3 JAM SEBELUM PEMAKAMAN

55 4 0
                                    


Aku sedang berdiri di belakang jendela kamar Rey di lantai dua rumahnya. Air mataku terus berjatuhan saat mendengar pengumuman meninggalnya Rey yang berasal dari pengeras suara di Masjid. Saat ini di rumahnya sudah ramai dikunjungi oleh orang-orang yang datang untuk melayat. Masih tiga jam lagi sebelum jasad Rey dikuburkan di tempat pemakaman umum.

Setelah suara pengumuman berakhir, aku pun mencoba mengamati kamar Rey. Satu buah bingkai foto terlihat menempel di dinding kamar yang menampilkan foto kami berdua. Aku kemudian membuka lemari pakaian, terlihat tumpukan pakaian, celana, dan beberapa jaket yang digantung. Beberapa aku mengenali pakaian-pakaian itu. Tangisku semakin dalam saat aku mengambil satu pakaian dan menciumnya ... mencium bau dari tubuh seseorang yang sudah sangat aku kenal, seakan aku bisa merasakan kehadirannya saat ini.

"Kak?" suara Vivi terdengar dari arah pintu yang tidak tertutup.

Aku terkesiap, kedua tanganku pun langsung mengusap air mata di wajah. "Kenapa?"

Vivi bertahan di depan pintu. "Ke bawah yuk, temenin Ibu Safira sama Mama. Lagi banyak tamu, kasihan mereka cuma berdua."

"Emang Levi belum pulang?"

"Masih ada yang harus diurus, sebentar lagi katanya."

Aku mengangkat kedua kakiku dengan berat, berjalan turun ke bawah—di mana terdapat jasad Rey yang sudah tertutup kain. Setidaknya ada puluhan orang yang berada di dalam rumah, dan masih banyak lagi yang berada di luar. Belasan tamu pria terlihat sedang membacakan surat yasin, beberapa ibu-ibu sedang mengobrol bersama Ibu Safira dan mama. Sebagian besar aku tidak mengenali tamu yang datang.

Walau begitu aku mencoba berbaur dengan mereka, mencari wajah-wajah yang kukenal, tapi sejauh ini tetap saja hanya mama dan Ibu Safira yang kukenal. Aku pun berjalan ke luar rumah, sebuah bendera kuning yang tertancap di pagar semakin membuatku lemas, terlibih saat melihat nama Rey di sana. Saat sudah berada di depan pagar akhirnya ada wajah yang kukenal. "Pak Awan?" sapaku setengah heran.

"Mbak Hawa." sapa Pak Awan sambil menyodorkan satu tangannya ke arahku untuk bersalaman. Dia sedang bersama istrinya. "Saya cari-cariin rumah Mas Rey akhirnya ketemu juga."

Aku menimpali salaman itu. "Bapak tahu dari mana?"

"Dari Mbak Vivi, itu pun enggak sengaja pas ketemu di depan warung kopi, Saya iseng tanya mau ke mana. Terus Mbak Vivi bilang Mas Rey meninggal." ujar Pak Awan. "Ya udah sekalian Saya tanya di mana rumahnya, abis itu Saya sama istri langsung ke sini. Karena kita enggak pernah ke daerah-daerah sini, jadi tadi empet nyasar sampe muter-muter dua kali."

"Duh, maaf, Pak. Jadi ngerepotin."

Pak Awan menggelengkan kepala. "Oh, enggak apa-apa. Lagi pula kan Saya sendiri sama Mas Rey udah lumayan kenal, jadi pas denger beritanya pun kaget banget, masih muda lagi orangnya."

Aku menghela napas. "Terus warung kopinya siapa yang jaga?"

"Sementara ditutup."

"Bapak enggak rugi?"

Pak Awan tersenyum sambil kembali menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak tenang aja. Lagian kalau inget kebaikan Mas Rey ke Saya waktu itu, Saya sama sekali enggak keberatan."

"Kebaikan waktu itu?" tanyaku penasaran.

"Oh, Mas Rey enggak cerita?" respons Pak Awan. Saat aku menggelengkan kepala, dia pun melanjutkan. "Kira-kira sekitar enam bulan yang lalu Mas Rey pinjemin uang satu juta ke Saya buat bayar sewa warung, karena waktu itu uang Saya udah kepakek buat berobat anak Saya yang kena demam berdarah. Pas Saya mau balikin uangnya Mas Rey selalu nolak, ya emang sih enggak full. Tapi Saya lagi ngumpulin buat balikin, udah kekumpul enam ratus ribu."

LANTARAN ASAP (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang