Chapter 3.2

2 1 0
                                    

"Maaf Zane... ini salahku. Kalau bukan karena diriku kau tidak akan seperti ini... kau itu manusia. Manusia normal... tapi gara-gara aku..."

...

"Azura... jadi sebenarnya dari awal Zane ini memang bukan siapa-siapa yah..." ucap Zane menjatuhkan dirinya kebawah menutup matanya yang menangis membuka mulutnya yang tersenyum gemetar.

"Kalian... kalian orang tuanya Azura yah... bagaimana ini? Padahal Azura adalah orang yang sangat berharga bagi Zane. Tapi bagi Azura, Zane bukan siapa-siapa... apa yang harus Zane lakukan?" tanya Zane dengan isak tangis.

"Tapi... kalau Azura membenci Zane... bagaimana?"

Azura berdiam diri di atap lagi, Zane pulang dan menyusul Azura. Keadaan atap sama seperti sebelumnya, bedanya saat ini awan sedikit mendung.

"Azura..." Zane menyapa Azura dengan takut.

"..." Azura tidak menjawab dan hanya melirik sesaat.

"... Maafkan Zane..."

"Ck," Azura berdiri, berjalan menuju Zane dan berhenti tepat di sampingnya. Tanpa memandang pemilik surai coklat ash itu Azura berkata, "Apa maumu? Pergi."

Sebuah kilat menyambar bergerak cepat diatas langit. Azura masuk ke dalam rumah membiarkan Zane membeku di luar. Suara Azura yang tegas terus terulang di telinga Zane seperti sebuah kutukan.

Wajah Zane memucat, maniknya berkaca-kaca, dan sialnya hujan deras tiba-tiba muncul di tengah musim panas itu. Azura berdiri tegak di depan pintu kamarnya mendengar alunan hujan, Zane terduduk di atap membiarkan setiap tetes hujan menyamarkan setiap tetes air matanya yang jatuh.

"Azura bilang... pergi..."

Hujan semakin deras, Zane masih berdiam diri di atap dengan pakaian yang basah sepenuhnya. Surai coklat ashnya jatuh terkena basahnya hujan, manik merah darahnya padam tidak menyala, kulitnya memucat kedinginan, napasnya tidak teratur. Zane terlihat tidak memiliki tujuan atau apapun itu lagi. Ia hanya berniat duduk disana selamanya.

Dap dap dap dap

Suara langkah kaki yang buru-buru terdengar dari balik punggung Zane, suara itu semakin mendekat, membanting pintu hingga mengejutkan Zane. Dilirik siapakah yang membuat keributan itu, Azura. Dengan parung transparan yang sudah dibuka, sebuah handuk yang dipegang di tangan kirinya. Azura melangkah mendekati Zane, memayungi Zane yang kehujanan. Memberikannya handuk untuk mengeringkan tubuhnya.

"Jangan sakit... kalau kau sakit siapa yang repot?" tanya Azura menunjukkan rasa khawatir.

"... iya..."

"Kenapa? Apa maumu Azura? Tadi kau mengusirku layaknya seorang musuh yang membenci musuhnya. Tapi sekarang kau tiba-tiba perhatian padaku... kenapa?" pikir Zane di dalam hatinya.

"Lebih baik kau segera mengganti baju. Kalau merasa tidak enak badan besook tidak usah sekolah..."

"Ah... iya. Azura suka mempermainkan orang seperti ini yah? Memberi orang itu kenyamanan dan ketenangan, lalu Azura banting sekuat tenaga, dan Azura beri kenyamanan lagi... Azura...baiklah. akan Zane ikuti permainan Azura."

"Oke!! Zane gak bakal sakit kok! Tenang aja~" sahut Zane dengan nada ceria, mengambil handuk dan berlari masuk rumah dengan senandung kecil, menyapa dan meminta Azura untuk segera masuk.

"Azura senang melihat Zane seperti ini, kan? Asal Azura bahagia, perasan Zane bukan sesuatu yang penting..."

...

Pagi hari tiba. Sebuah pagi normal yang rasanya sudah ditulis naskah dan skenarionya. Zane bergerak seperti tidak ada apa-apa, sedangkan Azura bergerak sesuai suasana hatinya. Bukan. Bukan suasana hati, tapi Azura sama sekali tidak menjawab atau menghiraukan semua kalimat Zane. Keadaan ini seperti sebuah drama yang ditampilkan setelah berpuluh-puluh kali latihan. Sangat mulus namun tidak nyata.

Ego or HumanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang