Melewatkanmu 14

13 0 0
                                    

"Terima kasih Raka, kamu sudah mau repot-repot menjenguk Diane setiap hari." ucap tante Sovia, ibunda Diane, mengantarkannya ke depan rumah.

"Nggak repot kok, Tante!" jawab Raka. "Ngomong-ngomong, Diane masih belum mau ikut terapi lagi?" tanyanya.

Tante Sovia menggeleng. "Diane itu keras kepala sekali. Dia mau minum obat lagi saja sudah bikin Tante senang!" jawabnya. "Ini semua berkat kamu." imbuhnya, tersenyum.

Raka menggeleng, merasa tak pantas memperoleh pujian itu. "Diane yang ingin sembuh."

Tante Sovia menghela napas. "Kalau saja Reza nggak meninggalkan Diane...."

"Reza?" tanya Raka.

Tante Sovia mengangguk. "Mantan tunangan Diane. Sayangnya, seminggu menjelang pernikahan, Diane mengalami kecelakaan."

"Diane juga yang keras kepala! Bahkan Om sudah membujuknya untuk nggak mengikuti kompetisi balet itu, tapi dia memaksa." imbuh tante Sovia. "Firasat Tante ini sudah nggak enak, Raka. Tante bermimpi Diane mengalami kecelakaan. Tapi Diane malah bilang itu cuma takhayul."

"Lalu Reza sekarang dimana, Tante?" tanyanya.

"Di Jerman. Enam bulan setelah Diane kecelakaan, ayahnya menjodohkan Reza dengan putri rekan bisnisnya. Tiga bulan kemudian mereka menikah." jawab tante Sovia.

"Sewaktu Reza masih ada, Diane teratur minum obat dan mengikuti terapi. Tapi semenjak dia absen, Diane seperti kehilangan semangat hidup." cerita tante Sovia. Matanya tampak menerawang ke masa lalu. "Sudah tiga kali Diane mencoba bunuh diri."

"Bunuh diri?" tanya Raka, terkejut.

Tatapan tante Sovia kembali padanya. "Ya, sehari setelah Reza menikah dan dua kali pada tahun lalu."

Raka tertegun. Pada saat-saat tertentu, Diane yang ceria memang tampak murung. Emosinya jelas terlihat saat Raka bertanya tentang kakinya. Namun ia tak pernah mengira kondisi mental Diane separah itu, hingga membuatnya nekad bunuh diri.

"Makanya kami nggak berani lagi memaksa Diane untuk berobat. Terakhir kali Om memaksa, Diane mengiris urat nadinya. Hampir saja kami kehilangan dia kalau malam itu budhe Sumi nggak terbangun, dan menemukan Diane yang sudah meregang nyawa di kamarnya." Tante Sovia menitikkan air mata. "Ah, maaf, Tante jadi cerita macam-macam padamu, Raka." lanjutnya, mengusap air mata.

Raka tersenyum maklum. "Nggak apa-apa, Tante. Kalau gitu saya pamit dulu."

"Hati-hati, Raka." pesan tante Sovia sebelum Raka berlalu dengan mengendarai motornya.

💔💔💔

"Hai Cantik! Lagi baca apa?"

Diane mendongakkan kepala, mendapati Raka yang berjalan memasuki kamarnya. Seketika membuatnya tersenyum lebar.

"Kamu bawa apa?" tanya Diane, merebut paperbag dari tangan Raka.

"Nggak sabaran banget kamu!" gumam Raka, mengambil tempat duduk di tepi ranjang.

"Yeay, kentang goreng!" seru Diane.

Raka tertawa mendapati ulah Diane yang nggak ada ubahnya seperti anak kecil. "Padahal main coursenya burger. Tapi kamu malah tertarik sama kentangnya!" komentarnya geli.

"Kamu mau?" Diane menyuapkan padanya kentang goreng yang telah dicocol saus.

"Kamu sudah minum obat hari ini?" tanya Raka, beberapa saat lamanya setelah mereka makan dalam diam.

Diane mengangguk. "Asistenmu neror aku lewat telepon seharian, gimana aku bisa nggak minum?"

Raka tertawa mendengar keluhannya. "Oh, selama sebulan ke depan dia bakal terus neror kamu, Di. Soalnya aku lagi nggak bisa neror kamu sendiri."

Diane mencubit pinggang Raka, yang hanya membuat pria itu meringis kecil.

"Tapi akhir bulan depan aku bisa mulai neror kamu lagi. Apa kamu mau aku antar terapi?" lanjut Raka, yang seketika membuat Diane mematung. "Diane," tegurnya, menyentuh lengan gadis itu.

"Aku nggak mau ngomongin ini." balas Diane.

"Kamu ingin berjalan lagi, kan? Ingin menari lagi?" tanya Raka.

"Stop, Raka!" sahut Diane.

"Kalau kamu sembuh, kamu akan bisa menari lagi. Bahagia lagi." imbuh Raka.

"Aku nggak mau dengar!" Diane menutup kedua telinganya. Napasnya terengah, air matanya turun mengaliri wajah.

"Kamu kuat, Diane. Aku tahu kamu pemberani." kata Raka.

"Raka," gumam Diane, terisak. Kedua tangannya beralih menutupi wajah.

"Aku janji akan nemenin kamu selama terapi. Kamu nggak sendirian, Di." bisik Raka sembari mengusap lengannya.

💔💔💔

"Hai, gimana tadi?" tegur Raka, yang muncul di taman rumah sakit tempat Diane menunggu asistennya yang sedang membelikan makan siang di kantin.

"Good." jawab Diane tersenyum. Ini sudah bulan keempat sejak ia setuju untuk terapi lagi. "Kamu darimana?" tanyanya.

"Sorry. Ada masalah di kantor tadi!" Raka mengulurkan tas berisi eskrim, yang disambut Diane dengan suka cita. "Kamu sudah makan siang?" tanyanya.

"Lagi dibeliin mbak Tanti di kantin." jawab Diane. "Kamu udah makan?" tanyanya sembari menikmati es krim cone.

"Udah, tadi habis meeting." jawab Raka.

Ia menolak ketika Diane menawarkan eskrim dari dalam tas. Wajahnya juga tak secerah biasanya.

"Semua baik-baik aja?" tanya Diane khawatir. "Kelihatannya penjualan koran dan majalah sedang menurun."

Raka mengangguk. "Ya. Orang-orang beralih ke media online. Apalagi mereka punya android sekarang." jawabnya. "Well, me too." lanjutnya nyengir, seraya menunjukkan handphone di saku.

"Jadi kamu sibuk karena itu?" tanya Diane.

"Ya." jawab Raka singkat.

"Apa kantor beritamu juga akan beralih menggunakan media online?" tanya Diane penasaran.

"Iya. Kami perlu hire pegawai baru untuk divisi IT." jawab Raka.

"Apa sulit nyarinya?" tanya Diane.

"Enggak. Kami kenal beberapa orang yang bisa ditawari pekerjaan itu." jawab Raka.

"Then?" tanya Diane.

"Apa?" balas Raka, bingung.

"Lalu kenapa kamu kelihatan murung?" tanya Diane gemas. Percakapan mereka terjeda oleh kehadiran asisten Diane, yang membawakan makan siang untuknya. "Jadi?" tanyanya, setelah mbak Tanti pergi.

Raka tampak menghela napas sebelum mulai bicara, "Aku cuma kepikiran, kalau nggak ada yang baca koran lagi, gimana nasib orang-orang yang menjajakan koran kami selama ini?"

Diane tertegun. Kegelisahan Raka terdengar masuk akal. Mau tak mau, media online pasti menggeser media cetak.

"Kamu sendiri nggak khawatir dengan keberlangsungan kantormu?" tanyanya.

Bukannya cemas, Raka malah tertawa mendengarnya. "Kalau kantorku bangkrut, mungkin aku bisa jadi pembaca berita di TV aja, gimana? Tampangku lumayan juga untuk jadi news anchor kan?"

Diane menepuk lengannya sebal. "Kamu tuh, orang lagi serius juga!"

Raka kembali tertawa, hanya membuat Diane geleng-geleng kepala. Bingung, antara kasihan atau ingin menabok punggungnya kencang-kencang.

💔💔💔

MelewatkanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang