8. HILANG

349 37 0
                                    

Alden memeriksa ponselnya sekali lagi. Ia pikir ia akan menerima pesan dari Mara selama latihan, ternyata ponselnya hanya penuh dengan pesan dari orang-orang yang tidak diharapkannya. Bola basket menggelinding membentur sepatunya. Alden mengangkat kepala dan melihat Putra menghampirnya dari tengah lapangan.

"Kenapa, Den? Kok lo liatin hape sampai segitunya?" Putra duduk di samping Alden.

"Kok Mara nggak telpon gue ya? Dari tadi pagi." Alden kembali mengingat-ingat. "Nggak, dari semalam malah."

"Kalian cek-cok?"

Alden menoleh pada Putra. Ia menggeleng pelan kemudian kembali mencari nama Mara di ponselnya. Ia menunggu panggilannya tersambung.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."

Kening Alden mengerut.

"Kenapa lagi? Nggak diangkat?" tanya Putra.

"Non aktif." Alden mendesah pelan. Perasaannya mulai tidak enak. Pesannya pun tidak dibalas oleh Mara. Ia memasukkan ponsel lalu bergegas pergi.

"Oi! Ke mana?" teriak Putra.

"Ke tempat Mara dulu."

***

Alden mengatur napasnya. Hari mulai gelap dan tempat tinggal Mara terlihat sepi tanpa ada lampu yang menyala. Sudah pasti Riza tidak berada di rumah itu. Lalu ke mana perginya Mara?

Ponsel Mara masih juga belum aktif. Perasaan Alden semakin gusar. Keadaan itu semakin membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Tidak ada seseorang dari teman Mara yang bisa Alden hubungi. Alden tidak mengenal satu pun teman Mara. Alden bahkan hanya mengetahui Riza sebagai satu-satunya orang terdekat Mara.

"Pasti terjadi sesuatu." Alden memejamkan kedua matanya sambil menyugar rambut.

***

Mara menatap pintu sebuah rumah yang baru pertama kali ia datangi. Ia mengetuk pelan pintu itu tanpa mengucapkan satu kata pun. Hingga orang di balik pintu itu membukanya. Seorang laki-laki terkejut melihat kedatangan Mara.

"Mara?"

"Hai, Andy." Nada yang keluar dari mulut Mara tidak terdengar semua baik-baik saja.

Kening Andy mengerut. "Kok lo tahu tempat tinggal gue?"

"Kita satu SMA. Salah satu teman belajar kelompok gue tinggal di sekitar sini dan gue sering lihat lo pulang sekolah."

"Oh..." Andy tertawa kaku. "Yaudah, yuk masuk!"

"Nggak usah. Gue cuma mau tanya satu hal sama lo."

"Tanya satu hal?" Andy semakin kebingungan. Ditambah ekspresi Mara yang terlihat tidak ramah seperti terakhir kali mereka bertemu. "Tentang apa ya?"

"Tentang Alden." Tatapan datar Mara membuat And6 merasa ada yang aneh. "Sejak kapan kalian mulai taruhan itu?"

"Hah?" Kedua mata Andy membulat. Ia kesulitan menelan salivanya. "Ma-maksud lo?"

"Mobil Alden sudah kalian modif, kan? Sejak kapan kalian sepakat buat jadiin gue sebagai bahan taruhan?" Rahang Mara mengeras.

***

Kantin dipenuhi oleh mahasiswa di jam makan siang. Alden sama sekali tidak nafsu makan sementara Putra dan Andy menikmati Mie Ayam mereka masing-masing.

Semalam ia menunggu di depan tempat tinggal Mara. Berharap ia melihat gadis itu pulang hingga ia bisa bertanya langsung sebenarnya apa yang sudah terjadi. Tetapi hasilnya nihil. Sampai jam empat pagi pun rumah itu masih gelap. Bisa Alden tebak Mara tidak pulang. Bahkan ponselnya belum kembali aktif sampai siang itu.

"Den!" Putra menyadarkan Alden dari lamunannya. "Lo kenapa sih? Dari tadi gue lihat lo ngelamun melulu. Sakit?"

Alden menggeleng. "Nggak."

"Mara masih belum bisa dihubungi?"

Pertanyaan Putra membuat Andy menegang. Ia menunduk, berpura-pura mengaduk mienya.

"Belum, Put. Semalam juga gue tungguin dia pulang di dalam mobil. Tapi sampai jam empat dia belum juga pulang. Di kelas juga nggak ada." Alden mengaduk jus alpukatnya.

"Lo sudah coba telpon salah satu temannya?"

Alden menyeringai sambil menunduk. "Bodohnya gue... gue nggak pernah pengen tahu siapa yang ada di sekitar dia. Gue cuma tahu Riza, Kakaknya. Selebihnya gue nggak pernah coba buat tanya orang-orang di sekitar dia." Padahal Alden paham orang seperti Mara tidak akan bicara jika tidak ditanya.

Putra ikut kebingungan. "Hm... mungkin lo ngelakuin sebuah kesalahan."

"UHUKK!" Andy tersedak mendengar ucapan Putra. Ia menepuk-nepuk dadanya dan membuat kedua temannya itu terkejut.

"Yailah... lo kenapa juga sih? Makan mie aja sampai keselek." Putra memberikan air mineral pada Andy sambil menepuk-nepuk pelan punggung Andy. "Nih, minum dulu."

Pelan-pelan Andy minum air mineral itu sambil melirik Alden yang kembali merenung. Setengah hati Andy merasa bersalah. Andy yakin Mara menghilang setelah mendengar semua yang ia ceritakan pada gadis itu. Karena takut pertemanannya dengan Alden akan hancur jika mendengar apa yang sudah ia katakan pada Mara, Andy memilih untuk menutup mulut. Ia tidak mengatakan apapun pada siapa pun. Dalam hati Andy meminta maaf pada Alden.

***

"Hah?" Riza terkejut mendengar permintaan Mara. "Apa Kakak nggak salah dengar? Kamu mau kerja di tempat Papa? Jadi tukang cuci piring?"

"Jadi apapun juga boleh lah. Yang penting nggak kerja di Jakarta ini." Mara merapikan buku-buku yang berserakan di kamarnya.

Riza bersandar di ambang pintu kamar Mara. "Terus ilmunya mau dikemanain? Jutaan uang sudah kamu habisin selama bertahun-tahun cuma buat jadi kuli cuci piring."

"Kak Riza... untuk sementara doang. Kan aku bilang sementara. Aku juga sambil cari kerja kok di sana."

"Tapi yang potensinya lebih banyak ya di Ibu kota, Ra. Kamu gimana sih?"

"Bogor juga banyak kok lapangan kerjanya. Pandai-pandai nyari aja." Mara berbalik dan menatap sinis Kakaknya. "Kak Riza bahas uang... Pamrih?"

"Ya iyalah!" Riza berdiri tegak dan membuat Adiknya merasa kesal. "Kalau tahu kamu nggak bisa lebih sukses dari Kakak, buat apa Kakak banting tulang biayain hidup kamu di sini?"

"Kok gitu sih ngomongnya? Nyakitin banget."

"Makanya, Ra... Kamu tetap di Jakarta. Cari pekerjaan yang bisa bikin kita balik modal. Ingat, kamu satu-satunya alasan Kakak berjuang sampai sejauh ini. Paham?"

"Ya, paham. Makanya aku cari peluang yang lebih besar. Kalau di Jakarta kan banyak saingannya."

"Terus kalau kamu pindah, gimana si Alden itu?" Riza melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak apa-apa kamu tinggalin dia?"

Mara kembali teringat kejadian yang beberapa hari belakangan ini ia saksikan setelah mendengar nama Alden keluar dari mulut Riza. Hatinya kembali terasa sakit, seperti ada ribuan jarum menusuknya. Tetapi Mara kembali menutupi rasa sakitnya, membohongi dirinya sendiri. "Ya, nggak masalah. Kami nggak ada hubungan kok." Mara berbalik dan kembali membereskan buku-bukunya. "Pokoknya, selesai widusa aku langsung ke Bogor. Dan Kak Riza harus terima tawaran Jet buat tinggal di rumahnya. Jangan tinggal di sini lagi." Mara tidak ingin Riza berhubungan dengan Alden. Rasa sakitnya begitu besar.

*** 

BETTER THAN BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang