PROLOG

605 11 0
                                    

Perkenalkan, namaku Hawa Chandra, kalian bisa memanggilku Hawa, kalau mama sering memanggilku Kakak, itu karena saat ini aku punya seorang adik perempuan yang bernama Vivi, atau nama lengkapnya Viana Chandra. Usia Vivi saat ini adalah 19 tahun, beda 3 tahun denganku. Ya, kalian benar, kita memang punya nama belakang yang sama. Nama itu didapatkan dari nama ayah kami; Chandra. Ayah sudah meninggal sejak aku lulus SMA. Jadi sekarang aku dan adikku yang menjaga mama.

Sekarang kami sedang berada di salah satu pemakaman umum di Jakarta. Bukan, tujuan kami bukan untuk berziarah ke pemakaman ayah, tapi berkumpul untuk acara pemakaman mendiang pacarku yang baru saja meninggal. Ya, pacarku. Namanya Reiki Altezza, atau biasa dipanggil Rey. Dia meninggal di usia yang masih sangat muda, hanya berbeda 5 tahun lebih tua dariku.

Sudah ada puluhan orang di tempat itu; mulai dari keluarga, saudara, teman-teman di lingkungan rumah, tempat kerjaan, para tukang gali makam, dan seorang ustaz. Semuanya berkumpul untuk menujukkan rasa simpati mereka kepada mendiang pacarku.

Aku sendiri memposisikan diriku di barisan belakang dari orang-orang itu sambil memegang sebuah album foto pre wedding kami.

Statusku sebagai pacar Rey mungkin membuat kalian heran kenapa aku melakukannya, kenapa aku tidak berada di barisan depan untuk membasahi wajahku dengan air mata yang sia-sia; menyesali kematian orang yang aku cintai, atau bahkan mengemis sebuah keajaiban agar pacarku bisa hidup lagi. Tidak bisa, aku tidak bisa melakukan itu. Karena ini permintaan terakhir darinya.

Suara azan yang terdengar dari kuburan Rey membuatku merinding, itu suara dari adiknya yang bernama Fahlevi Altezza, yang biasa dipanggil Levi. Suara lantunan azan dari pemuda berusia 25 tahun itu benar-benar merdu. Sayangnya sekarang dia melakukan itu untuk kakaknya yang sudah meninggal, karena pikiranku terus berimajinasi lantunan azannya sedang kudengarkan dari pengeras suara masjid dekat rumah, mengingatkan masuk waktu salat. "Stop, Hawa ... stop! Dia enggak bakal hidup lagi!" Aku terus membentak diriku sendiri sambil memukul pelan kepalaku beberapa kali.

Mama dan Vivi berada di posisi paling depan kuburan. Posisi mereka menghampit Ibu Safira yang seharusnya tidak lama lagi sudah menjadi ibu mertuaku. Ibu Safira sangat baik padaku, bahkan sejak aku pacaran dengan anak pertamanya itu dia sering meminta untuk dipanggil mama. Tapi aku masih belum bisa, setidaknya sampai aku benar-benar sudah menjadi menantunya.

Sebuah frame besar yang menampilkan wajah Rey yang sedang berpose tersenyum terus berada dipelukan Ibu Safira. Walau sudah terlihat lebih tegar, wajah penyesalan darinya benar-benar tidak bisa disembunyikan. Rey pernah cerita bahwa ayahnya sudah meninggal sejak dia berusia 10 tahun. Pasti berat bagi Ibu Safira; sudah tidak mempunyai suami, dan sekarang harus kehilangan anak laki-laki pertama.

Setelah proses pemakaman selesai, puluhan orang satu persatu mulai meninggalkan tempat itu. Tubuhku semakin lemas saat bertapapan dengan mereka, puluhan wajah yang terlihat menyampaikan rasa prihatin untukku. "Yang sabar ya, Hawa." Satu kalimat yang paling sering kudengar dari mereka yang mengenaliku sebagai pacar Rey. Bahkan aku nyaris pingsan saat puluhan tangan terus menyentuh bahuku.

Aku tidak suka dikasihani. Aku ingin menghindar dari mereka, tapi tubuhku benar-benar tidak bisa digerakkan, hanya berdiri tegak sambil terus menatap kosong ke frame wajah Rey dipelukan ibunya. Aku tidak mungkin bisa melupakan wajah itu. Rey bukan termasuk pria tampan seperti kebanyakan pria lain yang aku kenal, tapi menurutku dia memiliki wajah berparas manis, aku merasa nyaman saat wajah itu menatapku, terlebih cara dia tersenyum. Hidungnya mancung, kedua bola matanya berwarna cokelat. Kulitnya sawo matang, bibirnya berwarna sedikit kehitaman karena Rey adalah perokok berat. Rambutnya pendek, berwarna hitam yang tersisir rapi menyamping, dan brewok di wajahnya semakin membuatku terpesona pada karismanya.

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang