HUKUM JALANAN

56 3 0
                                    

Aku sangat suka saat berjalan di bawah pepohonan rindang, terasa sangat sejuk walaupun cuaca sedang panas. Rasanya sudah sulit bisa melihat ruang terbuka di Jakarta. Pembangunan kota yang cepat membuat mereka akhirnya harus menjadi korban dari kemajuan zaman. Tapi untunglah, pemerintah kota masih berbaik hati dengan menyisahkan sedikit wilayah yang bisa dijadikan taman untuk warganya.

Saat ini aku sedang berada di salah satu taman kota itu, tepatnya di Taman Suropati, di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Dan di tempat inilah Rey pertama kalinya menyatakan perasaannya kepadaku.
Suasana taman saat ini cukup ramai, mungkin karena hari ini sudah masuk akhir pekan, didominasi oleh orangtua yang membawa serta anak mereka. Seperti yang kubilang sebelumnya, walaupun cuaca saat ini sedang panas, tapi para pengunjung masih terlihat menikmati waktu mereka dikarenakan pepohonan yang ada di taman membuat tempat itu menjadi sejuk.

Aku terus berjalan mengitari taman hingga berhenti di depan air mancur yang menjadi pusat berkumpulnya warga yang mengunjungi Taman Suropati. Di tambah saat ini ada sekumpulan orang yang bermain musik di dekat air mancur. Terdapat juga barisan kursi di sana, tapi saat ini sudah penuh.

Awalnya kupikir jalan-jalan seorang diri akan terasa aneh, terasa sepi, dan tidak menyenangkan, tapi sepertinya saat ini aku akan menarik pikiran itu. Karena nyatanya sudah satu bulan terakhir ini dan aku cukup menikmati waktuku seorang diri, merasa lebih bebas saat ingin melakukan apapun. Biasanya aku mengajak Vivi, tapi kita semua tahu kenapa aku tidak melakukannya.

Setelah beberapa kali berjalan memutari air mancur untuk sekadar menikmati suasana, aku pun kembali melanjutkan mengitari area taman. Tujuanku kali ini ke kursi tempat Rey menyatakan perasaannya kepadaku. Sudah lebih dari dua tahun, aku tidak bisa mengingatnya dengan baik, yang kuingat waktu itu kursinya bercat biru yang sebagian catnya sudah banyak terkelupas, tapi sekarang seluruh kursi itu sudah berubah menjadi warna yang didominasi hijau-putih.

Sebuah papan kecil bertulisan larangan merokok yang menempel di pohon tepat di belakang salah satu kursi membantu ingatanku. Ya, aku ingat. Waktu itu aku melihatnya saat Rey ingin merokok di taman, dan kugunakan papan itu untuk melarangnya.

Saat sudah duduk di kursi perasaanku berubah sentimental. Seakan aku bisa merasakan kehadiran Rey saat ini. Aku mencoba memejamkan mata, mengingat senyum dan wajah gugup Rey saat dia memulainya waktu itu; "Enak ya, suasanya." Ah, aku ingat kalimat pertamanya. Kuharap tidak ada orang yang melihatku, karena mungkin saja sebagian dari mereka menganggapku tidak waras saat bibirku senyum-senyum sendiri saat ini.

"Enggak." aku langsung membuka kedua mataku, meyakinkan pikiranku agar segera menyadari realita yang ada. Karena tidak seharusnya aku mengingat itu lagi, hanya membuatku tersiksa oleh sebuah harapan yang tidak mungkin bisa kudapatkan.

Satu tarikan napas panjang kuhembuskan saat aku berdiri, dan memutuskan pergi meninggalkan taman.

Tadi saat berangkat aku tidak membawa mobil, memang biasanya seperti itu jika hanya ingin jalan-jalan sendirian di akhir pekan. Jadi aku memilih ojek online, tapi sudah hampir setengah jam internetku bermasalah. Sudah coba kumatikan, dan nyalakan lagi, tapi tetap saja jaringannya tidak tersambung.

"Kak Hawa?" terdengar suara perempuan memanggilku saat aku sedang berdiri di sebuah halte.

Aku menoleh, dan melihat Nisa yang sedang mengalungkan handuk kecil di lehernya. "Nisa?" ucapku sedikit terkejut. "Kamu ngapain di sini?"

Nisa mencium tanganku untuk bersalaman, kepalanya kemudian mengangguk ke kopaja yang terparkir di dekat kami. "Lagi bantuin Bang Irsyad jadi kernet." jawabnya malu-malu. Dia kemudian berteriak ke orang-orang yang berlalu lalang di sekitar kami. "Kebayoran ... Blok M ... Fatmawati! Langsung jalan ... langsung jalan!"

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang