Bertahan

15.2K 1.5K 44
                                    

...mas Arga tertawa pelan, membuatku salah tingkah.

"Kamu mikir apa, Vi?"

Aku menggeleng cepat, setelah tahu ternyata mas Arga menggodaku.

"Ini dzuhur pertama kita, kan?"

"Aku udah sholat."

"Kalau begitu, aku sholat dulu."

Mas Arga bangun, ia melangkah ke kamar mandi tanpa melihat ke arahku lagi. Ia melenggang begitu saja, meninggalkanku dengan segala kerumitan yang kutimbulkan sendiri.

Aku cukup malu, ketika mengetahui betapa dalamnya aku memaknai ucapan kakak ipar yang kini menjadi suamiku.

Perlahan kuraba dadaku, merasakan sisa detak yang sempat berpacu sepuluh menit yang lalu.

Mas Fahmi...

Apa aku melakukan kesalahan?

Hingga mas Arga keluar, aku masih pada posisi semula.

"Sajadahnya, mana Vi?"

"Mas mau sholat di sini?"

Mas Arga mengangguk.

Kubuka lemari, mengambil sajadah baru bermotif kotak dan ka'bah keemasan, seserahan darinya ketika pernikahan.

Mataku memperhatikan setiap gerakan yang dibuat mas Arga. Mulai takbiratul ihram sampai salam.

Cukup tenang.

Seperti sikapnya selama ini.

"Aku lapar," katanya setelah melipat sajadah.

Aku berdiri, mengambil sajadah di tangannya dan meletakkan kembali dalam lemari.

"Rambutmu panjang, Vi."

Aku mengangguk, "Mas Fahmi suka rambut panjang, makanya nggak pernah aku potong."

Senyumku merekah ketika mengingat wajah mas Fahmi.

Mas Arga tidak menjawab, ia membuka pintu kamar dan meninggalkanku sendiri.

Apa aku salah bicara?

Kulihat, Mas, Arga menyendok nasi dalam kosmos sebelum membawa ke meja makan.

Rautnya cukup datar, dan sedikit dingin.

Tidak ada satupun kalimat yang keluar hingga dia menyelesaikan makan siangnya.

Cukup aneh, dan terasa tidak nyaman karena keadaan seperti ini.

"Aku pulang ke Solo, sore nanti."

Reaksiku tidak biasa, sedikit terkejut karena pemberitahuan yang tiba-tiba.

Kemarin, dia mengatakan akan berada satu bulan di Jakarta. Dan sekarang, lain lagi.

"Lama?"

"Satu bulan."

Lumayan.

Ada desiran kasar tak kasat mereguk dalam sanubari.

Setelah itu tidak ada percakapan, Mas Arga masuk ke kamar.

Sebenarnya ingin kuikuti, namun kakiku enggan beranjak.

Cukup lama aku termenung di meja makan, memikirkan ke depan bersama anak-anak. Berharap tegar seperti lima bulan belakangan ini.

Meski tanpa ada sosok yang bisa kusandarkan kepalaku sekedar berbagi kekuh kesah.

"Ini ATM, penuhi kebutuhan anak-anak. Aku berangkat sekarang."

Rasa kagetku menguap begitu saja, mataku terasa panas melihat sikap mas Arga.

Dan, dia berlalu tanpa mengatakan apapun lagi.

Aku tidak tahu kenapa air mataku jatuh. Tidak mengerti kenapa dadaku terasa penuh.

Yang aku rasakan, ketika tubuh ini meluruh ke lantai. Ada sepasang tangan yang menuntunku hingga merasakan dekapan hangat.

"Aku tidak tahu kenapa kamu menangis. Yang sepatutnya air mata itu menjadi milikku."

Mas Arga...

...dia kembali.

Aku tidak mau melihat wajahnya. Bukan takut, tapi malu.

Tanganku reflek membalas pelukan itu. Isakan masih menyesakkan dada.

"Maaf."

"Jangan katakan, kalau masih mengulanginya."

Aku memejamkan mataku.

Mengingat perkataan atau perbuatanku yang membuatnya kecewa.

Ketika mas Arga melepaskan pelukannya, aku menunduk.

"Aku sudah bilang, kalau aku masih ada pekerjaan di sini. Paling lama satu bulan," kata mas Arga.

Perlahan daguku diangkat, hingga mata kami bertemu.

"Kalau kamu tidak nyaman, aku pergi sebentar. Pergi untuk membuatmu rindu."

Aku mengerjap. Menahan air mata yang ingin kembali tumpah.

Sungguh ini aneh.

Aku tidak tahu, perasaan apa ini.

Tapi, sakit ketika melihat tubuh itu berbalik.

"Jangan pergi." dua kata itu terucap begitu saja.

Tanganku memegang erat kemejanya.

Ya Allah...

Ada apa denganku?

"Sejak kapan kamu cengeng, seperti ini?"

Aku menunduk.

Akupun tidak tahu.

Yang jelas, sejak kepergian mas Fahmi air mata ini yang terus menemaniku.

Dan, ketika ayah juga mengatakan tidak lama lagi akan pergi, peganganku mulai rapuh.

Hatiku menguatkan.

Sebaik-baik tempat bersandar adalah Tuhanmu.

Tapi, aku bisa apa, ketika Tuhan mengirimkan sosok lain sebagai penuntun jalanku, pelengkap imanku dan pelebur rasaku?

Setitik harap sudah kusandarkan, lantas sandaran itupun akan pergi?

Apa aku sanggup?

Mas Arga kembali meraihku dalam pelukannya.

"Aku akan tinggal. Meski harus mendengar namanya disetiap elaan nafasmu."

Aku menggeleng, meyakinkan diri.

Bagaimanapun, aku harus menghargai perasaan pria yang sudah menjadi suamiku.

Mas Arga mengusap pipiku. Mata kami saling menatap, saling menyorot dengan regukan asa yang cukup membingungkan.

"Kalau kamu tahu, kamu tidak akan bertingkah seperti ini."

Aku tidak mengerti ucapannya. Dan, untuk saat ini, aku tidak ingin mengerti. Yang kuinginkan sekarang, dia tetap di sini.

Karena aku butuh sandaran.

Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang