"Dari mana lo dapet sepatu ini?" Howon mengulangi pertanyaannya. Kali ini sedikit lebih pelan, namun ia mengatakannya dengan penuh penekanan dalam tiap katanya.
Chunji menarik-narik kaos kakaknya yang sudah mulai sedikit takut karena Howon sama sekali tidak mengubah tatapannya. Sementara itu, Siwan hanya melirik sesaat dan mengangguk sebagai tanda bahwa ia bisa mengatasi Howon.
"Apa lo bener-bener mau denger penjelasan gue?" Siwan mengajukan penawaran terlebih dahulu karena ia meyakini bahwa pemuda di hadapannya kini adalah seseorang yang tau bahkan mungkin pemilik sebenarnya sepatu pemberian Yoona tadi.
"Apa ada ibu-ibu yang bilang kalau dia mau membuang sepatu ini, lalu tanpa sengaja kalian bertemu dan akhirnya ibu itu justru lebih memilih untuk memberikannya ke lo?" cecar Howon.
Siwan sampai mengerutkan keningnya karena terlalu bingung dengan cerita Howon tadi. "Yang ngasih sepatu itu temen gue. Dia emang bilang kalo sepatu itu sebelumnya di buang. Tapi sumpah gue nggak tau siapa yang ngebuangnya."
Lagi-lagi perasaan Howon mencelos. Ibunya benar-benar membuktikan ucapannya dengan membuang sepatu sepakbola miliknya.
"Apa itu milik lo?" Tanya Siwan, namun Howon tak menjawab. "Kalo emang iya, lo boleh kok ambil lagi sepatunya. Dan maaf kalo udah sempet gue pake tadi."
"Nggak usah," sambar Howon cepat-cepat sambil mengembalikan sepatu yang tadi ada di tangannya pada Siwan. "Maaf, bukannya apa. Tapi gue udah nggak bisa milikin sepatu itu lagi. Dan kalo lo mau, lo bisa pake kok sampe kapanpun. Tapi kalo boleh, gue mau minta satu permintaan ke lo."
"Apa?" seru Siwan tanpa pikir panjang. Biar bagaimanapun, Howon adalah pemilik sebenarnya dari sepatu itu.
"Gue Cuma mau tau aja siapa yang ngasih sepatu itu ke lo."
***
Malam itu, Gikwang tengah duduk sendiri di kursi panjang dekat kolam renang pribadinya di rumah. Ia menyandarkan punggungnya di sana sambil menatap langit-langit malam. Ia juga tak pernah tertinggal dengan earphone yang menutup telinganya.
Meski tengah mendengarkan lagu, tapi pikirannya tidak menikmati apa yang didengarkan telinganya. Tatapan Gikwang yang kosong mengingatkan kembali pada kenangan-kenangan yang terjadi di tempat itu, atau di rumah itu lebih tepatnya.
Bertahun-tahun ia tinggal di sana, sejak ia kecil. Kebersamaan dengan ayahnya, atau dengan teman-temannya seperti Yong Hwa, Jonghyun, Sunggyu dan yang lainnya. Namun ada satu hal yang tidak bisa di kenang oleh seorang Gikwang. Yaitu kehadiran sesosok wanita yang bisa ia panggil dengan sebutan 'ibu'.
"Kenapa di luar? Udara di sini sangat dingin, nak!"
Gikwang tersentak, bukan karena mendengar suara seseorang, melainkan sebuah tangan yang mengusap rambutnya dengan hangat. Saat menoleh, ia menemukan ayahnya sudah duduk di sana, di sampingnya sambil tersenyum. Meski hidup tanpa ibu, Gikwang tetap bersyukur karena masih memiliki ayah yang selalu ada di saat ia membutuhkannya.
"Jangan melihat seperti itu. Papa tau kalau papa sangat tampan. Sampai-sampai kamu belum jawab pertanyaan papa."
Gikwang membulatkan matanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir ayahnya. Sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Kenapa papa jadi narsis gitu, sih? Pantesan aku juga sering gitu," ujarnya sambil memegangi perut yang terasa sakit karena menertawai ayahnya.
"Setidaknya papa bukan playboy sepertimu," sindir tuan Sungmin hingga sukses membuat putranya bungkam.
"Akh, papa curang. Kalau mau adu ganteng tuh jangan pake ngatain anaknya playboy, donk!" protes Gikwang tak terima sambil membaringkan kepalanya di paha Sungmin.
YOU ARE READING
FC LOVE
FanfictionI hate footbal! But, I love him. Dan dia adalah kapten klub sepakbola sekolah.