14. Dasar Infanteri!

4.1K 273 47
                                    

Pagi di keluarga Prakasa selalu diusahakan bermula dari sarapan bersama. Semua yang ada di rumah wajib hadir di meja makan untuk memulai hari. Masing-masing akan menjelaskan rencana sehari hingga seluruh keluarga tahu dan bisa saling mendukung.

"Aku ada reuni SMA ntar malem di blok M. Mungkin berangkatnya jam 5-an dari sini. Ntar solat maghrib di sana aja, sekalian bantuin temen-temen panitia," Ayu melaporkan agendanya hari ini.

"Perlu dianter? Apa dijemput...?" Satria tak sempat menyelesaikan kalimat karena si adik langsung menendang betisnya.

Samudera mengamati dengan rasa ingin tahu. Sepasang saudara di hadapannya seolah sedang terlibat diskusi rahasia.

"Kamu pergi sama siapa nanti?" Papa menengahi percakapan mereka.

"Bareng temen."

"Siapa?"

Satria mengerling jenaka, membuat Ayu mendecak kesal. Sebuah kerlingan yang meyakinkan Samudera bahwa ada sesuatu tentang teman yang sedang dibicarakan.

"Temenku yang jadi panitia." Ayu tak ingin menyebut nama.

"Siapa?" desak Yudha. Dia tak mau anak gadisnya pergi dengan orang tak dikenal.

Ayu menyerah. "Bimo," jawabnya disambut gelak dari sang kakak. Membuat Samudera makin yakin, Bimo ini bukan hanya sekadar teman.

Yudha mengangguk-angguk. Bimo adalah anak sahabatnya sejak masih berjuang di Lembah Tidar. Karena sama-sama tinggal di Kompleks PATI, tentu tak aneh jika mereka pergi bersama. "Ati-ati di jalan," akhirnya ia berpesan.

"Hari ini mau nganter Sam ke Senen, trus lanjut ke Bogor," Satria mengutarakan agendanya disambut dengan dehaman dari sang adik.

"Kamu serius sama Salju?" Papa langsung menonjok pada sasaran.

"Siap, insyaaAllah."

"Salju udah siap?"

Kunyahan Satria terhenti seketika. Diliriknya Ayu, minta pendapat. Yang dilirik hanya mengangkat bahu samar.

"Jangan lupa siapkan dia baik-baik. Jangan sampai nanti menyesal." Yudha meminum jus buah naga tanpa gula yang tinggal separuh.

"Kapan-kapan boleh ajak ke sini, biar kita bisa ngobrol-ngobrol cantik," suara lembut Mama mencairkan suasana.

"Siap, Jenderal!" Satria menjawab ditingkahi tawa. Kata orang, pangkat istri TNI satu tingkat di atas suaminya. Jadi ketika pangkat Yudha adalah letnan jenderal, maka pangkat Ambar sudah pasti adalah jenderal.

"Kamu nanti kereta jam berapa, Sam?" Ambar mengalihkan pembicaraan.

"Siap, jam setengah duabelas, Bu."

"Rapi amat, Suh. Mo pulang aja pake PDH segala."

Samudera menanggapi gurauan Satria dengan senyum samar. "Izin menghadap, Panglima," katanya dengan posisi tegak.

"Sekarang?"

"Izin bicara empat mata, Panglima," suara datar Samudera menghentikan gerakan tangan Ayu.

Dua orang berseragam PDH itu saling menatap. "Baik," kata Yudha, "kamu yang nyetir kalo gitu."

"Siap!" Samudera berdiri, "izin menyiapkan mobil." Setelah Yudha mengangguk, lelaki itu segera beranjak ke depan.

Ayu mengepalkan tangan di pangkuan. Hatinya tak tenang. Pembicaraan dini hari tadi terngiang-ngiang kembali. Dasar infanteri! Rutuknya dalam hati sambil berdiri.

***

Di depan rumah, Samudera mengatur napas. Dia telah mengatur posisi kursi supir agar sesuai dengan ukuran tubuhnya. Kursi penumpang sudah dicek, bersih, rapi jali. Jalur ke Makostrad selesai dikonfirmasi dengan sersan yang biasa bertugas sebagai supir Pangkostrad. GPS siap di dashboard. Sekarang tinggal menguatkan hati.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang