Bimbang

14.4K 1.3K 29
                                    

🌸

Cuaca lembayung senja menengahi kegalauan perasaanku. Pekat langit, menyisa ruang untuk ufuk dengan cahaya jingga.

Malam sudah berlalu, berganti siang dan senja. Waktu satu minggu yang dijanjikan, kian mendekat.

Aku melenguh, menatap asa langit. Berharap memberikan sedikit ruang untuk diriku dan keajaiban untuk masa depan yang tak pernah kurancang.

Dua hari mendekati hari pernikahan, kabar mengejutkan datang dari keluarga mas Arga. Kabar yang tak ingin kudengar.

Mas Arga menceraikan mba Lina, istri keduanya.

Meski tidak begitu dekat dengan istri-istri mas Arga, aku cukup mengenal mereka.
Terlebih mba Yeyen istri pertama mas Arga.

Sikapnya ramah dan pandai membawa diri. Tidak terkecuali mba Lina. Wanita yang masih dibawah umurku itu, juga baik.

Mereka juga cantik.

Kami hanya bertemu sesekali. Ketika lebaran dan acara besar keluarga. Kadang, mba Yeyen menginap di rumahku di Bekasi, sedangkan mba Lina di rumah peninggalan orang tua mas Arga.

Jarang kami mendengar, keluarga mas Arga ribut. Almarhum mas Fahmi saja, salut dengan kakaknya itu.

Namun, apa yang kulihat sekarang berbeda.

Seandainya, mas Fahmi masih di sini, dia juga akan berpikir seperti itu, kan?

Apalagi...

"Ada Yuni dan suaminya."

Aku menoleh ketika mendengar suara mba Lita.

"Keluar dulu."

Aku mengangguk.

Mau tidak mau, bibirku menyunggingkan senyum melihat Yuni. Mataku sempat melirik goody bag berwarna coklat dan hitam, tergeletak di atas meja.

"Apa kabar, Mba?"

"Baik," jawabku.

Seandainya tidak ada Beny---suami Yuni---mungkin, aku bisa ceplas-ceplos dengan adik iparku.

Bukannya seperti ini, canggung.

"Aku disuruh mas Arga bawa ini Mba, untuk dipakai hari senin nanti."

Aku mengikuti arah pandang Yuni. Empat goody bag, dengan merek toko ternama.

Dan, tidak tahu harus berbicara apa.

Kenyataan yang kuterima tadi siang lewat ayah, masih memburu kebingunganku. Takut, masalah yang menimpa rumah tangga mas Arga disebabkan oleh diriku.

"Mba sudah dengar kabar tentang mba Lina?"

Aku mengangguk.

"Mba jangan su'udzon dulu. Nanti bisa Mba tanyakan ke mas Arga."

Nanyain dia?

Buat apa?

"Kami nggak mau, Mba berubah pikiran," kata Yuni melirik suaminya.

Bisakah?

Sedangkan tadi malam bu Zaenab, tetangga ayah yang bekerja di KUA sudah membawa berkas perihal pernikahan dan seperangkat berkas lainnya.

"Entahlah Yun. Mba juga nggak tahu," ucapku dengan hati yang berat. "Berita itu datang tepat menjelang pernikahan ini, apa aku harus menutup mata?"

Yuni dan suaminya kembali saling menatap.

"Maaf Mba," kata Beny.

Mataku beralih padanya.

"Apapun yang terjadi dengan mba Lina, tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan ini."

Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang