Aku Rasa...

13.5K 1.4K 98
                                    

Sepertiga malam, aku terbangun. Entah jam berapa aku terpejam saat masuk ke kamar. Tapi, ketika mata ini terbuka rasa hangat melingkupi.

Aku ingin menggapai mengambil ponsel di nakas. Tapi pergerakanku terkunci.

Mataku melihat ke bawah, di mana sepasang tangan memelukku.

Dia...

...mas Arga.

Kapan dia masuk?

"Mau ke mana?"

Dengan cepat kupalingkan wajahku.

Apa, dia terjaga gara-gara aku?

"Tidurlah," katanya dan mengeratkan pelukannya.

Aku menurut.

Menunggu hingga nafas dan pelukannya terasa santai di perutku.

Dalam hati, aku bertanya-tanya.

Dia nggak marah?

Karena, semalam aku tidak mengantarkan kopi ke kamar mba Yeyen.

Cukup lama, aku menunggu mas Arga tidur. Baru bisa bangun, mengambil wudhu dan melaksanakan dua rakaat.

Mas Fahmi, masih butuh doaku.

Dan, aku tidak pernah bosan meminta yang terbaik untuk ayah anak-anakku.

Usai tahajjud, aku berbalik.

Jantungku, nyaris keluar dari rongganya melihat mas Arga duduk di sisi ranjang menghadap padaku.

Dari tadi, dia memperhatikanku?

"Apa yang kau minta?"

Aku menelan ludahku, ketika manik mas Arga berkilau dalam temaram kamar.

"Tentangku, atau---"

"Kenapa bangun?" tanyaku mengalihkan pembicaraan yang kutakuti akan berujung perdebatan, di tengah malam buta begini.

"Nama siapa dalam doamu?"

Inginku lari dari hadapan mas Arga. Dalam situasi seperti ini, ia pintar mengintimidasiku.

"Tidak apa kau sebut namanya, tapi aku marah kau melupakanku!"

Aku menunduk.

Menarik nafas saja, kulakukan dengan hati-hati.

"Vi, terima tidak terima, sekarang aku suamimu."

Nadanya sudah lembut, dan ia sudah berdiri.

Aku meremat kedua tanganku.

"Tidurlah!"

Mataku melihat mas Arga yang sudah memegang knop pintu kamar.

Dia mau ke mana?

"Mas mau pergi?"

Tidak ada jawaban.

Dan, seketika aku merasa tolol.

Posisi mas Arga masih membelakangiku.

Aku menggigit bibirku, mengusir rasa sesak yang datang kembali.

"Kamu tidak ingin membuat hubungan kita nyaman. Aku bisa apa?"

Kepalaku tertunduk.

"Tidurlah."

"Mas!!"

Panggilanku tidak direspon mas Arga, karena kulihat ia sudah membuka pintu.

Tanpa pikir panjang, aku memeluk tubuhnya dari belakang, hingga langkah mas Arga terhenti.

Aku tidak tahu, apa yang kurasakan.

Yang kuinginkan ia tetap di sini.

"Ajari aku membuka hatiku," kataku dengan pelan.

Mas Arga bergeming, tidak sedikitpun tubuhnya berputar.

"Aku, tidak tahu dengan hatiku. Aku merasa---"

"Tidurlah, Vi."

Mas Arga melepaskan tanganku, dan membuat kepalaku menunduk dengan cairan bening yang sudah lolos dari mataku.

"Aku akan menunggu. Tenang saja, aku tidak akan meninggalkanmu," katanya masih membelakangiku, "Karena, dari dulu hatiku sudah memilihmu."

Lirihannya, membuatku terpaku.

Dari dulu?

Maksudnya?

Mas Arga berbalik, hingga tatapan kami beradu.

"Aku tidak mengerti," kataku menatap ragu manik kelam mas Arga.

"Tidak usah kau pahami." kemudian mas Arga menunjuk tepat di dadaku, "Cukup kau rasakan dengan ini."

Jarinya mengusap jejak air di wajahku.

"Aku mengikatmu, bukan untuk melihat air matamu."

Lagi, embun itu menggantung di kelopak mataku. Ketika mendengar suara mas Arga, yang lumayan dalam, menusuk sanubariku.

Aku terjebak dalam tabir yang dibuat pria itu.

"Tapi..." ia mengusap lembut bibirku. "Aku ingin lihat senyum di sini."

Dan selanjutnya, aku tidak tahu apa yang kulakukan berdasarkan perasaanku atau hanya karena keadaan emosional yang labil.

Aku...

...menciumnya.

Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang