7. PENGKHIANATAN

418 43 0
                                    

Mara duduk gelisah menunggu Alden yang masih mengantre di depan kasir. Kejadian akhir pekan lalu membuat Mara sulit untuk tetap berpikir positif. Wajah wanita itu masih saja terbayang di kepala Mara. Ia tidak ingin berburuk sangka pada Alden meskipun sulit baginya untuk meyakinkan diri. Apa yang dirinya lihat adalah nyata, Alden berjalan bersama wanita lain.

"Ra?"

Mara tersadar Alden sudah duduk di hadapannya. Ia mengalihkan wajahnya dari buku tebal yang sedari pura-pura ia baca. "Ya?"

"Kamu nggak lagi sakit kan? Wajahmu pucat banget." Alden memperhatikan wajah Mara.

Mara menggeleng pelan kemudian melirik kamera yang ada di tangan Alden. "Kemarin jadi beli?"

"Jadi dong!" Alden berseru bangga. "Aku dapat kamera bagus nih." Ia mengarahkan lensa kameranya pada Mara kemudian mengambil potret gadisnya. Lalu Alden melihat hasil jepretannya tetapi ia tersenyum kecewa. "Senyum dong, Ra. Kamu murung banget hari ini." Ia meletakkan kameranya di atas meja. "Kamu ada masalah?"

"Nggak," jawab Mara singkat.

"Terus kenapa? Cerita dong. Aku kan jadi nggak ngerti perasaan kamu sekarang ini."

Mara memperhatikan kening Alden yang mengerut. Sesulit itukah mempercayai pacar sendiri? tanya Mara dalam hati. Dan semudah itukah membohongi pacar sendiri? Ia ingin sekali percaya tetapi hatinya tetap menolak. Ditambah dengan dirinya yang enggan menanyakan kejadian akhir pekan yang lalu. "Al..."

"Ra, pesanan kita sudah jadi tuh. Aku ambil dulu ya." Alden tersenyum singkat pada Mara lalu meninggalkan gadisnya.

Mata Mara tertuju pada kamera yang tergeletak di atas meja. Rasa penasaran pun mendorong Mara untuk mencari tahu. Ia melihat Alden yang masih mengantre di tempat pengambilan saus. Dengan cepat Mara pun memeriksa kamera Alden. Ia menyiapkan hati kalau-kalau memang dirinya menemukan sesuatu yang mendukung kecurigaannya. Dan tangan Mara akhirnya bergetar, hatinya memanas, jantungnya berpacu lebih cepat. Foto gadis itu ada. Alden mengambil foto gadis itu. Gadis yang terlihat lebih modis dibanding dirinya dan terlihat jauh lebih cantik dibanding dirinya. Rahang Mara mengeras. Rasanya ia ingin sekali melempari Alden dengan kamera yang masih ada di tangannya. Tetapi logikanya mencoba untuk menenangkannya. Mara harus bertanya untuk memastikannya.

"Lagi coba kemaranya?" Alden duduk di depan Mara. Ia menggeser pesanan Mara kemudian membukakan botol air mineral milik Mara. "Fotoin apa?"

Mara menggeleng tanpa ekspresi. Ia meletakkan kamera di atas meja lalu mulai mengaduk Teriyaki yang ada di hadapannya. "Kemarin jadi beli kameranya sama teman?"

"Hm. Kamu gimana sama Jet?"

Mara menyeringai saat menunduk.

Mengalihkan pertanyaan.

"Kapan kira-kira kamu dipanggil buat interview di tempat kenalannya Jet?"

"Belum ada kabar." Mara meneguk air kemudian mendesah lega. "Kamu beli kamera di mana?"

Alden mengangkat kepalanya lalu menatap lekat kedua mata tajam Mara. "Di Mall. Kan aku sudah bilang sama kamu." Alden memperhatikan tatapan Mara. Ia meletakkan sendoknya lalu menyentuh tangan Mara. "Ra, kamu kenapa?"

Mara menarik tangannya turun dari atas meja. "Aku ke toilet dulu." Mara berjalan cepat sambil menahan air mata. Ia menyesali apa yang sudah ia lakukan. Jika saja ia tidak melihat foto yang ada di dalam kamera itu, pasti ia tidak akan menelan sakit hati. Jika saja ia tidak bertemu Jet akhir pekan lalu, pasti ia akan tetap menaruh kepercayaan pada Alden. Dan hari itu, kepercayaan Mara pada Alden pun mulai memudar.

***

"Mara!" Nina membuat Mara tersadar dari lamunan. "Lo nggak dengar cerita gue ya?" Nina memelas. "Gue cerita panjang lebar juga..."

BETTER THAN BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang