MOBIL WARISAN

63 4 0
                                    

Aku selalu bersujud saat menyelesaikan doa setelah salat. Sajadah kulipat, dan kuletakan di atas kasur, mukenah yang kukenakan kemudian kulepas, dan kugantung lagi di dalam lemari. Tidak lama terdengar suara kekutan dari pintu kamarku.

"Kak." itu suara mama. "Mama boleh masuk?"

"Masuk aja, Ma." sahutku yang sudah duduk di depan cermin untuk merapikan kerudung yang sedikit berantakan.

Pintu terbuka, dari pantulan cermin aku bisa melihat mama berjalan menghampiriku. "Kamu udah salat Isya?" tanyanya sambil membantuku merapikan kerudung.

"Udah, baru aja."

Mama tersenyum ramah. "Malam minggu ini kamu enggak ada rencana ke mana-mana kan?"

Aku menggelengkan kepala. "Enggak ada, emangnya kenapa?"

"Karena kebetulan Mama lagi masak masakan yang kamu suka."

"Sea food?" aku menebak.

Wajah mama tampak semeringah. "Iya dong, ada cumi goreng, ikan gurame goreng, udang goreng tepung, plus lengkap sama lalapannya."

Di saat kerudungku sudah rapi, aku pun berdiri dengan semangat. "Ya udah, yuk makan. Kebetulan aku juga udah laper banget, pantes aja dari tadi kecium bau-bau makanan yang menggoda dari bawah."

Mama tertawa untuk beberapa saat, sampai ekspresinya tiba-tiba berubah; terlihat prihatin dan cemas. "Duduk lagi sebentar yuk, ada yang mau Mama omongin." mama membawaku untuk duduk di pinggir kasur. "Kak, ini kan udah hari ke lima kamu sama adik kamu enggak saling negor. Mau sampai kapan?"

Aku sudah menebak mama akan membahas itu, pertanyaan yang berulang sejak hubunganku dan Vivi yang tidak lagi harmonis. "Enggak tahu." ucapku sambil mengangkat kedua bahu.

"Mama sebagai orangtua kalian ngerasa sedih ngeliat anak-anaknya pada enggak akur kayak gini." lanjut mama dengan suara karut. Satu tangannya kemudian menarik wajahku untuk menatapnya. "Allah aja, Tuhan yang menciptakan kita memiliki sifat pemaaf, masa kamu sebagai manusia ciptaanya-Nya enggak bisa ngelakuin hal yang sama ke adik kamu sendiri?"

Aku tidak menapikan nasihat mama barusan, tapi perasaanku masih terasa berat terutama saat ingat tamparan Vivi ke wajahku dan ucapannya yang mengharap dia kehilangan kakak seperti yang dialami Levi. Mungkin benar, tindakannya saat itu karena emosi yang tidak lagi bisa dikendalikan. Tapi tetap saja, apa yang sudah dilakukan adalah sesuatu yang nyata dan kualami.

"Hawa enggak tahu, Ma. Mungkin sebentar lagi Hawa sama dia udah baikkan, mungkin setengah jam lagi, atau mungkin besok, mungkin lusa, mungkin minggu depan, mungkin tahun depan, atau mungkin enggak sama sekali." jawabku sambil menggelengkan kepala. "Bodo amat Hawa mah, lagi pula sejak kejadian itu dianya juga belum minta maaf ke Hawa."

Kedua mata mama terlihat melotot. "Vivi enggak mau minta maaf ke kamu karena dia juga ngerasa kamu yang harus minta maaf ke dia." kedua tangan mama meraih tanganku. "Mama sebenernya udah enggak mau ngebahas lagi masalah ribut-ribut itu, tapi dari yang Mama denger—apa yang kamu bilang waktu itu ada benernya, dan ada juga yang keliru."

"Apa yang bener, apa yang keliru?"

"Yang bener, pas kamu bilang kamu kepala rumah tangga untuk keluarga kita." jawab mama. "Dan sama kayak Vivi, apa yang kalian ributin itu lebih banyak yang keliru." helaan napas panjang mama hembuskan, kali ini tatapanya terlihat melemah. "Maafin Mama, seharusnya kita udah enggak ngebahasnya lagi. Sekarang, Mama mohon dengan sangat ke kamu buat ngurangin sedikit ego, ngalah sama adik kamu, baikkan sama dia, karena kalian enggak bisa jagain mama kalau hubungan kalian enggak harmonis kayak gini. Tolong kamu lakuin ini demi Mama."

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang