10. PERTANDA

408 53 6
                                    


TIGA TAHUN BERLALU ...

Alden merasakan hawa panas di wajahnya. Ia bisa mendengar suara burung dari luar jendela kamarnya. Ia menarik selimut hingga menutupi wajah. Sinar matahari yang hangat adalah hadiah terindah bagi Alden di musim hujan. Sudah tiga tahun ia membenci musim hujan. Saat masih kecil, Alden jatuh cinta setiap kali ia merasakan tetesan pertama hujan. Ia akan bermain hujan selama yang ia suka setiap kali ia pulang sekolah. Tetapi sudah tiga tahun ini ia benci untuk berdiri di bawah hujan hanya karena setiap tetesan hujan mengingatkan dirinya akan seorang gadis yang berani-beraninya mencampakkan dirinya di saat ia benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.

Alden membuka mata, menurunkan sedikit selimut, menatap sketsa wajah yang ditempel di dinding kamarnya. Kedua matanya menjalar mengelilingi sekitar kamarnya. Dinding kamar dihiasi sketsa wajah gadis yang sama. Kolaborasi yang tepat untuk membuat Alden kembali patah hati pagi itu, hujan dan semua sketsa wajah gadis itu.

Mungkin tidak banyak laki-laki di dunia ini yang mampu seperti Alden. Mencintai seorang gadis bertahun-tahun, bahkan setelah gadis itu mencampakkannya dan muak untuk bicara dengannya. Jangankan untuk bicara dengannya, Mara bahkan tidak bersedia sama sekali untuk menatap dan berjabat tangan dengan dirinya saat wisuda mereka. Sejak saat itu, Alden mulai menyerah untuk mendatangi tempat tinggal Mara. Alden bahkan melarang Andy untuk membantunya memberi penjelasan pada gadis itu. Alden sadar ia sudah menyakiti Mara dengan membuat gadis itu sebagai bahan taruhan.

Berbagai cara sudah Alden lakukan untuk meminta maaf setelah kejadian di gudang kampus tetapi Mara sudah terlanjur menganggap Alden sebagai laki-laki paling berengsek di dunia ini. Di saat itulah Alden berpikir mungkin lebih baik mati dari pada harus memaksa Mara untuk memaafkannya. Alden menyerah. Alden membiarkan Mara pergi dan menghilang begitu saja. Alden bahkan tidak tahu di mana sekarang Mara tinggal. Apakah masih di Jakarta? Apakah masih bersama Riza?

Ia menyibakkan selimut meskipun tidak bersemangat untuk beraktivitas di hari terakhir bekerja di minggu itu. Alden memeriksa ponselnya. Satu pesan masuk dari Lulu.

Lulu : Kak, jangan lupa hari ini ulangtahun pernikahan Mama dan Papa. Harus pulang!

Alden mengambil napas panjang membaca pesan dari adiknya. Satu bulan setelah ia kembali ke Jakarta, Alden memutuskan untuk menyewa sebuah rumah kecil dan tinggal terpisah dari kedua orang tuanya. Alasannya hanya karena Alden ingin belajar hidup mandiri. Setelah lulus, ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai Aktuaris di satu perusahaan asuransi terbesar di Indonesia. Take home pay yang didapatnya pun tidak main-main. Ia bisa dengan mudah membeli sebuah ponsel keluaran terbaru untuk adiknya. Hal itu pula yang membuat Lulu semakin pintar mencuri hati kakaknya.

Alden : Mau dibawain apa?

***

"Iya, sayang. Aku langsung pulang kalau urusanku sama Alden sudah selesai. Kamu tidur duluan aja, ya? Aku tutup telponnya. Love you." Andy mematikan sambungan telponnya kemudian segera memasukkannya ke dalam tas. "Gue nggak paham kenapa banyak orang buru-buru menikah. Gini nih, Den, kalau lo nanti punya bini."

Alden hanya menaikkan kedua alisnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.

Malam itu Andy memaksa Alden untuk bertemu setelah mereka selesai bekerja. Meskipun mereka tidak bekerja di perusahaan yang sama, tetapi mereka berdua masih menyempatkan diri untuk bertemu karena kebetulan lokasi kantor mereka berdekatan. Berbeda dengan teman mereka lainnya yang kini tinggal di kota-kota yang berbeda. Hanya Alden dan Andy yang masih setia berada di Jakarta.

"Dosa nggak sih kalau bohong sama istri?" ledek Alden.

Andi melempar tisu ke wajah Alden. "Bangke. Gue suntuk di rumah, dengar dia yang ngeluh melulu soal ngidamnya itu. Lo bayangin deh, masa ada orang yang ngidam cakwe tengah malam. Gue mau cari di mana coba?"

BETTER THAN BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang