"Menikahlah dengan Arga. Anak-anakmu butuh sosok ayah," ucap ayah setelah Yuni dan mas Arga pulang. Logika dan nuraniku tidak menerima usul tersebut.
"Dia kakak mas Fahmi, Ayah."
"Kenapa kalau dia kakak almarhum suamimu? Bukannya lebih baik? Anak-anak tidak perlu beradaptasi lagi, hanya menunggu mereka menerima Arga."
Aku memijat kening yang terasa pusing. Mimpi apa aku, hingga ada kejadian seperti ini.
"Ayah tidak lupakan? Mas Arga memiliki dua istri, Ayah tega melihatku menjadi istri ketiganya?"
"Itu masalah pribadi dia. Dengan kamu menikah dengannya, kerabat akan tahu, kalau dia kakak yang baik. Yang mau menjaga anak-anakmu."
Jawaban Ayah sangat kusesalkan. Kenapa harus melihat dari satu sudut pandang?
"Aku bisa sendiri, Ayah. Lima bulan ini, Ayah lihat sendiri kan, bagaimana aku mengurus kedua anakku?" aku masih megelak.
"Justru itu, Ayah selalu melihatmu menjaga anak-anakmu. Ayah tidak sanggup." Mata tua itu menatap ke atas, kemudian menghembuskan nafas lelah.
"Dulu, ada ibumu. Sekarang, siapa yang akan melindungimu?"
Aku menunduk, mataku terasa panas. Ketika wajah ibu memenuhi benakku. Wanita yang sudah melahirkanku dan kedua mbak-ku telah tiada.
"Aku punya Ayah. Aku juga punya Fathan dan Nathan---"
"Usia Ayah sudah tua. Ayah tidak tahu, apakah esok masih bisa melihat kamu menangis, meratapi kepergian ayah Fathan?"
Aku meremat tangan, bersamaan isakan yang lolos. Ucapan ayah memang benar, tapi untuk menikah lagi, tidak ada dalam rencanaku. Aku hanya ingin membesarkan kedua buah cintaku dengan suamiku. Apalagi, pria yang melamarku, sama sekali tidak pernah terpikirkan.
"Menikahlah dengan Arga. Kamu dan anak-anak butuh dia. Ayah selalu mendoakan, agar anak-anak Ayah bahagia."
Setelah mengucapkan itu, ayah meninggalkanku sendiri.
"Kamu butuh laki-laki dalam hidupmu, Vi."
Aku masih menangis, ketika mendengar suara mba Lita. Mbak-ku yang kedua. Yang tinggal bersama Ayah, selama ibu meninggal tiga tahun yang lalu.
"Nggak Mba, aku bisa sendiri. Aku bisa..."
Mba Lita menarikku, memeluk tubuhku. "Kamu masih lemah Vi, kamu butuh mas Arga."
Aku menggeleng, "Dia kakak mas Fahmi, Mba," tangisku tergugu. Menyesap setiap lara yang mulai terasa.
"Setidaknya, dia mau menerimamu dan anak-anak. Mulai pelan-pelan, nikmati. Insya Allah, kamu akan menerimanya."
Aku mengingkari nasehat mba Lita. Bagaimana bisa aku menerimanya? Menginginkannya saja, tidak pernah terlintas dalam benakku.
Hubunganku dengan mas Arga selama ini, nyaris tak tersentuh. Dia tidak sama dengan mas Fahmi, dia berbeda. Bahkan, adik-adiknya saja care. Cuma dia yang lain.
"Aku tidak bisa, Mba. Aku tidak mau jadi istri ketiganya. Ini benar-benar gila!!" aku meracau, takdir hidupku benar-benar tidak tertebak.
"Istighfar Vi. Jangan lupa, jodoh, rezki dan maut sudah ketentuan Allah. Jangan melawan. Kalau kamu ragu, Istikharah. Minta gusti Allah nerangin jalanmu."
Mba Lita bangkit, ia mengajakku masuk ke kamar. Menyuruhku istirahat.
"Istirahatlah. Jangan lupa, minta petunjuk usai sholat."
Mba Lita menutup pintu kamarku.
Tinggal aku sendiri, memikirkan langkah yang akan kuambil.
Minggu depan?
Kenapa nggak besok saja?
Wajah Fathan dan Nathan hadir dalam benakku. Aku merindukan anak-anakku.
Aku juga merindukanmu, Mas.
****
Ini hari kedua setelah aku berbicara dengan ayah. Tidak ada yang mendukung niatku, untuk menolak lamaran kakak iparku.
Jadi, kuputuskan hari ini menghubungi mas Arga dan mengajaknya bertemu. Bagaimanapun, aku tidak menginginkan pernikahan ini.
"Kita tidak akan bicara di sini," kata mas Arga begitu sampai. Sedang aku, sudah menunggunya sepuluh menit yang lalu.
"Di sini saja. Ini dekat rumah ayah."
"Ada tempat lain!"
"Mas!!"
Pelayan yang melintas di depan sempat melirik ke arah kami. Aku menunduk.
Kami hanya perlu bicara, bukan cari tempat mejeng. Sengaja, aku memilih tempat ini, selain dekat dengan rumah ayah, tempat ini juga jarang pengunjung, kecuali malam."Ikut aku!"
Langkah tegap itu menuju pintu keluar. Kekesalanku bertambah, melihat sikapnya.
Apalagi, aku belum pesan apapun sejak sepuluh menit tadi. Karena menunggunya dan memesan bersama.
Jadi, dengan wajah merah menahan marah dan malu, aku mendekati meja bar dan meminta maaf pada pelayan.
Mas Arga sudah menunggu di samping mobilnya, yang terparkir di luar area kafe.
Berarti, dia memang tidak niat ke sini.Hanya menjemputku.
"Pasang seat bealt."
"Jalan saja," titahku dengan suara tenang, sambil memasang benda tersebut.
Suasana sore kota Jakarta cukup ramai, ketika mobil yang kutumpangi melaju. Karena ini waktu pulang bagi pekerja kantor, mahasiswa dan sederet perenggut materi pengisi perut yang tak pernah berhenti menagih isi.
"Fathan belum pulang?"
Suara mas Arga terdengar, setelah cukup lama kami saling diam. Canggung, bila keadaan seperti ini. Karena kami hanya berdua, berbeda dengan kafe, di sana ada lalu lalang orang-orang. Jadi, sedikitnya, aku bisa mengalihkan perhatianku.
"Belum."
"Kan, bisa telpon Rida. Acara beberapa hari lagi. Aku mau, kedua keponakanku hadir saat akad nikah kita."
Allah...
Ada apa dengan pria ini. Tidak tahukah ia, alasan aku mengajaknya bertemu?
Saat aku mau mengutarakan niatku, mas Arga kembali menyela. "Ayah tahu, kamu ngajak ketemuan?"
Kenapa malah bahas ini?
"Walaupun kamu bukan seorang gadis lagi, adat pingitan masih berlaku."
Fix. Apa yang ingin kusampaikan, harus kutunda dulu. Setidaknya, sampai kami tiba di tempat yang diinginkannya.
"Kabarin, Lita. Kita pulang agak malam!"
Astagfirullah.
Apalagi ini?
"Aku ngajak Mas ketemuan untuk bicara, bukan mau pergi dengan Mas."
Kuliha,t mas Arga melirikku sekilas, sebelum kembali fokus ke jalan.
"Kamu harus terbiasa, Vi. Nanti, juga sering ikut ke mana aku pergi!"
Aku membuang muka, melihat dari kaca samping kiriku. apapun yang bisa kulihat, agar emosiku teralihkan.
"Kita ke Tangerang, ada undangan pernikahan klienku," kata mas Arga setelah menjeda kalimat pertamanya. Dan, sukses membuatku terkejut.
🌸🌸🌸
30.07.2019
Ry
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionHarga PDF 👉 70.000 "Mas sudah memiliki mba Yeyen dan mba Lina. Apalagi yang kurang?" "Fathan dan Nathan, keponakanku. Aku tidak ingin mereka kekurangan kasih sayang. Jadi, kamu hanya perlu menikah denganku!" "Maaf Mas, aku tidak bisa." "Aku jauh-ja...