10. Sang Adhi Makayasa

3.7K 254 19
                                    

Lelaki itu sendirian berjongkok dalam barisan. Suara tangis haru ditingkahi gelak tawa bahagia di sekeliling, membuat hati terasa perih. Dia telah berhasil menjadi yang terbaik dari semua yang baik. Namun sang ibu, orang yang menjadi alasannya bergabung dengan akademi militer tidak ada di sini untuk menerima penghormatan itu.

Kondisi Ibu akhir-akhir ini tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Selama cuti menjelang praspa kemarin, ia menyaksikan sendiri bagaimana kondisi sang perempuan kesayangan. Tidak hanya stroke yang menggerogoti, tapi juga diabetes ikut serta mengganduli. Untuk penyakit kedua ini, ternyata sama sekali tidak mendapatkan perawatan dari keluarga. Mereka tidak memeriksakan ke dokter hingga tak ada seorang pun yang mengetahui.

Selama liburan, Samudera berusaha menstabilkan keadaan sang ibunda. Sebisa mungkin menyenangkan beliau. Menurut dokter, kondisi hati yang bahagia dapat meningkatkan kemampuan tubuh menyembuhkan diri sendiri.

***

Kamu beneran ngga mau masuk ISI, tho Le?" tanya Ibu malam itu melihat Samudera menyusun berkas pendaftaran Akademi Militer.

"Ngga, Bu," anak lelaki itu menyahut sembari memasukkan semua berkas ke dalam map bertuliskan namanya. "Kalo masuk ISI keluar duit lagi. Mending masuk Akmil, gratis. Baju dikasih, makan dikasih, tempat tinggal juga disediakan. Trus, digaji juga. Pokoknya Ibu ngga usah khawatir selama aku kuliah. Nanti tahu-tahu udah jadi sarjana."

Sang ibu menghela napas. Diliriknya tumpukan buku gambar yang sejak naik kelas 12 jarang sekali disentuh Samudera. "Tapi menurut Ibu, kamu punya bakat gambar. Sayang kalo ngga dikembangkan," ibunya bersikukuh.

Dia tahu benar, anak semata wayangnya itu sangat gemar menggambar. Sejak masih TK sudah jadi langganan kejuaraan lukis-melukis. Pernah juga diminta untuk melukisi dinding PAUD binaan PKK di kampung. Ketika tujuhbelasan kemarin pun Samudera memimpin teman-temannya untuk membuat graffiti di dinding kampung hingga terlihat ceria menyambut kemerdekaan.

Samudera tertawa kecil. "Apa gunanya mengembangkan bakat kalo malah bikin Ibu harus pontang-panting kerja?" Ibunya hendak menyahut lagi tapi kalimat yang hendak dikeluarkan segera dicegat, "Pokoknya, kalo aku masuk Akmil nanti, Ibu ngga usah lagi kerja buatku. Kalo perlu Ibu ngga usah kerja, nanti uang saku aku kirim semua buat Ibu."

Sang Ibu mendesah pasrah. "Terserah kamu, Le. Ibu cuma bisa doain di sana nanti kamu jadi yang terbaik."

***

Samudera makin erat memeluk lututnya. Doa sang ibu menjadi kenyataan. Tapi saat ini, ia hanya ingin jadi biasa-biasa saja. Andai semua gelar dapat ditukar dengan kesehatan ibunda, perwira itu rela melakukannya. Kemarin, dua jam setelah menjejakkan kaki di Jakarta, Samudera mendapat kabar bahwa ibunya collaps dan dibawa ke rumahsakit seketika itu juga. Meski pagi ini kondisi beliau sudah relatif stabil, namun nyawanya tetap saja serasa di ujung tanduk. Mengingat itu semua, bahunya terguncang menahan airmata.

Ayu berjongkok di sisi Samudera. Menyerahkan tisu tanpa melihat pada lelaki itu. "Makasih udah minjemin undangan," katanya pelan.

Samudera mengeringkan airmata yang terlanjur tumpah dan menghela napas untuk menyelesaikan urusan emosi.

"Lanjutin aja," kata Ayu, "aku ngga liat, kok," lanjutnya tanpa mengalihkan pandang dari orang-orang yang lalu-lalang di hadapan.

Terdengar suara dengkus dari hidung Samudera. "Udah ngga minat lagi," katanya, "liat kamu, yang ada tinggal hepi."

"Huh! Ngga usah lebay gitu, deh Sam. Manusia sedih itu wajar. Yang ngga wajar, ngga mau ngaku kalo dia lagi sedih," Ayu membalas sinis.

"Aku ngga nolak kalo aku lagi sedih. Cuma ngga mau koar-koar aja. Ngga ada gunanya," tandas Samudera.

"Oh, oke," kata Ayu bersiap berdiri, "tadinya kirain kita udah cukup dekat untuk berbagi perasaan. Ternyata aku salah." Dia berbalik, hendak kembali pada Satria.

Sigap Samudera menarik tangan Ayu. Mendongak, mengadu tatap dengan gadis kesayangan. Belum sempat mengatakan sepatah kata pun, terdengar panggilan dari MC kepada keempat penerima Adhi Makayasa untuk merapat ke Istana Merdeka. Mereka mendapat kehormatan berfoto bersama Presiden Republik Indonesia.

Samudera berdiri tanpa melepaskan tatap dari mata Ayu dan berkata, "Temani aku menghadap Presiden."

Ayu menoleh ke kanan. Tampak Satria sedang dikelilingi ayah dan ibunya serta Salju. Lebar senyum mereka makin menonjolkan aura bahagia yang berpendar.

Tanpa bertanya lagi, Samudera segera menghadap Pangkostrad, "Lapor, Panglima. Izin meminta Ayu mendampingi untuk menghadap Presiden."

Yudha menatap putrinya. Dia tahu, Ayu sama sekali tak menyukai segala acara berbau ketentaraan. Sekarang gadis itu akan menghadap Presiden mendampingi seorang perwira, rasanya seperti matahari baru saja terbit dari barat.

"Kalau Ayu bersedia, saya tak keberatan," jawab sang ayah diplomatis.

Samudera menoleh pada Ayu, meminta jawaban serta kesediaan.

"Oke, ngga masalah," gadis itu menjawab ringan.

"Silakan," sang ayah memberi izin, "jaga sikap di hadapan Presiden."

"Siap! Laksanakan!"

***

"Sorry," kata Samudera ketika mereka berjalan melintasi lapangan rumput hijau, "aku ngga biasa berbagi kesedihan."

Ayu tersenyum, matanya tak beralih dari istana megah bercat putih di depan. "Sekarang kamu punya aku. Kamu bisa berbagi apa pun denganku."

Lelaki berseragam hijau lumut itu menautkan alis. "Punya?" suaranya terhalau angin hangat yang bertiup lembut.

Sesi foto berlangsung tidak terlalu lama. Diselingi dengan beramah-tamah seperlunya bersama Presiden dan Wakil Presiden beserta istri. Kue putu dan lepet jagung juga disajikan beserta cilok serta bakwan untuk meningkahi obrolan. Namun buat Ayu, yang paling menggoda adalah es cendol di meja minuman.

"Psst, jaga sikap," bisik Samudera melihat gadisnya merasa tak cukup mengambil es cendol hanya segelas.

"Duh, ini cendolnya enak banget. Lembut, trus aroma pandannya halus ngga bikin pusing. Beli di mana, sih, ni cendol?"

"Eh, Ayu?" Tante Reni alias Bu KASAD datang menyapa, "bener Ayu, kan?"

"Iya, Tante," Ayu mengangguk malu. Bagaimana mungkin dia lupa bahwa Presiden pasti juga akan ditemani oleh kepala staf dari ketiga angkatan.

Tante Reni adalah sahabat kental Mama sejak masih menjadi rekanita. Dia suka sekali dengan Ayu karena keinginannya untuk memiliki anak perempuan sudah pupus. Dua anak yang lahir dari rahimnya berjenis kelamin laki-laki.

"Eh, kamu sama siapa ke sini?" Tanya Tante Reni berbisik-bisik sambil melirik Samudera.

"Ini Tante, kenalin Samudera." Bu KASAD mengulurkan tangan. "Sam, kenalin, Tante Reni alias Bu KASAD." Sang Letnan Dua pun mengangkat hormat sebelum menyambut uluran tangan Tante Reni.

"Selamat, ya," Bu Kepala Staf sedikit berbasa-basi, "jarang-jarang, loh, bisa dapat Adhi Makayasa sekalian Tri Sakti Wiratama."

"Siap. Makasih, Bu," Samudera menjawab masih dalam mode formal. Jujur, dia baru menyadari sekarang siapa gadis yang menguasai gerak hati ini. Lingkungan pergaulannya bukan orang biasa. Dilihat dari sudut mana pun, tak pantas anak seorang mantan buruh cuci bermimpi bersanding dengan putri seorang perwira tinggi.

"Akhirnya kamu jadi CaPERSIT juga, Yu?" goda si tante menahan kikik, "gagal, dong usaha Tante PDKT."

"Ih, Tante. Jangan keras-keras," Ayu menyahut berbisik-bisik, tak enak hati dengan Samudera yang masih di sisi.

Lelaki itu tersenyum kecut. Sekuat tenaga ditahannya hati agar tak mencelos. Kata PDKT terasa kuat menohok jantung. Diterawang dari sisi mana pun, putri seorang Pangkostrad memang sepadan sekali berdampingan dengan anak seorang KASAD.

===

CaPERSIT

Calon PERSIT, sebutan untuk calon istri prajurit TNI AD. 

PERSIT

Persatuan Istri Prajurit. Organisasi para istri prajurit TNI AD.

(Gak Mau) Jadi Istri Tentara (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang