Jump!

22K 685 36
                                    

Deru mesin pesawat Hercules sangat memekakkan. Padahal Samudera telah menutup kuping rapat dengan topi penutup telinga. Dieratkannya genggaman tangan pada tali kuning yang tergantung dari atap pesawat. Jantung di dalam rongga dada terasa bertalu dipacu adrenalin dan serotonin.

Ini adalah penerjunan pertama dari tujuh kali terjun yang direncanakan selama Pendidikan Dasar Para. Harusnya ini adalah yang termudah. Para taruna hanya perlu membawa perlengkapan terjun tanpa senjata maupun tambahan peralatan lain. Namun tak ayal, kaki Samudera gemetar juga.

Dia didapuk menjadi penerjun pertama yang akan jadi penentu bagi berhasil tidaknya keseluruhan rangkaian latihan terjun ini. Tak boleh ada keraguan, tak boleh ada keterlambatan. Diembuskannya napas perlahan, berusaha menenangkan jantung sekaligus mengalihkan perhatian pada tingkat stress yang terus meningkat.

"Satu, dua! Satu, dua!" dalam hati berusaha mengulang sesi latihan melangkah menuju pintu pesawat. Tapi lututnya malah tambah gemetar, jantung pun makin berdentam dalam rongga dada.

Dialihkannya perhatian pada hal-hal yang menyenangkan. Berusaha melupakan sejenak ketakutan yang mulai melanda. Bayangan Ayu dengan rambut hitam panjang yang membingkai manis wajah bulat telurnya berkelebat singkat. 

Samudera menggelengkan kepala. Bukan ini imaji yang ia harapkan. Tapi binar jenaka dari manik cokelat muda itu malah makin menghipnotis. Pada puncaknya, senyuman lembut Ayu berhasil menenangkan debar jantung yang menggila. Endorfin mulai membanjiri darah, menekan kekuasaan serotonin, membuat si pemuda siap menghadapi apa pun di depan sana.

Pintu pesawat dibuka. Angin kencang menyembur masuk, memaksa Samudera menutup mata seketika. Kemudian ia melangkah dengan gagah. "Satu, dua!" benaknya membilang dengan mantap. Tepat di depan pintu pesawat ia berhenti, menanti hingga posisi pendaratan terlihat. 

Terjun statis yang akan dilakukan berbeda dengan terjun bebas. Dalam terjun statis, arah parasut tidak dapat dikendalikan oleh penerjun. Sebagai konsekuensi, posisi pendaratan harus jelas untuk meminimalisasi kesalahan. Sisanya tinggal berharap pada arah angin dan kemurahan Tuhan.

Samudera sudah berada pada posisi yang benar. Kaki kiri di depan, ketiak dirapatkan, dua tangan di depan dada siap membuka parasut. Di bawah sana, rumah-rumah terlihat seperti kotak-kotak kecil yang tersusun rapat tak beraturan. Tak lama kemudian terlihat lapangan hijau kecil lalu menara Landasan Udara Suparlan, lokasi pendaratan nanti. 

"Jump!"

Samudera melepaskan tali dalam genggaman dan terjun dalam sekali lompatan. Setelah sedikit berputar, parasut terbuka. "Allahu Akbar!" pekiknya melepaskan semua tekanan.

Senyuman hangat Ayu kembali berkelebat. Menemaninya selama melayang hingga mendarat.

Pendaratan berhasil dilakukan dengan mulus. Setelah rampung mengemas parasut, ia menghampiri Satria, sahabat kentalnya yang sedang merapikan parasut. "Suh!" panggilnya pelan.

Satria tak begitu memperhatikan, taruna itu masih berkonsentrasi penuh mengurusi parasutnya. Samudera menanti dengan sabar dengan berdiri santai di dekat sang sahabat. 

"Kenapa?" tanya Satria setelah seluruh bagian parasut rampung dikemas dalam tempatnya.

"Ijin PDKT sama adek lo," kata Samudera tanpa basa-basi.

Satria hanya tertawa lalu melengos. "Ngawur!" sahutnya tanpa mengindahkan sang sahabat dan pergi begitu saja untuk berkumpul dalam barisan.

"Gue serius!" Samudera menjajarkan langkah dengan sahabatnya.

"Ngga!"

"Gue ngga bakalan main-main adek lo," kata Samudera setengah berbisik.

Satria tertawa. "Adek gue yang bakal main-main sama lo!" balasnya di sela tawa.

"Biarin!" Samudera menyahut cepat, "gue ambil risikonya."

Tawa Satria makin keras. "Serius, lo? Ntar kalo patah hati jangan nangis-nangis depan gue."

"Gila! Ngapain gue nangis?"

Kali ini Satria benar-benar terbahak. "Gue pegang kata-kata lo!"

"Gigit kalo perlu," sahut Samudera tak mau kalah.

Satria berhenti, menatap mata sahabatnya tajam. "Lo serius?"

Sahabatnya itu mengangguk mantap.

"Gue udah kasih tahu lo kalo si Yuyu itu ngga mau jadi istri tentara, kan?"

Sekali lagi Samudera mengangguk mantap. "Gue udah kasih tahu lo kalo gue mau ambil risikonya, kan?"

Satria mendecak. "Serah lo," dihantamkannya pelan helm bernomor 010 ke dada sang sahabat. "Gue udah kasih peringatan. Kalo sampe nanti lo patah hati, bukan urusan gue."

"Siap!" Samudera melangkah dengan lebih mantap. Dia ingin melihat senyuman itu lagi. Senyuman yang membanjiri darahnya dengan endorfin, menenangkan degup jantung, menemaninya menantang maut. Senyuman yang menerbitkan matahari dalam hati.


(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang