Perjuangan jungkir-balik dunia Alden.
Sore ini, lagi-lagi Alden sengaja melewatkan latihan basket bersama teman-temannya. Alden menyelinap masuk ke dalam perpustakaan, tempat yang sebenarnya sejak kecil tidak ia sukai. Tetapi berkat seorang gadis, Alden mulai menyukai tempat itu.
Alden mengambil beberapa buku tebal, buku yang sudah pasti berisi banyak rumus matematika, menyusunnya menjadi satu tumpukan lalu membawanya. Iya, Alden memang mahasiswa jurusan Matematika Terapan, tetapi ia sama sekali tidak suka belajar di perpustakaan. Terlalu sepi, tidak boleh banyak bicara dan tidak boleh membawa makanan. Sementara Alden adalah tipikal makhluk grasak-grusuk, kata Ibunya.
Gadis itu, Mara, lagi-lagi duduk di meja paling ujung. Sementara Alden memilih untuk menempati meja yang bersebrangan dengan mejanya. Alden menumpuk semua buku tebal menyebalkan itu di depan wajahnya persis, hingga menyisihkan sedikit cela untuk bisa memandang Mara.
Rona merah pipi Mara yang ia tahu pasti karena efek blush on tipis, poni panjangnya yang dibiarkan menutupi kedua matanya, dan kacamata bulatnya yang sesekali turun ke hidungnya. Alden suka setiap kali Mara menaikkan kacamatanya dengan gerakan pelan, membuat Alden semakin tertarik pada Mara.
Mara Marcella, mahasiswi yang satu jurusan dengan Alden. Teman semasa SMA sekaligus teman yang selalu satu kelas dengan Alden di kampus. Mungkin Mara tidak akan pernah menyadari siapa Alden yang sebenarnya. Saat SMA mereka tidak pernah satu kelas dan saat kuliah pun Mara tidak pernah terlihat menyadari adanya diri Alden -teman sekelasnya
Mara adalah gadis introvert yang terlihat cukup bahagia dengan kehidupannya tanpa banyak teman. Ia satu-satunya orang yang Alden kenal dengan sifat seperti itu. Saking penasarannya, Alden pernah beberapa kali mengikuti Mara pulang sekolah saat SMA. Mara akan selalu memasang earphone-nya, bergumam sendirian, dan menghindar dari orang-orang di jalan yang mungkin tidak ia kenal.
Kalau ada yang bertanya, mengapa Alden bisa menyukai Mara? Alden sendiri juga tidak mengerti mengapa ia bisa memiliki perasaan untuk Mara. Satu hal yang Alden tahu saat ini, memandangi Mara dengan jarak seperti itu akan selalu membuat Alden merasa bahwa Mara akan menjadi seseorang yang berharga dalam hidupnya suatu saat nanti.
"Bro!" Andi merangkul bahu Alden tanpa ia sadarinya kapan Andi datang. "Ngapain?" bisiknya setelah Alden memperingatinya untuk diam.
Alden membuka buku lalu berpura-pura membacanya. "Lo ngapain di sini?"
"Yee... Gue yang tanya, lo lagi ngapain?" Andi melirik Mara. "Cewek itu lagi?" Ia bersandar di kursi sembari menarik napas sebanyak mungkin. "Mau sampai kapan sih lo jadi pecundang? Dengan lo cuma ngeliatin dia sepanjang hari bukan berarti lo bakal bisa dapatin dia. Action dong, action! Gimana lo bisa punya pacar lagi?"
"Bacot lo! Sana pergi, dari pada lo ganggu gue." Alden sedikit kesal dengan Andi yang selalu mengatakan hal yang sama padanya tetapi Alden mencoba untuk tidak membuat orang lain menatap mereka dengan risih. "Gue absen latihan hari ini. Kan tadi gue sudah bales di group Whatsapp."
"Iya, iya... Gue bakal menyaksikan seorang Alden Chandra akan menjalani sisa umurnya tanpa seorang wanita karena kelamaan nunggu si gadis ulat." Andi menepuk bahu Alden. "Omong-omong, lo nggak perlu belajar, Den." Dia menepuk-nepuk buku tebal yang diletakkan di depan mereka. "Otak lo sudah hampir sama cerdasnya kayak Einstein dan semua mahasiswa seangkatan kita sudah tahu itu. Jadi dia pasti bakal curiga kenapa manusia macam lo masih suka belajar di tempat umum kayak begini."
Alden menoleh pada Andi dengan kilatan mata yang tidak bisa dihindari. "Ba-cot." Alden menunjuk pintu keluar perpustakaan dengan pulpen. "Keluar!" suruh Alden dengan nada dingin.
"Ish!" Andi mengacak-acak rambut Alden. "Dasar bucin!"
Alden menyeringai penuh kemenangan meski rambutnya terlihat berantakan saat Andi bangkit dari kursinya. Ia berhasil mengusir Andi dan baru ia sadari Mara sudah memerhatikannya dari seberang sana. Alden segera menutup wajahnya dengan buku, berpura-pura membaca buku untuk menghindari tatapan sengit Mara. Semoga Mara tidak mendengar apa yang dikatakan Andi barusan, doa Alden dalam hati. Kalau iya, maka Alden bisa terkena serangan jantung.
***
"Jadi kalian satu kampus?" tanya Candy, teman baik Alden yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Malam ini Candy seperti sebelum-sebelumnya, datang ke rumah Alden untuk bermain game bersama, seperti saat mereka masih kecil. Kebetulan sejak kecil rumah mereka bersebelahan jadi mereka sudah berteman akrab sejak kecil.
Candy adalah gadis yang mandiri. Setelah lulus SMA, Candy tidak meneruskan pendidikannya. Candy bekerja di luar kota dan melanjutkan pendidikannya dengan biaya sendiri. Berhubung besok adalah akhir pekan, Candy pun kembali ke rumah orang tuanya setelah dua tahun tidak pulang.
"Iya. Memang gue belum cerita ya?"
Candy menggeleng saat permainan game semakin menarik. "Lo nggak cerita ke gue sejak lo masuk kuliah."
"Gue lupa." Alden mengeluh pelan saat ia kalah dalam permainan. "Sial!"
Candy menoleh padanya lalu menyeringai. "Tiga tahun lebih, cuy, dan lo nggak cerita apa-apa soal Mara ke gue," ucap Candy sambil mengunyah keripik kentang. "Padahal lo selalu omongin tentang Mara waktu pertama kali lo suka sama dia di SMA."
Alden tersenyum kecut. "Sorry." Dia mengangkat kedua bahu. "Gue pikir bukan sesuatu yang penting karena gue belum mencoba buat deketin dia."
"Ya penting dong. Lo kan teman gue. Apalagi gue tahu lo suka sama Mara sejak kita SMA. Jadi gue harus tahu perkembangannya sudah sampai mana."
"Ssttt!" Alden menyuruh Candy untuk mengecilkan suaranya. "Nanti keluarga gue dengar, apalagi Lulu. Silent dong!"
"Yaelah..." Candy memutar bola matanya. "Mereka di lantai satu. Adik lo di dalam kamar. Kita di lantai dua, di luar kamar, dekat kamar mandi. Mereka mana bisa dengar, Al."
"Yaa mana tahu. Tembok kan bisa bicara."
"Tembok bisa bicara?? Muka lo tuh yang kayak tembok." Candy membersihkan tangannya dari remahan keripik. "Terus sudah ada progress?"
"Ya belum lah, gimana ada perubahan kalau gue aja masih belum punya cara buat dekatin dia."
Candy menepuk keningnya sendiri. "Astaga naga... Carilah! Misalnya kelemahannya. Dia lemah di mana, lo gercep deh buat sok-sok mau dekat sama dia. Atau lo pura-pura bego, Al. Dia kan dulu juaranya Matematika."
"Candyyyy..." Sepertinya ini bukan waktunya untuk merendah menurut Alden. "Sori nih ya, bukannya gue sombong. Tapi nilai Matematika gue di atas nilai dia sejak kelas satu." Alden mengangkat tangan kanannya. "Dia di posisi ini, ketiga." Lalu Alden menaruh tangan kirinya di atas tangan kanan. "Gue di sini, nomor satu. Tiga tahun berturut-turut. Kalau tiba-tiba gue sok-sokan minta tolong dia buat ngajarin gue... yang ada dia curiga terus menghindar dari gue. Dan ada kemungkinan dia bakal ilfeel sama gue."
"Hm, ini nih." Candy menunjuk wajah Alden. "Belum apa-apa lo langsung pesimis. Pengecut lo." Candy membersihkan celanannya dari remahan keripik kentang. "Mending gue pulang deh."
"Dih, kok pulang? Gue masih curhat kali."
"Capek gue dengar curhatan lo yang nggak ada isinya itu. Kita baru ketemu setelah dua tahun cuma komunikasi via Whatsapp, tiba-tiba lo bilang lo satu kelas sama Mara. Nggak ada perubahan, dari dulu sampai sekarang cuma jadi penggemar rahasia. Kan nggak guna juga."
"Masalahnya dia itu intovert, Candy Putriiii. Nggak gampang buat dekatin manusia semacam itu."
"Mau introvert, mau extrovert, kalau nggak ada pergerakan dari lo ya mana bisa lo jadian sama dia. Lo bakal jadi penggemar rahasia selamanya dan bakal lihat dia jalan sama cowok lain." Candy memasukkan ponsel ke celana sambil menyeringai. "Sudah ah, gue balik!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BETTER THAN BEFORE
RomanceSetelah bertahun-tahun memendam rasa suka, Alden Chandra memberanikan diri untuk mendekati gadis pujaannya, Mara Marcella. Gadis yang sejak di bangku SMA ia sukai dan kagumi. Gadis yang selama lebih dari empat tahun mengganggu pikirannya setiap kali...