Dzuhur Pertama

15K 1.3K 42
                                    

"Om Arga tinggal sama kita, Bu?"

Aku mengangguk, mendengar pertanyaan Nathan. Sementara Fathan, putra pertamaku terlihat lebih pendiam.

Setelah menginap semalam di rumah ayah usai akad, siangnya aku dibopong ke ke sini. Tidak jauh dari rumah yang ku tempati dulu, sehingga anak-anak masih bisa sekolah di tempat yang sama.

Aku sudah menjelaskan padanya, dibantu ayah juga, sebelum kami pindah ke rumah yang telah dibelikan mas Arga.

Tahu jawabannya?

"Abang sama Nathan nggak cukup, Bu?"

Hatiku teriris.

Fathan sangat tertutup.

Ekspresinya jarang diketahui orang.

Hanya aku dan mas Fahmi yang mengerti sikapnya.

Dan, ketika harus mendengar jawabannya itu, sungguh hatiku terkoyak.

"Om Arga, pulang kemarin, bawa mobil balap?"

"Tidak Dek. Adek mau mobil balap?"

Nathan mengangguk. "Nanti beli ya Bu? Yang sama kayak Aris."

Aku mengangguk.

"Sudah jam tujuh, kita berangkat."

Kulihat Fathan sudah selesai sarapan, dan menggantungkan tas kedua bahunya.

"Abang tunggu," kataku ketika anak sulungku mulai bangun.

Tidak ada jawaban, hanya melihatku seperti menunggu.

"Abang sama adek, dianterin pak Mahyar ya?"

"Ibu, nggak mau antar kami?"

Aku mengerjap, bingung mau jawab apa. Karena selama lima bulan ini, aku yang mengantarkan anak-anak. Aku juga belum masuk mengajar, setelah meninggal mas Fahmi.

"Besok, Insya Allah. Ibu anterin."

Nathan mengangguk, kemudian mencium punggung tanganku. Diikuti Fathan, namun, si sulungku tidak melihat ke arahku.

Apa langkah Ibu, salah Nak?

Seandainya mas Arga pagi-pagi tadi tidak pergi, aku pasti akan mengantarkan kedua putraku.

Tapi, usai sholat subuh pertama berjamaah, mas Arga mendapat telepon dari klien yang baru saja tiba di bandara Soekarno Hatta.

Dan, aku lupa minta izin untuk mengantar anak-anak.

Jadi, dari pagi sampai siang yang kulakukan adalah mengitari tempat tinggal baru kami setelah membereskan pakaian anak-anak.

Ketika suara mobil terdengar, aku mengambil kerudungku dan melihat siapa yang datang.

Rupanya mobil mas Arga.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Kulihat, ada sebuah tas di tangannya. Mungkin berkas kantornya. Karena tadi, mas Arga berangkat tanpa membawa apapun.

Kami berdiri berhadapan, saling menatap sebelum mas Arga memutuskan kontak terlebih dahulu.

Ini canggung.

Sumpah.

"Mau makan?"

Mas Arga menoleh. "Masak apa?"

Aku tercengang. Tiba-tiba keingat mas Fahmi. Kalau aku tawarin makan, dia pasti jawab, "Boleh, yuk." tidak pernah nanyain aku masak apa.

Soalnya, masakan apapun pasti dia makan.

Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang