🌸
Ucapan mas Arga, rupanya tidak main-main. Dia serius membawaku ke acara pernikahan kliennya yang dilaksanakan di sebuah hotel.
Sebelum keluar dari mobil, kami berdebat kecil, mengenai aku yang menunggu di mobil. Lelaki itu bersikeras, mengajakku dengan alasan tidak ingin datang sendiri, dan tentu saja kutolak.
"Turun Vi. Nanti malah kemalaman di jalan."
"Mas saja."
"Kamu, mau aku gandeng?"
Aku tidak percaya dengan kalimatnya. Lupakah dia, kalau aku ini, adik iparnya?
"Aku ngajak Mas bertemu, buat omongin masalah pernikahan itu. Bukan malah ke sini!"
"Nanti kita bicara. Sekarang masuk dulu. Nanti, aku akan mendengarkan apa yang akan kamu katakan."
Benarkah?
Oke.
Kali ini, aku percaya. Anggap saja, aku menemani salah satu keluargaku.
Acara resepsi diselenggarakan di lantai empat. Sementara angka jam sudah menunjukkan pukul lima sore, jadi aku bergegas.
Melalui pintu lift aku bisa melihat pantulan diriku. Celana kulot dan tunik selutut. Sungguh, ini bukan pakaian untum acara formal. Apalagi jilbab persegi yang aku kenakan. Jilbab yang sering kupakai ketika mengajar.
Aku mendesah ringan.
"Kenapa?" tanya mas Arga melihatku dengan raut bingung.
Aku menggeleng.
Mataku kembali melihat pantulan diriku. Aku pasrah, ini kejadian pertama dalam hidupku. Menghadiri acara resmi seperti ini, dengan gaya nge-mall.
Ketika pintu lift terbuka, yang hanya ada aku dengan mas Arga, kami melangkah bersama.
Hingga pita warna-warni, bunga bertaburan dan kerumunan orang terlihat. Jantungku tak kalah berdetak cepat semakin langkah kami mendekat.
Yang pertama dilakukan mas Arga adalah mengajakku bertemu dengan beberapa orang. Mungkin kenalannya.
Setelah itu, dia mengajakku ke prasmanan.
Aku hanya mengisi piringku dengan dengan pancake dan sedikit buah. Ini bukan jam makan malamku, karena aku terbiasa makan usai sholat maghrib.
"Kita ke sana," kata mas Arga, menunjuk dengan dagu ke arah meja yang berada tidak jauh dari meja prasmanan.
Aku mengikutinya dari belakang.
Resepsi pernikahan klien mas Arga terbilang sederhana. Yang mencolok hanya Ucapan selamat dan taburan bunga. Sedangkan kedua mempelai tidak mengenakan pakaian adat seperti pengantin pada umumnya.
Aku tersenyum, pemikiran singkatku menyimpulkan, bahwa kedua mempelai itu punya kepribadian yang sederhana.
"Suka? Nanti kita juga bisa seperti itu."
"Hah?"
Mataku mengerjap mendengar suara mas Arga. Kemudian kembali fokus pada irisan buah di piring. Mengunyah dengan perlahan, sembari mengingat lagi, apa yang akan kukatakan nanti.
"Bu Devi?"
Aku menoleh.
Mati aku!!
"Rupanya benar."
Aku meneguk ludah ketika melihat sosok pemuda di depanku. Yang tak lain adalah anak didikku.
Senyum kikuk, sudah tarpasang. Tapi mulutku tidak sanggup mengucap sepatah katapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
Художественная прозаHarga PDF 👉 70.000 "Mas sudah memiliki mba Yeyen dan mba Lina. Apalagi yang kurang?" "Fathan dan Nathan, keponakanku. Aku tidak ingin mereka kekurangan kasih sayang. Jadi, kamu hanya perlu menikah denganku!" "Maaf Mas, aku tidak bisa." "Aku jauh-ja...