Alden menyusuri lorong bar bersama Andy. Mereka memutuskan untuk pergi ke Happy Bar malam itu juga. Alden tidak bisa berkonsentrasi setiap kali berpapasan dengan wanita berbaju minim, takut jika Mara kemungkinan memakai pakaian seperti wanita lainnya.
Meskipun Alden masih merasa kesal dengan pertengkaran mereka malam lalu, tetapi Alden tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Setidaknya Mara bersedia memberinya kesempatan kedua untuk menjelaskan apa yang terjadi tiga tahun yang lalu. Alden begitu menyesal karena ia seperti seorang pecundang yang tidak bisa memperbaiki keadaan.
Selama tiga tahun Alden bertemu dengan banyak wanita yang lebih cantik tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang bisa menggetarkan hati Alden. Mara bukan hanya bisa menggetarkan hati Alden, wanita itu bahkan bisa memberikan ketenangan hanya dengan tersenyum pada Alden. Senyuman hangat yang Alden pikir hanya akan Mara berikan pada dirinya seorang. Tetapi seolah pendapat itu goyah saat ia melihat Mara yang kini duduk dengan seorang laki-laki di sebuah sudut Happy Bar.
"Den, gue ke toilet sebentar ya. Dari tadi gue tahan buang air."
"Hm." Alden mengangguk dan membiarkan Andy pergi tanpa mengalihkan perhatiannya dari wanita yang kita tertawa bahagia bersama seorang laki-laki.
Kepala Alden terasa panas. Tangannya mengepal. Rasanya ia siap melayangkan tinju pada wajah laki-laki yang kini tengah mengusap punggung Mara. "Berani banget tuh cowok. Sialan."
"Alden?" Seorang wanita mendatangi Alden, membuat Alden mengalihkan perhatiannya. "Lo Alden, kan?"
Alden mengerutkan keningnya melihat seorang wanita mengetahui namanya di bar itu. Ia mengangguk ragu. "Siapa ya?" Ia benar-benar tidak ingat siapa wanita itu.
"Gue Nina." Wanita itu tersenyum padanya. "Temannya Mara."
Alden memiringkan kepalanya. Ia tidak ingat sama sekali Mara pernah memperkenalkan salah satu temannya. Alden pernah beberapa kali melihat Mara duduk bersama temannya tetapi Alden tidak mengenal siapa wanita yang terlihat antusias di depannya itu. "Oh... Maaf, gue lupa."
Nina tersenyum kecut. "Oh..." Ia melipat tangan di depan dada. "Jadi lo sudah balik ke Jakarta?"
Alden mengangguk ragu walaupun tidak mengerti dari siapa wanita itu tahu jika Alden sudah lama tidak berada di Jakarta.
"Cari Mara? Mau balikan sama Mara?"
Alis Alden menyatu mendengar Nina yang seperti sedang menyinggungnya.
"Masih punya nyali? Mara sudah nggak mungkin balikan sama lo."
Rahang Alden mengeras. "Kenapa begitu?"
Nina mengangguk ke arah Mara yang masih asik tertawa bersama seorang laki-laki. "Lo lihat sendiri."
Mara terbiasa menatap kedua mata lawan bicaranya setiap kali ia sedang mendengar cerita orang tersebut. Ia akan tersenyum seolah membayangkan dirinya berada di dalam cerita orang itu. Wanita itu sesekali menyingkirkan poninya dan akan mengomentari bahkan tertawa jika sudah focus mendengar cerita. Hal itulah yang membuat Alden meradang. Mara di depan Alden sekarang adalah Mara-nya yang dulu bersikap manis padanya setiap kali mendengar semua cerita Alden. Dan Alden kini merasa sangat cemburu.
"Mara pantas punya pacar yang jauh lebih baik dari lo." Nina meninggalkan Alden yang mungkin saja sudah mengeluarkan tanduk merah di kepalanya. Ia berjalan santai menghampiri Mara.
Tetapi dalam hitungan detik Alden sudah menyusul Nina. Alden berdiri di depan meja Mara dan membuat Mara dan pasangannya malam itu terkejut melihat kedatangan Alden.
"Heh! Nggak sopan lo ya!" Nina menarik bahu Alden yang sudah jelas jauh lebih tinggi dari tubuh mungilnya. "Alden!"
Alden menyingkirkan tangan Nina dari bahunya lalu menoleh ke belakang. "Lo jangan ikut campur urusan gue. Gue nggak kenal sama lo. Paham?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BETTER THAN BEFORE
RomanceSetelah bertahun-tahun memendam rasa suka, Alden Chandra memberanikan diri untuk mendekati gadis pujaannya, Mara Marcella. Gadis yang sejak di bangku SMA ia sukai dan kagumi. Gadis yang selama lebih dari empat tahun mengganggu pikirannya setiap kali...