Siang ini, seperti biasa setelah memasak aku menyalakan televisi. Membunuh waktu jenuh sambil menunggu mas Arga pulang.
Setelah kejadian kemarin, aku tidak punya muka ketemu mas Arga. Padahal mas Arga bersikap biasa saja.
Seperti tadi pagi ketika mengantarnya ke teras, aku banyak menunduk atau membuang muka ke arah lain.
Sungguh, kejadian kemarin di luar dugaanku. Aku terlalu cengeng jadi seorang wanita.
Ketika masih bersama mas Fahmi, pikiranku tidak pernah se-melow ini.
Mungkin, karena aku baru saja kehilangan sosok yang begitu kusayangi makanya suasana hatiku sering buruk.
"Sule ngelawak, kenapa kamu melamun?"
Aku menoleh, sedikit mendongak ketika mendengar suara dari belakangku.
Mas Arga!
"Sejak kapan di sini?" aku melihat mas Arga masih di posisi yang sama.
Berdiri di belakangku, dengan posisi jongkok dan lengan bersandar di sofa, hingga wajah kami sangat dekat.
"Cukup lama," jawabnya.
Aku mengerjap dengan suasana hati yang tidak begitu baik karena posisi kami.
Alih-alih memutar kepala, aku malah betah dengan posisi seperti ini. Dengan mata saling menatap.
Telunjuk mas Arga menyentuh dahiku, "Isinya di sini, apaan?"
Setelah itu, ia berdiri tegak dan berjalan ke arah kamar.
Aku mengikutinya dari belakang.
Mas Arga meletakkan ranselnya di sofa sudut kamar, sebelum masuk ke kamar mandi.
Aku memperhatikan ransel tersebut. Cukup berat sepertinya.
Mungkin, isinya berkas dan material yang berbeban.
"Nggak ada bom."
Aku menoleh dan melihat wajah segar mas Arga. Harum sabun menguar dari tubuhnya.
"Aku masak gurami lodeh dan terong sambal," kataku ketika mas Arga membuka lemari.
Aku belum biasa menyiapkan pakaian untuknya. Karena, aku tidak tahu selera seorang Arga.
"Terong kok di sambel?"
"Hah?"
Mas Arga terkekeh masih membelakangiku, hingga membuatku ikut tersenyum.
"Makan sekarang?" tanyaku lagi.
"Boleh."
Setelah itu ia memakai kaos yang melekat pada tubuhnya, dan otomatis aku membuang muka.
"Yuk."
Aku berdiri, melangkah ke pintu kamar sementara mas Arga mengikutiku dari belakang.
Aku mengisi nasi ke piringnya, dan meletakkan di depan mas Arga. Kemudian mengisi piringku.
"Kamu juga belum makan?"
Aku menggeleng, dan tanganku mulai menyendok lauk.
"Hampir jam tiga, Vi."
Aku tahu, memangnya kenapa?
"Kamu nunggu aku?"
Aku mengangguk.
"Kenapa?"
Iya, ya?
Kenapa nungguin dia?
Aku kan bisa makan dari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionHarga PDF 👉 70.000 "Mas sudah memiliki mba Yeyen dan mba Lina. Apalagi yang kurang?" "Fathan dan Nathan, keponakanku. Aku tidak ingin mereka kekurangan kasih sayang. Jadi, kamu hanya perlu menikah denganku!" "Maaf Mas, aku tidak bisa." "Aku jauh-ja...