment and vote 💜
Maaf jarang up tapi diusahain bakal sering up kok 😅
Thank you udah mampir
KAMU SEDANG MEMBACA
Undecided [COMPLETE]
FanficMungkin ini akan menjadi kisah terkonyol yang pernah kalian dengar. Aku menikah dengan seorang pemuda asing yang sama sekali tidak ku kenal karena kejadian aneh yang mengharuskan kami menikah. Ini bukan karena perjodohan, kupikir itu terlalu klasik...