Nuansa putih begitu mendominasi, tatkala kelopak cantik itu perlahan membuka. Perpaduan antara wangi obat-obatan begitu menguar—menusuk indera penciuman. Begitupun dengan detak jam dinding yang ikut mengiringi, seakan menggema di setiap sudut. Bayangkan, betapa sunyinya ruangan ini sekarang.
Jieun mencoba membenarkan posisinya. Yang ia ingat, tadi dirinya ada di ruangan dokter Shin Seokjin dan bertemu—sudahlah, Jieun benar-benar tak ingin mengingatnya. Kejadian tadi membuat jantungnya kembali berpacu cepat. Rasa takut kini menyelimutinya. Yang ia harapkan sekarang adalah sebuah mimpi atau mungkin ilusi. Ya! Jieun sangat berharap, bahwa tadi ia hanya bermimpi—mimpi buruk. Sungguh! Jieun ketakutan sekarang.
Daun pintu perlahan melebar—menampakkan seorang pria dengan balutan jas putih serta celana bahan hitam. Jangan lupakan kemeja dengan satu kancing yang tak dikaitkan di balik jas putihnya.
Sepasang tungkai itu perlahan mendekat. Senyuman terukir indah di wajah pria yang kira-kira memiliki tinggi sekitar 180 cm tersebut. Telapak tangan kananya terangkat, seakan-akan ia berkata, hai atau mungkin, bagaimana kabarmu hari ini?
"Sudah sadar?" tanya pria itu.
Jieun menatap—memberikan senyumanya. "Ya, beberapa detik yang lalu."
"Oh, aku tepat waktu rupanya," kata pria itu, lalu terkekeh pelan.
"Mungkin," timpal Jieun singkat.
"Kau mau berkenalan denganku?" pria itu mengulurkan tangan kananya.
Alis kiri Jieun terangkat. "Sepertinya, Anda sudah mengetahui namaku. Untuk apalagi kita berkenalan?"
"Untuk apa, ya?" pria itu tampak berpikir. "Untuk mengetahui namaku, mungkin?" ujarnya dan kembali mengulurkan tangan.
"Baiklah," kata Jieun, lalu menyambut uluran tangan tersebut.
"Park Jongsuk," ucap pria itu.
"Aku harus memanggilmu—Dr. Park?"
"Ya, itu cukup manis. Asal jangan paman saja," tanggap Jongsuk disertai kekehanya.
Jieun ikut terkekeh pelan mendengar tanggapan Jongsuk.
"Bagaimana, Nona? Apa yang kau rasakan sekarang?"
"Umm ... kepalaku pening, tubuhku lemas," ujar Jieun.
Jongsuk mendengus sebal. "Bagaimana tidak pening? Tekanan darahmu saja hanya 90/80," jelasnya.
Jieun hanya bisa memasang wajah innocent. Sedangkan bibirnya, sudah membentuk huruf 'o'.
"Apa kau tidak pernah makan?" selidik Jongsuk.
"Aku sudah mati jika tidak pernah makan," sahut Jieun.
"Bukan begitu, Nona. Maksud—"
"Panggil Jieun saja. Tidak usah pakai embel-embel nona," sanggah Jieun.
"Baiklah-baiklah, Nona. Maaf, maksudku Jieun," ralat Jongsuk. "Apa kau jarang makan? Atau mungkin waktu makanmu tidak teratur?"
"Ya, kedua-duanya benar," jawab Jieun, kemudian menyandarkan punggung pada kepala tempat tidur.
"Kau harus mengatur waktu makanmu dengan baik, Ji. Kau juga harus makan yang banyak," terang Jongsuk. "Dan harus bergizi. Jangan makan sembarangan," lanjutnya.
Jieun menganggukkan kepalanya. "Kalau boleh tahu, siapa yang membawaku kesini?"
"Umm ... haruskah aku memberitahumu?" tanya Jongsuk sedikit menggoda Jieun.
Jieun memutarkan bola matanya malas. "Aku hanya ingin tahu."
Jongsuk yang melihat kejengkelan Jieun, langsung terkekeh pelan. "Dr. Shin dan tuan Jungkook yang membawamu tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDERSTANDING OF LOVE
RomansaTakdir itu terkadang terasa menyakitkan, seperti sebilah pisau yang menyayat tubuh. Namun, takdir juga membahagiankan, ibarat pemandangan di musim semi. "Kau jahat, karena meninggalkanku tanpa alasan yang jelas." Lee Jungkook. "Aku tak bermaksud p...