Melewatkanmu 19

24 3 0
                                    

Menuruti nasihat adiknya, Dyandra datang mengunjungi Indonesia. Meski ia menolak untuk berangkat bersama Vedyra. Adiknya yang cantik tak boleh tahu bahwa ia mengambil penerbangan ke Yogyakarta setelah tiba di bandara Jakarta. Lalu menghabiskan satu hari di kota gudeg itu dengan jalan-jalan di Malioboro dan Candi Prambanan, yang berakhir dengan menyaksikan matahari terbenam di pinggir pantai, sebuah moment yang selalu mengingatkannya kepada Raka.

Lagi-lagi air matanya jatuh. Mengapa hingga kini nama Raka nggak kunjung memudar dari ingatannya? Mengapa ia dikutuk untuk mencintai Raka sedalam ini? Perasaan yang mampu menciptakan rasa sakit yang amat sangat, namun di saat yang sama terlalu berharga untuk ia lepaskan.

Tapi Raka sudah punya kekasih baru, begitu informasi yang diterimanya dari Vedyra tempo hari. Jadi apakah dirinya saja yang dikutuk untuk mencintai Raka seumur hidup, sedang Raka bebas untuk memulai hidup baru dengan perempuan lain?

"Kau mau apa?"

Seruan terdengar di telinganya, membuat Dyandra urung melangkah lebih jauh. Lalu seorang pria bergegas mendatanginya, menarik tangannya meninggalkan lautan lepas. Bagian bawah gaun yang dikenakannya tampak basah.

"Seriously, kamu sudah disumpah untuk menyelamatkan nyawa manusia, bagaimana bisa melakukan upaya bunuh diri seperti tadi?" kata pria di hadapannya dengan gusar.

Benarkah tadi dia berupaya untuk bunuh diri? Di benaknya, Dyandra hanya ingin merasakan dingin dan sunyinya lautan.

"Halo? Kau masih sadar?" Pria itu memandanginya cemas.

"Kau--siapa?" sahut Dyandra akhirnya.

"Oh, saya Reza. Kita sempat kenalan di seminar kedokteran beberapa waktu lalu di Jerman." jawab pria itu.

Dyandra berusaha menggali memorinya, benar saja, pria di hadapannya ini adalah salah satu narasumber pada seminar kedokteran beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja Dyandra disergap rasa malu karena tidak mengenali pria yang tak lain direktur di rumah sakit tempatnya bekerja pula. Jika bukan karena menjadi peserta seminar, maka Dyandra pun nggak akan berkesempatan untuk berkenalan dengan mr. Reza.

"Oh, sorry Sir, saya nggak menyangka akan bertemu dengan mr. Reza disini." lalu kata Dyandra.

Dan semoga insiden tadi nggak menyebabkan izin praktiknya di rumah sakit Reza dicabut. Padahal tinggal dua bulan lagi pendidikannya selesai.

"Panggil Reza saja! Nggak perlu formal di luar rumah sakit." sahut pria itu, tampak menyesali celana jeans-nya yang basah.

"Maaf, saya nggak bermaksud...." kata Dyandra turut menyesal.

Namun Reza hanya melambaikan tangan, memimpin jalan untuk duduk di tepi pantai. Tanpa kemeja yang biasa melekat di tubuhnya, Reza tampak lebih muda dari yang selama ini Dyandra lihat.

"Usia Anda--" celetuknya.

"Tiga puluh tujuh." sahut Reza.

Dyandra terkesiap, "Saya kira baru awal tiga puluhan!"

Reza tersenyum simpul. "Saya memang setua yang orang-orang lihat."

Padahal barusan Dyandra berpikir Reza lebih muda dari yang selama ini ia kira.

"Usiamu dua tujuh?" tanya Reza.

"Eh? Iya." jawab Dyandra. Sedikit takjub Reza dapat menebak usianya dengan tepat.

"Jadi, kenapa kamu ingin bunuh diri?" tanya Reza setelah beberapa saat bungkam.

"Tadi saya nggak sadar. Tahu-tahu sudah berjalan jauh ke tengah lautan." jawab Dyandra, berterus-terang.

"Dan pada siapa pikiranmu tertuju sampai nggak sadarkan diri telah membahayakan jiwamu sendiri?" balas Reza.

"Itu--" Dyandra kesulitan menjawabnya. "Bukan siapa-siapa." lanjutnya.

"Seseorang yang penting buatmu." Reza menyimpulkan seenaknya.

Tapi itu tak salah. Dyandra memang sedang memikirkan Raka tadi, dan pria itu berarti segalanya baginya.

"Okay, I can't complain. Pasti sangat menyakitkan kehilangan orang yang kamu cintai." ucap Reza kemudian.

Dyandra menatap pria yang duduk di sebelahnya lekat, yang kini sedang memandang lurus ke tengah lautan lepas. Reza tidak seperti membicarakan Dyandra semata-mata, melainkan dirinya sendiri juga. Tapi yang ia dengar, keluarga kecil pria itu harmonis, meski belum dikaruniai anak.

"Tapi kalau saya boleh memberimu saran, jangan coba-coba membunuh dirimu, Dyan." kata Reza. "Pria yang kamu cintai, hanya akan menderita karenanya."

"Memangnya tahu apa kamu?" sahut Dyandra sengit. Nasehat Reza membuatnya marah. "Kamu sudah menikah dan hubungan kalian harmonis."

Reza menoleh. Dyandra merasa bersalah mendapati kesedihan di wajah pria itu.

"Sayangnya, saya mungkin orang yang paling tahu. Tiga kali--perempuan yang saya cintai berusaha untuk membunuh dirinya sendiri." jawab Reza, kembali memandang pekatnya lautan yang disinari cahaya rembulan.

Ini sungguh aneh. Padahal istri mr. Reza tampak baik-baik saja. Malah, sebagai anak tunggal dari pemilik rumah sakit tempatnya bekerja, wanita bernama Lena Gercke itu tampak selalu ceria. Jika bukan suaminya sendiri yang memberitahukan cerita ini kepada Dyandra, mungkin ia tak akan mempercayainya.

"Maaf. Saya nggak nyangka mrs. Lena pernah mengalami hal yang--" Apa? Menyedihkan? Pikir Dyandra bingung. "Hal tersebut."

Reza tampak tersenyum sedih. "Bukan istri saya, Dyan." katanya, menoleh ke arah Dyandra. "Namanya Diane. Dia--mantan tunangan saya." lanjutnya.

Lagi-lagi Reza tersenyum sedih. "Iya, saya nggak beruntung bisa menikah dengan perempuan yang saya cintai."

"Tapi kamu sudah menikah." kata Dyandra tiba-tiba merasa marah entah untuk apa. Mungkin ia hanya bersimpati pada perempuan yang Reza tinggalkan. "Dan kelihatannya kalian bahagia." lanjutnya sinis. Mungkin sebagian juga wujud emosi akibat Raka yang sudah memiliki kekasih lagi. Sementara dirinya masih nelangsa mengingati masa lalu mereka.

"Saya nggak akan menyangkal itu." sahut Reza. Lantas pria itu tersenyum getir. "Lucunya, saat ini saya seperti sedang melihat Diane, yang berkata bahwa nggak seharusnya saya bahagia di atas penderitaannya."

"Apa yang terjadi dengan--Diane?" tanya Dyandra.

Pandangan Reza tampak menerawang. "Lima tahun lalu, saya meninggalkannya, yang saat itu sedang berjuang untuk sembuh dari kelumpuhan. Diane kecelakaan, seminggu menjelang pernikahan kami. Orang tua saya sudah nggak sabar menunggu kesembuhannya, terlebih di keluarga besar kami, usia saya terbilang terlambat untuk menikah.

Diane sendiri sebetulnya belum ingin menikah. Dia seusia kamu. Dia masih ingin membangun karirnya. Tapi mungkin karena dia nggak enak hati selalu menolak permintaan dari keluarga besar saya, akhirnya ia setuju untuk menikah.

Lalu suatu hari setelah Diane kecelakaan, ayah mengundang koleganya untuk makan malam. Seorang pengusaha dari Jerman, yang memiliki satu orang putri. Sampai sini, mungkin kamu sudah bisa menebak kelanjutan ceritanya."

"Lalu ayah anda yang baik hati, memiliki solusi brillian yaitu menikahkan anda dengan tuan putri yang sempurna, alih-alih perempuan malang yang cacat?" komentar Dyandra sinis.

"Lalu bagaimana kabar Diane sekarang?" tanya Dyandra, beberapa saat setelah emosinya reda.

Reza tersenyum. "Sepertinya dia sudah bahagia sekarang. Dua hari lalu, saya melihatnya sedang makan malam bersama seorang pria. Dan saya nggak bisa lebih bahagia, ketika melihatnya sudah bisa berjalan lagi."

"Well, she deserve that." sahut Dyandra.

"Ya. Hanya saja, saya merasa iri. Saya harap, saya lah yang berada di posisi pria itu." pungkas Reza merampungkan ceritanya.

💔💔💔

MelewatkanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang