5. Kakak dan Adik

4.4K 293 21
                                    

Berat badan Ayu terasa bertumpu di lengannya, membuat Samudera refleks menahan pinggang gadis itu agar tak terjatuh. Setelah tubuh di hadapannya terasa seimbang, barulah ia merespon, "Emangnya kamu kacungnya Salju?"

Ayu menelan ludah. Samudera pandai sekali memilih kata. Kacung, kata yang sangat hina di telinga. Dihentakkannya tangan lelaki itu. Sejenak ia terhuyung lagi seraya meringis. Kaki kanannya terasa sakit sekali ketika menjejak tanah.

"Kenapa?" tanya Samudera dibalut rasa khawatir.

"Kakiku sakit," ucap Ayu menahan tangis. Kepalanya tak menemukan solusi terbaik bagaimana cara berjalan sampai ke meja bundar di sana.

Samudera bertongkat lutut memeriksa kaki Ayu yang mengambang di udara. Dilepasnya perlahan sepatu hitam yang sudah patah di bagian tumit. Tampak garis merah di bagian belakang tumit akibat tekanan sepatu. Pembengkakan terlihat samar di area mata kaki.

"Kenapa?" tanya Ayu meringis menahan tangis.

Samudera menarik tangan gadis itu lembut. "Duduk," katanya.

"Duduk gimana? Kamu nyuruh aku duduk di tengah jalan?" balas Ayu sengit.

Samudera berdiri. Tangannya memegang lengan Ayu halus, memberikan gadis itu kesempatan bersandar.

Berdiri dengan sebelah kaki bertumpu pada sepatu berhak tinggi sungguh merupakan ujian keseimbangan. Apalagi kaki kanan Ayu makin lama terasa makin nyeri.

"Kakimu kayanya keseleo. Biar kupapah juga, pasti susah banget jalan pake sepatu setinggi itu. Duduk dulu sebentar, biar kupatahin sekalian hak sepatu yang satu lagi. Jadi kamu bisa jalan lebih enak," pelan-pelan Samudera menjelaskan rencananya. "Kecuali kamu mau aku gendong sampe meja?" sebuah penekanan diberikan sembari melirik ke meja bundar terdekat yang berjarak kira-kira lima meter dari tempat mereka berdiri.

Ayu menimbang-nimbang. "Oke," akhirnya pasrah menyetujui.

Dengan bertumpu pada tangan Samudera, gadis itu mendudukkan diri di jalanan beraspal. Orang-orang melirik namun merasa tak enak ikut campur urusan pasangan ini. Lagipula, semua terlihat sudah dapat teratasi dengan baik.

Setelah hak sepatunya tanggal, Ayu berjalan dipapah menuju kursi terdekat. Samudera berjalan perlahan sekali, membiarkan gadis dalam rengkuh tangannya itu maju selompat demi selompat. Perjalanan lima meter ini terasa bagai seumur hidup dalam benak Ayu.

Berkali-kali ia mengulang dalam hati, ini protap, ini protap, jangan baper, jangan baper. Tapi tetap saja, rasa haru tak dapat dibendung memenuhi ruang hati.

Mengutamakan untuk melindungi orangtua, ibu hamil, anak-anak dan perempuan memang prosedur tetap penyelamatan bagi tentara. Namun berjalan sabar memapah juga menyamakan langkah, terasa sebagai kepekaan alami seorang Samudera. Tak urung, air menggenang di pelupuk mata Ayu.

Setelah gadis manis itu duduk dengan aman di kursi, barulah Samudera meninggalkannya untuk mengambil es yang akan digunakan untuk pertolongan pertama pada memar di kaki. Tak lama kemudian, Satria datang tergopoh-gopoh menghampiri sang adik. "Kamu kenapa, Yu?" suaranya berbalut kekhawatiran.

"Kemana aja, sih? Dasar Bang Sat! Pacaran mulu!" Airmata yang sedari tadi ditahannya kini keluar tanpa penghalang.

"Sorry," suara Satria lirih masih dilingkupi kecemasan.

"Sorry, Sorry!" Kekesalan Ayu yang lama tertahan tata krama kini meledak. "Kamu ngapain bikin Uni jadi naksir berat? Kamu mau bikin dia menderita? Udah, sih. Lupain aja! Jangan nyakitin orang lain!" raungnya, menumpahkan seluruh rasa yang menyesakkan dada.

Dahi Satria berkerut. Tak mengerti kenapa pokok bahasan tiba-tiba saja beralih. "Aku ngga akan nyakitin Salju," katanya mantap meski agak bingung.

"Ngga akan nyakitin, matamu!"

Satria terjengit beberapa mili. Tak disangkanya umpatan paling kasar buat orang Jawa itu bisa keluar dari mulut sang adik.

"Kalo kamu ngadepin situasi kaya Papa dulu, apa yang akan kamu lakukan?" Ayu makin meradang.

Sekumpulan udara ditarik masuk memenuhi paru-paru Satria. Tahulah ia apa yang memberatkan pikiran sang adik kini. Pelan-pelan mengambil posisi bertongkat lutut, dielusnya halus kaki kanan Ayu yang membengkak. "Papa sudah melakukan yang terbaik. Kurasa aku juga akan melakukan hal yang sama," ucapnya lembut namun mantap.

Ayu mendecih, membuang muka. "Dasar! Kalian semua udah dicuci otak!"

Samudera tertegun sejenak melihat kedua kakak beradik dalam ekspresi yang tidak keruan. Si kakak bertongkat lutut, mengelus pergelangan kaki adiknya. Sementara si adik menutup sepenuh muka dengan dua tangan. Suara isak menyeruak dari sela jemarinya.

Rasa dingin dari dua plastik es mengingatkan Samudera untuk fokus pada solusi. Ditepuknya pundak Satria agar beralih. "Aku udah nyuruh tim medis bawa perban elastis ke sini," katanya sembari menempelkan es batu di pergelangan kaki Ayu. Kedua ujung plastik disatukan dalam ikatan hingga dapat melingkar dengan rapat.

Suasana meja jadi dingin sesudahnya. Tak seorang pun membuka suara untuk menghangatkan suasana. Sepasang kekasih yang juga ikut duduk di meja bersama mereka akhirnya merasa tak enak hati dan beranjak pergi.

Matahari memulaskan rona merah jingga di horizon barat. Malam perlahan menyelimuti cakrawala. Setelah shalat maghrib, acara pun beralih ke dalam gedung. Satria memapah adiknya untuk berpindah pelan-pelan. Samudera dan Salju mengikuti irama langkah keduanya dari belakang.

"Kakimu sakit banget?" tanya Satria berusaha mencairkan suasana.

Sayangnya usaha tulus itu disambut lirikan sinis dari Ayu.

Pemuda itu menelan ludah namun tak menyerah, "Apa kita pulang aja?"

Ayu berhenti, memandang kakaknya nanar.

Salju ikut terhenti, bingung melihat dua kakak beradik saling mengadu tatap. Ekspresi keduanya tak bisa ia pahami. Bukan pertengkaran, bukan pula permusuhan. Semacam berbagai rasa diaduk menjadi satu.

Samudera mengarahkan Salju untuk masuk ke dalam gedung. Dengan isyarat mata, ia memberi kesempatan Satria menyelesaikan urusan dengan sang adik.

"Yakin mau pulang?" kata Ayu menantang.

Satria meniupkan udara dari hidungnya. "Aku ingin melamar Salju malam ini," ujarnya lirih, "aku tahu, kamu pasti udah tahu."

Ayu membuang muka.

"Tapi aku ngga mau melakukannya kalo itu bisa bikin kamu sedih," lanjut Satria, sengaja menunduk, mencari manik mata sang adik di balik tudung malam.

Gadis itu mendongak lagi. Mencari kesungguhan dari tatapan mata sang kakak.

"Kita ngga bisa mengubah masa lalu, Dek," kata Satria lagi, "apa ngga bisa kita fokus merencanakan masa depan?"

Kaki Ayu lemas seketika. Disembunyikannya airmata dalam lekuk dada sang kakak. Dia memang tak mau menjadi istri tentara. Namun di sana, di dalam gedung sana, ada banyak yang memimpikan bersanding dengan tentara.

Apakah pantas mematikan mimpi orang lain hanya karena dendam pribadi?

Apakah pantas menghalangi kebahagiaan orang lain karena kebencian diri sendiri?

Apakah pantas mematahkan harapan kakak yang selalu menyayanginya tanpa tapi?

Tangan Ayu makin erat melingkari badan sang kakak. Dirasakannya airmata seperti bah membanjiri jas sang taruna.

Lembut tangan Satria membelai rambut adiknya penuh sayang. Perlahan mahkota bunga imitasi di ubun-ubun gadis itu melengser ke aspal karena guncangan kepala nan tertahan.

Beberapa jenak berlalu dalam rengekan tangis putus asa. Pertanyaan-pertanyaan bertalu di benak tanpa menemukan jawaban. Dalam serak kepasrahan, Ayu menyatakan putusan, "Aku ngga akan menghalangimu, Mas."

Satria terkejut. Lama sekali ia tak mendengar Ayu memanggilnya dengan sebutan Mas. Hatinya dipenuhi keharuan seketika. "Makasih, Dek." Didekapnya erat sang adik tersayang.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang