Menu sarapan sederhana sudah hampir siap. Pagi itu Mara membuat makanan kesukaan kakaknya, Nasi Goreng, ditambah telur mata sapi. Sambil bersenandung, Mara menuangkan telur di teflon. Kakaknya akan segera sampai di rumah, Mara harus lebih cepat."Bahagia banget."
Mara menoleh ke belakang saat terkejut mendengar suara Riza. Ia tidak mendengar suara pintu terbuka. "Lho, sudah sampai?" Ia melirik jam dinding. "Baru jam enam."
"Lebih cepat sedikit. Mood Jet lagi baik." Riza melangkah mendekati Mara. Ia menuangkan segelas air ke dalam gelas. "Orang itu nggak datang lagi kan setelah Kakak pergi?"
Mara memutar bola mata. "Ya ampun, Kak. Sebodoh itu ya aku ini?"
Riza tertawa meledek. "Mana tahu. Orang kalau sudah jatuh cinta itu makin bodoh."
"Aku nggak bodoh, Kak." Mara meletakkan telur mata sapi terakhir di atas piring kemudian membawanya ke meja makan kecil.
Riza membawa piring mereka yang berisikan nasi goreng. "Kakak kok kurang suka sama dia ya, anak orang kaya?"
"Harus ya Kakak berteman dengan embel-embel latar belakang orang tua mereka?" Mara melipat kedua tangan di depan dada lalu bersandar di meja makan. "Jet itu bukan orang sederhana. Bahkan jauh dari kata sederhana."
"Jet itu bosnya Kakak, Ra. Beda. Dia yang tolongin Kakak di saat Kakak butuh bantuan."
"Dan Jet pernah bilang ke aku kalau dia beruntung punya Kak Riza sebagai sahabatnya."
Riza menarik napas panjang. Ia tidak suka berdebat dengan adiknya. "Sarapan dulu." Ia menarik satu kursi. "Kakak baru pulang dari bar. Capek. Bakal lebih capek lagi kalau sarapannya pakai adu bacot sama kamu, Ra."
"Lagian... Kakak duluan yang bahasa Alden." Mara ikut menarik kursi lalu duduk di samping kakaknya. "Itu karena kakak belum kenal siapa Alden."
"Atau justru kamu," ucap Riza sambil memotong telur.
***
Alden tersenyum sambil mengetik sebuah pesan di ponselnya. Mara mengabarinya jika ia akan datang untuk melihat pertandingan tim Alden. Hubungan mereka semakin dekat. Bahkan Alden masih menghubungi Mara semalam hanya untuk sekadar mengabari bahwa ia sudah sampai di rumah. Alden juga masih sempat menghubungi Mara pagi tadi meskipun mendengar teriakan Riza dari seberang sana untuk mengganggu percakapan mereka. Respon positif Mara membuat Alden semakin yakin jika Mara memiliki perasaan yang sama dengannya.
"Den, mau tanding nih. Jangan senyum-senyum sendiri lo liatin hp. Bisa gila nanti," ucap Putra yang sedang memakai sepatu di samping Alden.
Alden memasukkan ponsel ke dalam tas. "Gue kan butuh semangat dari orang yang gue sayang."
Putra bisa melihat seringai licik di wajah Alden. "Wah, gilaaa. Benaran lo dekatin Mara?"
"Ya iya dong. Lo kira?" Alden menyimpulkan tali sepatu semakin kuat. "Kenapa? Lo kira gue main-main? Atau lo takut?"
"Anjir!" Putra menggeleng. "Alamat jebol nih dompet gue sama yang lainnya. Jangan minta modif macam-macam lo ye!"
Alden terbahak-bahak mendengar kekhawatiran dalam suara Putra. Ia mendekat lalu membisikkan sesuatu di depan telinga Putra. "Kayaknya gue yang bakal menang taruhan."
"Bangke..." Putra meremas rambutnya dan membuat Alden semakin kuat tertawa.
"Alden!"
Alden menoleh saat mendengar suara Candy dari luar ruang ganti mereka. "Hai, Can!" Dengan langkah cepat Alden menghampiri Candy lalu memeluknya singkat. "Lo nggak bilang kalau mau datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
BETTER THAN BEFORE
RomanceSetelah bertahun-tahun memendam rasa suka, Alden Chandra memberanikan diri untuk mendekati gadis pujaannya, Mara Marcella. Gadis yang sejak di bangku SMA ia sukai dan kagumi. Gadis yang selama lebih dari empat tahun mengganggu pikirannya setiap kali...