01. Penyesalan

1.6K 65 0
                                    

Pukul sepuluh pagi. Akad nikah semestinya telah berlangsung dua jam lalu, namun Doni malah dibuat gelisah oleh ketidakhadiran mempelainya. Dyandra belum juga muncul meski para tamu undangan telah memadati ballroom. Padahal sengaja akad nikah dibarengkan dengan resepsi demi kepraktisan. Namun alasan itu menjadi bumerang kini saat sebagian tamu undangan mohon diri. Bahkan keluarga mempelai sepakat bahwa dua jam bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Dengan berat hati mereka melepas kepergian para tamu.

"Dy, berapa lama lagi kamu siap keluar?" tanya Vedyra, berkebaya putih, hanya setahun lebih muda dari gadis yang duduk di depan meja rias.

"Lass mich einfach in Ruhe! Tinggalkan aku sendiri!" jawab Dyandra, yang telah mengenakan busana pengantin.

"Come on Dy, tamu undangan sudah hadir sejak dua jam yang lalu. Schätzen Sie das nicht? Apa kamu tidak menghargai itu?" ujar Vedyra setengah jengkel.

"Okay! Give me five minutes, please." jawab Dyandra

Vedyra meninggalkan Dyandra berdiam di ruang rias seorang diri. Ia tahu nggak mudah bagi kakaknya untuk menerima pernikahan ini. Meskipun hubungan diantara kakaknya dan Doni serius. Meskipun Dyandra selalu memperlihatkan wajah dan sikap yang ceria di hadapan semua orang. Vedyra yakin, sebenarnya Dyandra belum siap untuk pernikahan ini. Nggak akan pernah siap, selama saudara perempuannya itu masih nggak bisa melupakan laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun lalu! Laki-laki cinta pertama Dyandra.

"Seharusnya nggak begini. Seharusnya aku nggak berucap hal demikian padamu sore itu. Jika saja aku nggak mengedepankan egoku...." Ucap Dyandra, menyeka air mata.

💔💔💔

Flashback

Setengah jam berlalu. Dyandra, gadis berdarah campuran Jawa-Belanda-Jerman itu dengan sabar menanti pria yang seperti biasa membuatnya menunggu. Dengan tenang ia duduk di sebuah bangku di area outdoor Diskusi Café, sebuah café berkonsep taman yang dihiasi dengan tanaman gantung serta berbagai tanaman hijau lainnya. Selain atmosfernya yang nyaman, café ini juga menawarkan menu dengan harga terjangkau. Wajar jika banyak mahasiswa seumurannya yang menghabiskan waktu di tempat ini, dari sekadar hangout hingga mengerjakan tugas kuliah.

"Sorry, aku terlambat! Tadi konferensinya molor." seru Raka, menyesal.

"It's okay. Kamu mau pesan apa?" balas Dyandra, tersenyum. Baginya yang penting Raka datang, itu sudah bagus. Ia tak mau muluk-muluk berharap pria itu datang tepat waktu, karena hal tersebut bagaikan menanti rembulan jatuh. Ia paham benar kebiasaan kekasihnya. Lagipula, setengah jam bukanlah waktu yang panjang demi menantikan seorang Raka. Pria itu bisa terlambat hingga dua jam. Sudah begitu, kadang nggak minta maaf pula!

"Seperti biasa." jawab Raka.

"Mas," seru Dyandra, tangannya melambai memanggil pelayan yang berdiri di depan meja service. "Nasi goreng jawa dan lemon tea." Lanjutnya menyebutkan menu favorit Raka.

Seorang pelayan pria yang sebaya dengan mereka meninggalkan meja usai mencatat pesanan Dyandra.

"Ka, besok kamu libur 'kan?" tanya Dyandra.

"Besok ya?" jawab Raka seraya mengerutkan dahi. "Besok aku mau ke gedung DPR, ada wawancara dengan ketua dewan."

Hati Dyandra mencelos. "Oh, gitu. Berarti, kamu batal menemaniku menghadiri pesta pernikahan kak Rachel?"

Raka menepuk dahi. "Ya ampun, besok ya resepsinya? Can't make it, Dy. Acaraku seharian." jawabnya, mengedikkan bahu.

"Tapi kamu udah janji sama aku sejak dua bulan lalu, Ka!" protes Dyandra.

"Aku tahu, tapi ini kesempatan emas, Dy. Nggak mudah untuk dapat kesempatan melakukan wawancara eksklusif di saat terjadi skandal korupsi besar-besaran seperti sekarang." sahut Raka. Apalagi mengingat dirinya hanya wartawan surat kabar lokal. Wartawan surat kabar nasional saja ditolak mentah-mentah saat ingin melakukan wawancara! Jika bukan karena bantuan dosennya yang merupakan sahabat karib ketua dewan, mungkin permohonan wawancara Raka juga bakal ditolak.

"Tapi pernikahan kakakku juga hanya sekali seumur hidup, Ka!" jawab Dyandra, keukeuh. Rachel memang hanya saudara sepupu, namun baginya Rachel sudah seperti kakak kandung.

"Come on, Dy, mengucapkan selamat nggak harus di hari-H, kan? Kamu berdarah Eropa, mestinya lebih santai menanggapi event seperti ini." balas Raka, sedikit kesal karena nggak seperti biasa, Dyandra merengek hanya karena hal kecil.

Wajah Dyandra memerah, emosinya tersulut sudah. "Kamu pikir karena aku berdarah Eropa lantas menganggap pernikahan sebagai sesuatu hal yang main-main, begitu? Kamu pikir semua orang Eropa seperti itu?" balasnya marah.

"Okay, sorry kalau aku salah ngomong." sahut Raka, berusaha meredakan ketegangan diantara mereka. Merasa malu kepada pelayan yang tengah menyajikan pesanan ke atas meja. "Sehari setelah hari-H, aku janji akan datang untuk memberi ucapan selamat kepada kak Rachel dan suaminya. Jadi sekarang kita bisa berhenti berdebat." pungkasnya, lantas menghisap lemon tea, bersiap menikmati nasi goreng yang mengepulkan aroma harum. Ia kelaparan dan kelelahan, tak mau buang-buang energi hanya untuk berdebat.

Namun rupanya Dyandra tidak berpikir demikian, janji Raka untuk menemui Rachel sehari setelah resepsi justru bagaikan bensin bagi kobaran api kemarahannya. "Sehari setelah hari-H kamu bilang? Kamu berjanji untuk datang di hari-H, bukan sehari setelah hari-H." balasnya penuh penekanan.

Emosi yang sebelumnya teredam, kini tersulut kembali. Raka meletakkan sendok dan garpu. Menatap lurus dan tajam ke manik mata Dyandra. "Tolong jangan kekanakan, Dyandra!"

"Aku kekanakan? Aku selalu nyoba untuk ngerti kamu. Aku ngalah sama kamu, ngikutin semua keinginan kamu. Aku yang minta maaf meski kamu yang salah. Bahkan aku nggak pernah protes atas kebiasaanmu yang sering datang terlambat! Dan sekarang, hanya karena aku minta satu hal darimu, lantas kamu menyebutku kekanakan?" balas Dyandra.

Raka terperanjat, nggak pernah menyangka Dyandra memiliki sederet keluhan terhadapnya. Selama ini ia hanya tahu bahwa kekasihnya gadis yang penurut dan menyenangkan. Sehingga mendengar ucapan Dyandra barusan membuatnya kecewa dan tersinggung. "Oh, jadi di mata kamu, aku ini cuma lelaki pemaksa dan tukang bikin salah. Gitu?"

Unek-unek yang disampaikannya tanpa berpikir terlebih dahulu itu kini Dyandra sesali. "Bukan itu maksudku, Ka."

Tanpa kata, Raka bangkit dari kursinya. Meninggalkan Dyandra bersama sepiring nasi goreng yang bahkan belum sempat dinikmatinya.

Flashback end.

💔💔💔

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Berikan vote dan komentar, agar penulis juga dapat berkembang.

MelewatkanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang