Chapter 4.2

0 0 0
                                    

"Nak?" tanya sebuah suara pria yang serak dan lemah dari belakang Zane.

"Eh? Ya?" tanya Zane panik.

"Diluar hujan. Pakaianmu basah. Masuk dulu kedalam," ajak kakek yang sepertinya pemilik toko itu.

"Tidak... Zane tidak bisa membeli apa-apa."

"Kakek tidak memintamu untuk membeli sesuatu, kakek hanya ingin kau meneduh di dalam toko."

"Eh... baiklah," jawab Zane menyadari pakaiannya yang sudah setengah basah.

Zane masuk ke dalah toko itu. Di sekelilingnya ia hanya bisa melihat berbagai macam barang bekas yang dirawat dengan baik. Padahal bentuk, warna, dan teksturnya terlihat seperti baru namun entah mengapa kesan yang pertama kali didapat dari barang-barang itu adalah kata 'bekas' entah apa alasannya. Zane dengan tenang melewati semua barang-barang 'bekas' itu lalu ia dipersilahkan duduk di salah satu kursi di samping kasir.

"Apa yang kau suka? Teh? Kopi? Susu?" tanya kakek itu dengan seyuman hangat.

"... tidak ada... terima kasih," jawab Zane membalas senyum.

"Kalau begitu ada apa?" tanya Kakek itu sembari duduk di sebelah Zane secara perlahan sembari memegang pinggangnya yang sepertinya sudah rawan mengalami asam urat.

"Maksudnya?" tanya Zane tidak paham.

"Mimik wajahmu juga aura yang kau hasilkan tidak mengenakkan. Seperti... pada barang-barang disini," jawab kakek itu.

"... maaf, Zane gak paham," jawab Zane menghilangkan mimik wajahnya.

"Barang-barang disini memiliki banyak masalah. Makanya saat seseorang melihatnya untuk pertama kali kesan yang muncul adalah barang bekas. Padahal tidak semua yang ada disini itu bekas."

"Benarkah?" Zane sedikit tertarik.

"Benar. Dan asal kau tau. Sekarang ketika seseorang melihatmu maka kesan yang muncul adalah 'tersiksa'," jawab kakek itu masih dengan senyumnya.

"... begitu ternyata..."

"Kakek memang tidak memiliki hak untuk mendengarkan masalahmu. Namun kakek ingin membantumu, karena ada jiwa masa kecil kakek yang terlihat dari dirimu," jawab kakek itu menarik rasa penasaran Zane.

"Jiwa masa kecil?"

"Iya. Dulu... mungkin setengah abad yang lalu, saat kakek berumur 16 tahun, kakek memiliki sahabat yang sangat-sangat sempurna bagi kakek. Namun siapa sangka ternyata pelaku pembunuhan kedua orang tua kakek adalah ayah sahabat kakek itu. Setelah kakek mengetahui hal itu persahabatan kita mulai merenggang. Kakek tidak pernah bicara lagi padanya, dan dia juga tidak pernah lagi menyapa kakek." Kakek itu berhenti sementara untuk mengambil napas dan terbatuk.

"Ternyata saat itu masing-masing dari kami merasa bersalah, ia merasa bersalah karena ia berpikir alasan mengapa orang tua kakek meninggal adalah karenanya, dan kakek merasa bersalah karena melihat ekspresi menderitanya... hah... seharusnya saat itu kakek menjunjung tinggi komunikasi. Apa kau tahu kejadian apa yang terjadi selanjutnya?" tanya kakek itu dijawab dengan gelengan kecil.

"Esoknya setelah hari kelima atau keenam kami tidak berbicara satu sama lain ia tidak pergi sekolah... kakek merasa khawatir dan... menemukannya sedang tertidur dalam keadaan leher terikat tali dan tubuhnya menggelantung di bawah pohon besar. Pohon yang kebetulan adalah tempat pertama kali kami bertemu. Apakah kau pernah membayangkan bagaimana rasanya jika di tempat kau bertemu dengan seseorang yang spesial bagimu merupakan tempat kau bertemu dengannya lagi namun dalam keadaan tanpa nyawa? Bisakah kau membayangkan bagaimana rasanya?" tanya kakek itu gemetar.

Ego or HumanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang