Manusia tidak luput dari kesalahan, baik disengaja maupun tidak. Dalam kategori kesalahan mas Arga bisa dibilang itu disengaja, namun aku tidak menyalahkan perasaannya yang tertimbun padaku, sejak aku belum menjadi istri mas Fahmi.
Ada kesempatan, ketika itu. Jika mas Arga mengatakan perasaannya. Terlepas, sambutanku nanti.
Tapi, apa mau dikata. Bayangku, sudah terlanjur wara-wiri dalam hubungan rumah tangganya.
"Setelah menikah dengan alamarhum, pernah terlintas ide, untuk memintamu pada Fahmi."
Kalimat mas Arga, membuatku tercengang. Senekad itu?
"Tapi, aku masih sadar. Bagaimana pandangan kerabat dan tetangga nanti."
Netraku menilai dengan baik sosok yang telah menjadi bagian hidupku.
Mata mas Arga tak bosan memindaiku. Meski kuakui, tatapan itu sedikitnya sudah mempengaruhi jiwaku.
"Aku tidak mensyukuri kepergian adikku. Tapi, aku berterimakasih. Saat kau menerima lamaranku."
Tidak bisa dikatakan menerima. Karena saat itu, ia mengatakan tak menerima penolakan.
Tapi, lagi aku kalah. Kala logika mengejekku.
"Sejauh ini..." ragu, tapi aku harus menanyakannya. "Adik-adik Mas tahu, tentang perasaan Mas?"
Mas Arga mengangguk. "Fahmi juga!"
Aku tercekat. Mas Fahmi tahu? Padahal maksudku, Yuni dan Dena.
Bagaimana perasaan mas Fahmi saat itu? Dengan cepat aku memutar kilas balik kejanggalan sikap mas Fahmi, dari masalah kecil hingga besar yang pernah kami lewati.
Tapi tidak ada.
Aku tidak menemukannya.
Karena, tidak pernah ada masalah serius yang terjadi dalam rumah tangga kami. Kecuali, kepergiannya atas takdir Tuhan.
"Awalnya dia marah. Tapi, setelah kamu melahirkan Fathan, sikapnya kembali baik padaku. Mungkin, ia menilai kamu..."
Menilaiku?
Untuk apa?
Ketika mas Arga melarikan pandangannya ke depan, aku menggali sendiri maksud ucapannya.
Cukup lama, hingga mulutku tidak bisa ku tahan, untuk tidak bertanya. "Jangan menggantungkan kalimat, apa maksud Mas?"
"Sikapmu padaku masih sama, ketika Fahmi sudah tahu perasaanku pada istrinya."
Mataku mengerjap, mencerna maksudnya.
"Tapi aku yakin. Kalau saat itu aku mengatakan semuanya padamu, kamu tidak akan bisa menolak. Dan...hubungan kalian entah akan berakhir seperti apa."
Kelanjutan kalimat mas Arga tak kugubris. Yang dikatakannya, sama sekali tidak benar. Kalau dia se-percaya diri itu, kenapa baru sekarang berkoar-koar.
Aku beristighfar.
Ketika aku mulai kesal.
"Kamu tetap harus bersyukur. Karena saat itu aku masih menghargai pernikahan kalian."
Aku meremat tanganku. Ingin segera pergi dari hadapan mas Arga, kalau tidak mau kekesalanku tumpah di sini.
"Tuhan punya rencana yang bagus atas kesabaranku. Kamu, yang kuinginkan bisa kuraih."
Kalimat cintanya bahkan tidak mampu menghangatkan hatiku yang terlanjur menahan emosi.
Apa perasaanku, segampang itu?
Logikaku terus menyalahkanku. Tapi, sudut hati kecilku membela.
"Mau ke mana?" mas Arga menarik tanganku saat aku bangun.
Aku butuh ruang.
Untuk memikirkan, apa yang sudah berlaku pada hatiku.
Juga waktu.
Untuk mengais rasa yang sudah menyusup.
"Nyetrika."
"Nanti saja."
"Dari tadi juga nanti! Bentar lagi aku masak!!"
Tangan itu terlepas.
Dan...
...raut keterkejutan mas Arga tak bisa kutepis.
Aku membentaknya?
Kenapa?
Aku berbalik dan berjalan cepat ke belakang. Bukan dapur yang kutuju, atau kamar tempat aku sering menyetrika.
Tapi... Belakang rumah.
Sudut belakang rumah, di belakang pohon mangga...aku menangis.
Menumpahkan rasaku...
Sesakku...
Dan sakitku, yang bersumber dari kebodohanku.
Perasaanku terlalu gampang, mudah untukku membalas perasaan mas Arga. Semudah ia menilai rendah harga diriku.
Memory-ku kembali memutar, bagaimana mas Fahmi memperjuangkanku sebelum kami dekat, hingga bisa menikah.
Dan...
...mas Arga, tidak sampai satu bulan.
Aku memberikan semuanya.
Termasuk...hatiku.
"Mencintaiku tak sulit. Jadi berhenti berpikir bodoh!"
Suara mas Arga terdengar dekat, dan langkah kakinya yang melangkah ke arahku.
"Bangun Vi! Bukan ini yang aku mau!!"
Entah keberanian dari mana, suaraku ikut lantang. Menyuarakan kebohongan. Yang mungkin akan kusesali.
"Apapun tentangku, bisa mas miliki. Hatiku...mungkin Mas tidak akan mendapatkannya!"
Kilatan itu, pernah kulihat.
Tapi, logikaku tidak bekerja cepat ketika mas Arga mendekat dan menciumku dengan kasar.
Kasar...
Sangat kasar...
Tapi aku menyukainya.
"Hatimu sudah kugenggam. Kamu mau mengelak ke mana?"
Dan, ia kembali menciumku.
"Boleh tunjukkan padaku? Sisi mana yang belum kudapatkan?"
Wajahku panas. Dadaku menahan amarah, yang ingin meledak. Ketika mas Arga menunjuk tepat di jantungku.
Dan...
...aku ingin meledakkan hatiku saat ini juga.
Karena sudah mencintai mantan kakak iparku.
"Terimakasih. Aku juga mencintaimu!!"
Aku memejamkan mataku, ketika mas Arga memelukku.
Dia mengetahui apapun tentangku. Dia...mengenalku dengan baik.
"Tidak nyangka, efek kopi telur, sedahsyat ini untukmu!"
Hah?
Kok kopi telur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionHarga PDF 👉 70.000 "Mas sudah memiliki mba Yeyen dan mba Lina. Apalagi yang kurang?" "Fathan dan Nathan, keponakanku. Aku tidak ingin mereka kekurangan kasih sayang. Jadi, kamu hanya perlu menikah denganku!" "Maaf Mas, aku tidak bisa." "Aku jauh-ja...