SAUDARA PEREMPUAN BAGIAN 2

59 3 2
                                    

Aku benci saat Vivi memaksaku melewati gang kecil setiap kami pulang sekolah bersama. Memang benar, jalan itu bisa memotong waktu perjalanan kami dibandingan lewat jalan besar. Tapi di gang itu ada sebuah pos ronda yang sudah terbengkalai yang sering dijadikan tempat tongkrongan anak-anak dari sekolahan lain. Mereka tidak hanya nongkrong-nongkrong, tapi juga merokok, bahkan aku sempat melihat seorang yang memegang plastik hitam dengan sedotan di atasnya. Saat aku bertanya ke ayah, ayah bilang isi plastik itu adalah minuman keras. Padahal sebagian besar anak-anak itu masih SMP, sama sepertiku.

"Tuh kan, lagi banyak yang pada nongkrong," ucapku gusar. "Kita cari jalan lain aja, yuk. Kakak takut dipalakin."

"Udah, santai aja." jawab Vivi sambil terus minum es teh di sedotan yang ditampung di plastik.

Aku menghentikan langkahku. "Jangan sok berani deh. Kamu kan masih SD. Anak-anak yang di sono udah pada SMP semua."

Vivi terkekeh pelan. "Kalau mereka macem-macem, Vivi tampol." satu tangannya kemudian menarik tanganku untuk terus berjalan.

Kepalaku tertunduk, tanganku juga terus merangkul lengan Vivi saat kami sudah berada di depan pos ronda. Di sana sudah ada puluhan anak berpakaian seragam SMP yang bukan satu sekolahan denganku. Awalnya terdengar suara-suara ledekan kecil untukku dan Vivi, sampai seorang dari mereka berjalan dan menghadang langkah kami.

"Awas." ucap ketus Vivi.

Anak laki-laki yang berada di depan kami memberikan gerakan jari seperti sedang meminta uang. "Bayar pajak dulu kalau mau lewat."

"Emang jalan ini punya lu?!" bentak Vivi. "Awas!"

"Masih SD aja, berani lu sama gua." anak laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke Vivi. Satu tangannya kemudian mulai mencari ke kantong-kantong di seragamnya, tapi Vivi langsung menendang ke arah selangkangan, dan melemparkan es teh ke wajah anak laki-laki itu hingga sekujur tubuhnya menjadi basah. Vivi langsung bertiak.

"Maling! Maling! Tolong!" teriakannya sangat kencang. Anak laki-laki yang berada di depan kami seketika panik. Dia langsung berlari, begitu juga dengan anak-anak lain yang sedari tadi hanya menonton di pos ronda.

Aku terperangah melihatnya, sementara Vivi langsung tertawa terbahak-bahak.


"Kak?" suara terdengar perlahan di ujung pendengaranku, sampai akhirnya suara itu membangunkanku.

Aku menguap, mengusap-usap wajahku sendiri. Sepertinya tadi aku ketiduran. Saat ini aku masih duduk di kursi tunggu rumah sakit. Aku ingat tadi sedang menunggu Nisa yang sedang mendapatkan perawatan. Dan sekarang dia sedang berdiri di depanku dengan perban yang sudah melekat di beberapa bagian tubuhnya.

"Gimana kondisi kamu?" tanyaku lemah.

Nisa duduk di sebelahku. "Alhamdulillah udah mendingan, kata dokter enggak ada luka serius."

Aku terpecut heran. "Beneran? Tadi kamu lumayan banyak ngeluarin darah." tanganku memegang leher belakang Nisa. "Terus ini...,"

"Aw!" Nisa langsung melepaskan tubuhnya dari tanganku. "Sakit, Kak."

"Kan...," aku menghela napas jengkel. "beneran kamu udah enggak apa-apa?"

"Iya."

Aku memperhatikan wajah Nisa yang terus tertunduk, terlihat sedih, tapi aku yakin kesedihannya itu bukan untuknya. "Kondisi abang kamu gimana sekarang?"

Nisa mengangguk lemah ke ruang perawatan di depan kami. "Udah tidur lagi." Untungnya tadi saat tiba di rumah sakit Irsyad sudah kembali sadar. Aku ingat teriakannya saat diberikan obat bius dan beberapa perawatan lain oleh para perawat.

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang