MOVE ON

61 5 0
                                    

Setelah sesi pertemuan hari ini selesai, aku dan Levi melanjutkan untuk makan di restoran cepat saji yang hanya berjarak 500 meter. Biasanya aku sendirian, tapi kali ini aku senang karena ada yang menemani.

"Sesi tadi kayaknya enggak terlalu ngaruh banget buat lo ya?" sindirku saat melihat Levi merokok setelah menghabiskan makanannya.

"Ngaruh kok." respons Levi sambil terus merokok di depanku. "Nyatanya tadi sebelum makan gua enggak ngerokok."

"Berarti lo harus coba juga abis makan jangan ngerokok."

Levi menggelengkan kepala. "Susah, mungkin next time kali ya."
"Next time, next time...," gumamku sendiri. "gitu aja terus sampe tahun tiga ribu delapan belas."

"Gila kali tahun tiga ribu delapan belas." Levi tertawa lebar mendengar ucapanku barusan. "Umur kita udah berapa ya."

"Enggak mungkin masih hidup."

"Kira-kira di tahun segitu masih ada enggak ya orang kayak bapak-bapak yang tadi nangis ... siapa namanya?"

Aku menerka. "Bapak-bapak nangis? Maksud lo yang tadi di sesi?"

"Iya, yang mau...," tawa Levi kembali pecah untuk beberapa saat sampai dia melanjutkan. "yang mau bunuh diri. Gile bener, baru nemu gua orang kayak gitu."

"Enggak boleh gitu lo."

"Iya, iya," respons Levi. "Siapa namanya tadi? Lupa gua."

"Pak Adi."
"Iya, dia." Levi mendesis, masih tertawa walaupun tidak sekeras sebelumnya. "Tadi pas tuh orang nangis, gua hampir mau ketawa. Untung bisa gua tahan."

"Ya elah itu mah udah biasa kali di setiap sesi ada yang kayak gitu."

Levi mengkerutkan bibi bawahnya. "Tapi seru juga sih, bisa ngelihat orang-orang yang kayak gitu. Maksud gua, baru pertama kali gua dengerin sendiri orang curhat mau bunuh diri." Dia kembali terpingkal oleh tawanya sendiri.

Lama kelamaan aku pun tidak tahan untuk tertawa. "Lo mah parah banget, Ley. Orang cerita sedih juga, malah diketawain."

"Nah, lu sekarang ikut ngetawain juga."

"Ini kan gara-gara lo ketawa mulu."

Kami berdua tertawa untuk beberapa saat sampai tawa kami mulai berhenti ketika Levi menatapku sedikit lebih serius. "Hawa, ada yang mau gua tanya ke lu."

Entah kenapa aku merasa gugup. "Tanya apaan?"

Levi berdehem, dia kemudian mematikan rokoknya. "Apa lu udah mulai bisa move one dari alharhum abang gua?"

Dadaku terasa berdebar mendengar pertanyaan itu. "Emangnya kenapa?"

"Lu kok nanya balik, jawab aja dulu pertanyaan gua."

Aku menghela napas sebelum menjawab. "Awalnya sih susah, Ley. Gue juga enggak ngerti kenapa. Tapi berjalannya waktu gue juga mulai mikir gue enggak bisa kayak gini terus. Kalau lagi kangen palingan gue curhat sama nyokap, sama Vivi, sama temen-temen gue di kantor. Terus pas gabung sama komunitas ini lumayan bisa ngeringanin beban pikiran gue sama dia sih. Karena gue akhirnya tahu—ternyata banyak orang-orang di luar sama yang pernah ngalamin kayak gue, bahkan ada yang lebih parah." aku diam beberapa saat untuk memikirkan kalimat selanjutnya. "Jadi kalau ditanya gue udah move on atau belum, jawabannya...," kali ini aku memberanikan diri untuk menatap Levi tatapan yang lebih serius. "udah."

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang