Naya and Dying boy (6)

52 7 0
                                    

Sudah tiga minggu setelah salam perpisahan yang diberikan Dafa pada Naya. Kabar dari Dafa pun tak pernah terdengar lagi. Naya juga sudah mencoba mempertanyakan keadaan Dafa pada wali kelasnya, namun nihil. Naya pun sudah seringkali menghubungi Dafa dan keluarganya. Tapi tak kunjung juga mereka membalasnya. Rasa kesal pun sering menghampiri Naya mengingat Dafa tak kunjung memberi kabar. Semua kemungkinan melayang-layang dipikiran Naya, apakah Dafa sudah bahagia dengan dengan menemukan seorang pacar baru, atau sudah memutuskan tinggal menetap disana dan tak akan kembali ke Indonesia atau Dafa sudah tidak ada lagi. Semua pikiran itu benar-benar membuat Naya sakit kepala sekaligus kesal.

Naya akhir-akhir ini sering menyanyikan lagu-lagu sedih dengan gitarnya. Membuat Dinda, khawatir dengan temannya itu.

Di kelas Naya hanya melamun, PR pun sekarang jarang ia bikin, tak hanya PR Matematika saja, semua  mata pelajaran tak ia bikin PRnya.
Tak tahan lagi dengan sikap Naya, Dinda pun mulai memberi nasehat pada Naya.

"Aduh Nay, please Nay, kamu ini kenapa?? Jangan sampai cuma karna cowok kamu jadi begini, aku itu kasihan sama kamu Naaayyyyy" ucap Dinda memeluk Naya erat.

"ish,, apaan sih Din?" Naya mencoba melepaskan pelukan Dinda dengan wajah kesal.

"aku tu sedih liat kamu begini Nay!. Aku nggak tega!, kamu udah berubah sekarang, kamu nggak ceria lagi, kamu nggak Naya yang aku kenal dulu!. Bilang ke aku Nay, gimana caranya balikin keceriaan kamu kayak dulu lagi, bilang Nay, Bilaaaanngg!!" ucap Dinda dengan Nada dramatisnya.

Naya menatapi Dinda dengan tatapan aneh, tak hanya Naya, seluruh yang ada di kelas pun begitu. Ucapan Dinda yang lebaylah yang membuatnya terlihat aneh. Dinda yang menyadari situasi canggung segera menutupi wajahnya menahan malu. Naya hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya itu.

"Aku nggak papa Dinda, aku juga nggak gila, jadi kamu jangan lebay gitu, nggak malu diliatin orang?" ucap Naya meyakinkan Dinda bahwa dia tak seperti yang Dinda pikirkan.

Tak lama setelah itu, Nindi datang menghampiri Naya dengan tumpukan buku yang ia bawa.
"maaf Nay, aku bisa minta tolong nggak?, tolong letakin buku ini ke meja bu Yanti bisa nggak? Aku dipanggil ketua Osis nih" jelas Nindi pada Naya.

"nggak papa kok Nindi, biar aku yang antar bukunya" terima Naya.

"Makasi ya Nay" ucap Nindi dan langsung berlari ke luar kelas tanpa mendengar jawaban Naya terlebih dahulu, terlihat sekali Nindi sedang terburu-buru.

"iya, nggak papa" balas Naya walaupun mungkin tidak akan terdengar oleh Nindi.

"kamu ikut nggak Din?" ajak Naya.

"nggak deh Din, aku males ketemu sama bu Yanti. Aku tunggu di kelas aja" tolak Dinda.

"ya udah, aku pergi dulu"
.
.
Naya berjalan menelusuri lorong sekolah dengan tumpukkan buku  yang ia bawa. Dan akhirnya, Naya sampai di depan pintu ruang guru yang tertutup, saat mau membuka pintu, Naya terhenti karna mendengar percakapan para guru di dalam ruangan.

"Katanya Dafa udah balik ke Indonesia ya Bu Yanti?" tanya pak guru di balik pintu.
"iya pak Def, mungkin sekarang dalam perjalanan pulang" balas Bu Yanti.
Mendengar berita itu, Naya tersenyum lebar, semangatnya kembali lagi, Naya sangat senang dengan kabar tersebut.

"Tapi kasihan ya bu, Dafa sakit kanker begitu, padahal dia pintar"

Seketika senyuman Naya hilang, matanya melebar, Naya seolah-olah membeku, Naya masih tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan, air mata Naya jatuh seketika. Begitupun dengan buku yang ia bawa, terjatuh ke lantai dan berserakan, tangan Naya bergetar. Semua guru yang awalnya di dalam ruangan segera keluar melihat apa yang terjadi, dan segera membantu Naya yang sudah terduduk lemas di lantai dengan buku yang berserakan di depannya.

"Kamu nggak apa-apa Nay? Kamu mau ke UKS??" tanya Bu Yanti memegangi tangan Naya dengan wajah panik.
Naya melepaskan genggaman Bu Yanti dan berlari manjauh dari kerumunan itu. Naya berlari ke luar dari sekolah tanpa menghiraukan panggilan Bu Yanti yang mencoba mengejarnya.
.
.
.
Naya sekarang sudah berada di depan rumah Dafa. Naya terlihat mondar-mandir menunggu Dafa datang. Ia masih tak percaya bahwa Dafa mengidap penyakit kanker, ia mencoba untuk berpikir positif bahwa semua itu tidak benar, Naya percaya bahwa Dafa baik-baik saja.
Sudah dua jam Naya menunggu Dafa, tapi Dafa belum juga datang. Sudah puluhan misscall dari Dinda tak ia acuhkan. Ia memutuskan mematikan HPnya.

Tak lama, sebuah mobil hitam pun datang dan berhenti di depan rumah Dafa, seseorang terlihat keluar dari mobil tersebut. Ia adalah Dafa. Dafa dipapah oleh orang tuanya untuk naik ke kursi roda. Dafa terlihat kurus, pucat, kepala yang  botak dan syal yang melingkar di  lehernya.
Naya benar-benar tak sanggup melihat keadaan Dafa sekarang. Air mata mengalir deras dan ia tak dapat menahannya. Naya berjalan perlahan sambil menahan tangisnya ke arah Dafa yang sedang tersenyum tipis ke arah nya. Naya pun sampai dihadapan Dafa, dan melihat senyuman Dafa. Naya berlutut memeluk Dafa erat, air mata Naya mengalir deras walaupun sudah sekuat tenaga ia tahan. Keluarga Dafa yang melihat pun juga ikut menangis, hanya Dafa yang tidak menagis sekarang.

Dafa melepaskan pelukan Naya dan  menghapus air mata Naya. Dafa masih saja tersenyum.

"Hai Naya"

Naya and Dying BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang