6 JAM SEBELUM PEMAKAMAN

86 6 0
                                    

"Hawa, lo enggak apa-apa?" terdengar suara yang tidak asing dari arah belakang. Aku pun memutar kursiku, dan melihat Rina; rekan kerja sekaligus temanku sejak kuliah. Dibandingkan seluruh teman yang kupunya, Rina lah yang paling dekat denganku.

"Dari mana aja lo? Gue cari-cariin."

"Kamar mandi, biasa nyetor tiap pagi." jawab Rina sambil duduk di depan mejanya yang berada tepat di sampingku. "Gimana ceritanya, sih? Kok bisa kecelakaan." tanyanya sambil melihat beberapa luka di tubuhku.

"Udah, gue enggak apa-apa." Aku berkata. Jari Rina kemudian menekan luka di sikuku, aku pun langsung menarik tanganku darinya. "Aw! Rese banget sih lo."

Rina menertawaiku. "Katanya udah enggak apa-apa."

"Ya tapi enggak dipencet juga kan, masih basah lukanya." gerutuku.

Aku dan Rina memiliki usia yang sama. Hanya saja dari tampilan fisik Rina terlihat jauh lebih dewasa dari penilaian banyak orang; tubuhnya lebih tinggi, wajahnya cantik, berkulit putih, dan hidungnya mancung. Aku sudah berhijab sejak SMA, dan aku senang sejak enam bulan yang lalu Rina memutuskan hijrah sepertiku.

"Nih." Rina memberikanku secarik kertas kecil yang terdapat tulisan di sana. "Catatan cinta lagi dari anak Inbound."

Ucapan sarkastis dari Rina barusan selalu membuka hariku dengan cara yang menyebalkan. Dia selalu mengatakan kalimat itu saat aku mendapatkan catatan amarah dari karyawan yang berasal dari divisi Inboud terhadap penilaian kinerja yang kuberikan.

QA kejam, selalu bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Karma nyata woy! Gue sumpahin lo kena sial! begitulah isi kalimat yang kudapat pagi ini.

Walaupun sudah menjadi salah satu risiko pekerjaan yang kujalani, tapi memang untuk beberapa waktu aku tidak bisa menahan diri agar tidak terpancing setiap mendapatkan kalimat provokasi seperti itu. "Kalau enggak mau dinilai rendah, mangkanya kerja yang bener!" bentakku sendiri.

"Kenapa lo enggak lapor ke manajer aja sih?" tanya Rina sambil memakai lipstik di depan cermin tangannya.

Aku menghela napas. "Bukannya gue enggak berdaya ya, tapi percuma lah ... buang-buang waktu doang."

"Dalam sebulan ini aja udah lima kali catetan kayak gitu buat lo."

"Ya udah lah biarin aja, nanti mereka juga capek sendiri."

"Kalo lo sendiri kira-kira tahu enggak siapa yang kirim?"

Aku mengangkat kedua bahu. "Kalau di ruangan ini ada cctv, mungkin bakal gampang. Tapi yang pasti kemungkinan besar orang-orang yang gue kasih nilai jelek."

Rina memutar kedua bola matanya. "Yee ... gue juga tahu. Tapi siapa?"

"Mana gue tahu." balasku cepat sedikit sewot. "Cuma buang-buang waktu aja kalau harus cari satu persatu siapa orangnya."

Rina terkekeh. "Emangnya dalem sehari ada berapa orang yang lo kasih nilai jelek?"

"Dua puluh sampai tiga puluhan." jawabku heran. "Kenapa emangnya?"

Kali ini Rina tertawa lebar. "Pantesan aja lo dapet catetan kebencian kayak gitu mulu. Lo QA kejam sih. Gue aja paling nih, setiap harinya cuma kasih satu atau dua orang nilai jelek, paling banyak lima—itu pun jarang."

Aku tidak setuju dengan Rina. "Eh, Rina Handayani. Lo denger gue ya, ada seratusan karyawan Inbound yang kita nilai setiap harinya. Penilaian jelek gue ke mereka bukan karena punya dendam pribadi, orang kita juga enggak saling kenal, kok. Kita nih sebagai tim penilai emang ditugaskan menilai kinerja mereka se-profesionalisme mungkin. Jadi no hurt feeling lah."

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang