"Mba Yeyen nungguin," kataku sambil melepaskan diri dari buaian menghanyutkan seorang Arga.
Kegiatan ini, akan menghabiskan waktu banyak kalau tidak kuhentikan. Dan, yang paling penting, aku yang tak akan bisa berhenti.
Sementara di luar, mba Yeyen pasti sudah menunggu.
"Hm, itu jilbabnya benerin dulu."
Aku berbalik, mengarahkan tubuhku ke cermin.
"Cermin jangan disenyumin dong, Vi."
Aku menunduk, dengan tangan masih memperbaiki letak jilbab.
Mas Arga tertawa. "Istri aku ini kok gemesin, sih!"
Mas Arga kembali memelukku dari belakang.
"Mas!"
"Iya sayang."
Ya Allah...
"Yuk ah. Nanti mba Yeyen ketinggalan pesawat."
Mas Arga memaksa tubuhku berbalik, hingga lagi kami berhadapan.
Dan...
Cup!
Aku mencubit perutnya ketika ia mencium pipiku, dan kekehan mas Arga membuatku memberenggut.
Sadar umur, Vi!
Sadar!!
Aku melepaskan tangannya yang membelit pinggangku.
"Maaf, tadi subuh aku buru-buru."
Aku tidak menjawab, dan berbalik ke arah pintu.
Sebelah tanganku, masih berada dalam genggaman mas Arga.
"Tapi, nyesel juga. Kalau nggak 'kan kita udah subuh perta---"
Dengan cepat aku melepaskan tangan itu dan keluar dari kamar.
Mencoba berekspresi sebiasa mungkin, ketika mataku menangkap sosok mba Yeyen yang tengah berbicara di telepon.
Kutatap punggung wanita yang awalnya kakak ipar, kini menjadi maduku.
Nasib dan takdir yang tak pernah terbayangkan.
"Sudah Vi?"
Aku mengangguk, ketika mba Yeyen berbalik ke arahku.
Namun, bola mataku tidak tetap. Karena, aku tipe yang sangat mudah dibaca lawan bicaraku.
Jadi, sebisa mungkin aku menghindar.
Dan, ketika laki-laki yang baru saja keluar dari kamar menghampiri, aku keluar duluan.
Bagaimanapun, mba Yeyen mau pulang. Dan, mereka perlu waktu meski hanya sebentar.
Dan, benar saja.
Aku menunggu hampir sepuluh menit di luar, jauh dari teras rumah.
Begitu mendengar suara mereka, aku membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang.
Tidak ada adegan protes, siapa yang harus di depan dan belakang.
Aku mengikuti arus formal dan santai pasangan itu.
"Bilangin Lay, Mas akan datang ke acara wisudanya."
Aku mendengar mas Arga menyebut nama anak sulungnya, Laya.
"Iya. Nggak usah dipikirin."
Mas Arga tersenyum. Ia sempat melirikku dari spion.
Dan, aku membalas senyumnya.
Tapi, tunggu sebentar!
Itu... Di sudut bibirnya kenapa ada jejak lipstik?
"Resta, bisa menghandle kerjaanku?"
Mba Yeyen menoleh ke arah mas Arga, dan mengangguk.
"Asisten andalanmu itu, tak mau dianggap remeh." mas Arga tertawa ketika menyebut nama seseorang.
"Oya Vi, Mba sampai lupa. Mba bawa kado buat kamu, ambilin ya di kamar atas."
Aku melongo.
Kado?
Buatku?
"Kemarin waktu nikahan, Mba nggak bisa datang, karena Laya Yudisium, makanya baru sempat sekarang."
Allah...
Jadi, ini kado pernikahanku dengan mas Arga?
Suaminya?
Sebenarnya, hati mba Yeyen itu terbuat dari apa sih?
Gestur mba Yeyen, bisa kulihat dari spion samping kirinya, karena kaca mobil yang terbuka.
Terlalu santai, seolah aku yang duduk di belakang adalah teman atau adiknya.
Dan, mas Arga pun, sama.
Mereka sudah menghabiskan waktu 17 tahun bersama. Dan, menghadapi keadaan seperti ini, tidakkah canggung?
Terlebih mba Yeyen, yang tak lain adalah istri pertama.
"Terimakasih," kataku melihat wajah wanita itu yang masih terbingkai dalam spion.
Mba Yeyen tersenyum ramah, dan membuatku tanpa sadar menarik nafas dalam.
Ketika kami tiba di bandara, dan melepaskan mba Yeyen dan Nessa di tempat check-in, ada sesuatu yang kutangkap dari gelagat mas Arga.
Jarak aku dan mereka tidak sampai sepuluh meter.
Dengan lalu lalang orang-orang, aku bisa melihat mas Arga yang membelakangiku, memeluk mba Yeyen cukup lama.
Bukan, aku bukan cemburu.
Tapi, tepukan mba Yeyen di punggung mas Arga mengusik hatiku.
Mba Yeyen, seperti tengah menenangkan?
Pikiranku benar-benar tak bisa ku kendalikan, hingga mas Arga kembali dan mengajakku ke mobil.
"Kenapa, kok ngelihat aku terus?"
Aku menggeleng, dengan senyum kupaksakan.
Sikapnya tidak bisa kubaca.
Sikap tenang mas Arga, seharusnya membuatku lega. Namun, yang kurasakan malah sebaliknya.
Aku kembali merasa masuk dalam ruang abu-abu tak kasat. Meraba-raba, apa yang sebenarnya tidak kuketahui.
"Nggak usah terlalu dipikirkan. Cukup kamu tahu, aku sudah cinta."
Aku membuang muka ke jalan, memperhatikan mobil-mobil yang melewati kami
Iya.
Mas memang sudah cinta.
Tapi, tidak mungkin baru-baru ini, kan?
Apa sejak lama?
Atau, ketika aku...
...belum menikah dengan adiknya?
"Dan, salah satunya, sudah terjawabkan?"
Eh!
Kok senyumnya, aneh gitu?
Dan, kenapa juga mas Arga menghentikan mobilnya?
![](https://img.wattpad.com/cover/195503185-288-k831174.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu Iparku (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
Ficción GeneralHarga PDF 👉 70.000 "Mas sudah memiliki mba Yeyen dan mba Lina. Apalagi yang kurang?" "Fathan dan Nathan, keponakanku. Aku tidak ingin mereka kekurangan kasih sayang. Jadi, kamu hanya perlu menikah denganku!" "Maaf Mas, aku tidak bisa." "Aku jauh-ja...