15. THE LESSONS

989 62 13
                                    

Setelah tiga puluh menit, Mara berhasil menemukan rumah yang Andy infokan. Mara mendesah karena masih ada satu tugas lagi menanti. Ia menoleh pada Alden yang masih terlelap di kursi penumpang. Jika tidak memiliki rasa kemanusiaan, mungkin Mara sudah membiarkan Alden terbengkalai di depan Happy Bar. Hanya tinggal memikirkan bagaimana caranya membawa tubuh Alden masuk ke dalam tempat tinggalnya.

“Hah... kenapa sih pakai mabuk segala?” Mara melepaskan sabuk pengaman mereka. “Kalau kamu nggak sok-sokan minum minuman yang seharusnya aku minum kan kamu nggak bakal mabuk. Nggak bakal nyusahin temanmu.”

Mara mencoba membangunkan Alden, berharap laki-laki itu sadar dan bisa berjalan sendiri ke dalam rumahnya. “Al, bangun. Sudah sampai rumah.” Lagi, Mara mengguncangkan tubuh Alden dengan pelan. “Al?” Hasilnya masih nihil. “Hah...” Ia menyerah. “Nyusahin banget sih.”

Susah payah Mara membantu Alden yang kini semakin tidak sadarkan diri. Alden bahkan melantur dengan menyangka bahwa yang bersamanya adalah Andy. Yang membuat Mara semakin kesal adalah Alden tertawa tidak jelas saat Mara merogoh sakunya untuk mencari kunci rumahnya.

“Andy, geli. Ahahahaha...”

“Ish! Ya!” Mara menampar wajah Alden tetapi laki-laki itu masih belum juga tersadar. Hanya berhenti tertawa dan terdiam dengan mata tertutup. “Parah nih manusia. Sudah ditampar tapi masih nggak sadar juga.” Mara menggeleng tak habis pikir.

Pintu rumah terbuka. Mara masih berusaha membawa Alden masuk ke sebuah kamar dengan kekuatannya yang lemah. Sesampainya di kamar, dengan kesal Mara melempar tubuh Alden di atas ranjang.

“Kamu harus punya teman serumah, Al, kalau minum seloki saja bisa mabuk.”

“Andy!” Alden berteriak sambil bangkit duduk.

“Astaga! Bisa nggak sih nggak teriak?” Mara mendekat dan melihat ternyata Alden masih memejamkan kedua matanya. “Ya ampun...”

“Andyyy... gimana caranya?” Alden menarik-naik tangan Mara. “Gue pura-pura nggak mau ajak dia balikan supaya dia nyaman tapi gue...” Alden terjatuh di atas bantal. “Gue masih sayang sama Mara...”

Mara terdiam mendengar ucapan Alden. Ia pernah dengar bahwa omongan orang yang sedang mabuk adalah jujur dari dalam hati mereka. Ucapan orang mabuk adalah ucapan yang selama ini orang itu sembunyikan.

“Al...” Mara duduk di tepi ranjang lalu memiringkan tubuh Alden. Mara pernah baca sebuah komik yang menceritakan seseorang tewas akibat tersedak muntahnya sendiri ketika tertidur karena mabuk. Karena itu Mara menghindari hal serupa terjadi pada Alden. Ia tersenyum. “Aku kira kamu benar-benar nyerah.” Ia mengusap bahu Alden.

“Andy...”

Mara menahan tawa. “Kamu masih sayang sama aku tapi kamu malah sebut-sebut nama Andy. Dia pacar baru kamu ya?”
Mara menarik selimut untuk menutupi tubuh Alden karena di luar sudah turun  hujan cukup deras. Ia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan kamar Alden. Tetapi tubuh Mara membeku ketika melihat apa yang ada di dinding kamar Alden.

Beberapa sketsa wajah Mara tertempel di dinding kamar Alden. Seolah-olah Alden sudah membuat sketsa itu jauh sebelum mereka menjalin hubungan. Tergambar saat Mara serius menatap sesuatu, saat Mara menyugar rambutnya, saat Mara konsentrasi dengan banyak buku, bahkan saat Mara tertawa. Malam itu semuanya diperlihatkan pada Mara bahwa Alden benar-benar masih menyayanginya.

Mara menatap wajah Alden yang kini terlelap. Ia membungkuk lalu mengusap wajah Alden. “Aku nggak tahu gimana hubungan kita ke depan nanti, Al. Tapi ada satu hal yang aku tahu... Kamu masih nunggu aku.” Mara mendekat lalu mengecup pipi Alden.

BETTER THAN BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang