7. Factory Setting

4.4K 261 4
                                    

Siang itu Ayu nyaris tak bisa tidur. Ditekannya nomor sang kakak dengan penuh penasaran. Ia tak habis pikir, Satria bisa berubah pikiran semudah itu.

Tak seperti biasa, kali ini Satria menolak permintaan video call dari adiknya. Beberapa jenak kemudian, sebuah panggilan suara masuk ke ponsel Ayu.

"Wa'alaikumsalam, Bang," balas Ayu setelah terdengar sapa dari Satria.

"Gimana kakimu?"

"Baik," jawab Ayu berusaha rileks, "gimana hatimu?"

Satria mendengkus dari seberang sambungan telepon. "Masih sakit kakimu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

Ayu tak mau menjawab. Dibiarkannya keheningan membalut jarak di antara mereka. Hingga akhirnya Satria mengalah dan bertanya, "Kenapa?"

"Kenapa apa?"

Satria menghela napas dalam. "Yu, aku lagi males main teka-teki. Kalo ngga ada yang mau diomongin, aku tutup aja."

"Kamu yang belom jawab pertanyaanku."

Lagi-lagi Satria menghela napas. "Kamu nanyain hatiku?"

Meski abangnya itu tak bisa melihat, tetap saja Ayu mengangguk mantap.

"Hatiku hang. Kayanya butuh di-reset balik ke factory setting."

Sekarang Ayu yang mendengkus. "Udah coba di-restart?"

"Gimana caranya?"

"Hmm, kata William James, penemuan terhebat abad dua puluh adalah bahwa manusia bisa mengubah dunianya hanya dengan mengubah persepsinya terhadap dunia."

Satria tertawa mengejek. "Coba kamu ubah dulu persepsimu terhadap tentara, baru aku bisa percaya sama si James itu!"

Ayu terdiam. Ada satu kaidah yang dia paham betul jika ingin kata-kata bergaung di telinga pendengarnya, Walk the Talk. Jika tak bisa melakukan apa yang diucapkan, maka jangan harap orang lain akan mengikuti apa yang dikatakan.

Dihelanya napas. "Serah, deh," hanya itu yang bisa dikatakan di ujung pemikiran. "Aku cuma pengen tahu," lanjut Ayu lagi, "tumben-tumbenan kamu berubah pikiran."

Hening. Tak keluar suara apa pun dari speaker.

"Yo, Bang Sat!"

"Keluarga adalah support system utamaku," kata Satria akhirnya, "aku tahu kamu ngga sepenuhnya setuju. Sebelum membuat keluarga baru, aku harus yakin bahwa kamu, Mama, Papa memberi dukungan penuh terhadap keluarga baru yang akan kubangun nanti."

"Aku kan udah bilang, ga akan menghalangi kebahagiaanmu."

"Ngga menghalangi, ngga sama dengan mendukung," tegas Satria membungkam lidah Ayu.

***

Setelah itu, semua terasa diatur ulang kembali ke factory setting. Wajah Salju yang tadinya banyak berhiaskan senyuman, kini kembali dingin seperti kutub selatan. Seolah musim semi telah berakhir dan langsung melompat pada musim dingin nan membekukan.

Samudera datang berkunjung ke kos Ayu di kesempatan pesiar akhir pekan berikutnya. Sekadar menjenguk untuk melihat kondisi kaki gadis itu, demikian alasan yang ia buat untuk Satria.

Dia segera berdiri menawarkan bantuan begitu melihat Ayu terpincang-pincang keluar dari pintu. "Aku bisa sendiri," kata gadis itu menepis lengan Samudera. Pemuda berpakaian dinas harian itu menarik tangannya lagi dan berjalan pelan di sisi Ayu.

"Tumben, sendirian?"

"Iyalah, kan aku kangen sama kamu. Ngapain ngajakin orang?"

Andai kalimat ini diucapkan dua pekan yang lalu, Ayu pasti akan tertawa keras dan menyebut Samudera tukang gombal nomor satu. Tapi hari ini kata-kata itu terasa berbeda. Ayu tak tahu harus merespon bagaimana.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang