Melewatkanmu 21

20 2 2
                                    

Setengah jam berlalu. Diane dengan sabar menanti pria yang seperti biasa membuatnya menunggu. Dengan tenang, ia duduk di sebuah bangku di area outdoor Diskusi Café, salah satu tempat favorit kekasihnya. Yang berkonsep taman dan dihiasi dengan tanaman gantung serta berbagai tanaman hijau lainnya. Sejuk, namun bukan favoritnya. Diane lebih menyukai tempat seperti restoran bintang lima. Terutama karena di tempat ini seperti tidak ada privasi sama sekali.

"Sorry, aku terlambat! Tadi ada masalah di pabrik." seru Raka, menyesal.

"It's okay. Kamu mau pesan apa?" balas Diane, tersenyum.

Baginya yang penting Raka datang, itu sudah bagus. Ia tak mau muluk-muluk berharap pria itu datang tepat waktu, hal yang akhir-akhir ini sulit dilakukan Raka mengingat kesibukannya. Ia paham, tidak mudah bagi Raka banting setir dari seorang pemburu berita menjadi pengusaha.

Setelah tiga tahun berjuang mati-matian mempertahankan kantor berita, akhirnya Raka harus menerima kenyataan bahwa kantor tersebut bangkrut. Tak ingin semakin merugikan ayah Diane, Raka pun menolak suntikan dana dari beliau dan memutuskan pulang kampung membantu mengurus pabrik keluarganya. Bahkan meski ayah Diane menolak, Raka berkeras untuk memberikan uang hasil penjualan rumahnya yang di Jogja guna melunasi hutang.

Kembalinya Raka ke Jakarta tentu berdampak pada hubungan mereka. Diane harus rela LDR, hanya dapat bertemu dengan Raka sebulan sekali. Kadang malah tiga bulan sekali! Meski rindu membuat Diane berkunjung lebih sering.

"Seperti biasa." jawab Raka.

"Mas," seru Diane, tangannya melambai memanggil pelayan yang berdiri di depan meja server. "Nasi goreng jawa dan lemon tea."

Pelayan meninggalkan meja mereka usai mencatat pesanan Diane.

"Ka, besok kamu libur 'kan?" tanyanya.

"Besok, ya?" jawab Raka seraya mengernyit kening. "Besok aku akan bertemu dengan calon investor."

Hati Diane mencelos. "Oh, gitu. Berarti, kamu batal menemaniku menghadiri pesta pernikahan kak Raisa?"

Raka menepuk dahi. "Ya ampun, besok, ya, resepsinya? Can't make it, Di. Acaraku seharian. Dari pagi aku harus menemani mereka sarapan. Lanjut main golf, makan siang. Mengantar istri dan putrinya berbelanja. Makan malam dan tanda tangan kontrak jika mereka sepakat." terangnya panjang lebar.

"Tapi kamu udah janji sama aku sejak dua bulan lalu, Ka!" protes Diane.

"Aku tahu, tapi ini kesempatan emas, Di. Nggak mudah untuk mendatangkan investor dari Paris ini." sahut Raka.

Apalagi mengingat namanya masih awam di kalangan pengusaha, dan pabrik yang ia kelola bukan pabrik besar. Pabrik garment berskala nasional saja nggak berhasil menggaet investor satu ini!

"Tapi pernikahan kak Raisa juga hanya sekali seumur hidup." jawab Diane, keukeuh.

Raisa memang hanya rekan kerja di kantor ayahnya, namun wanita itu banyak membantu Diane beradaptasi di lingkungan baru yang dipenuhi manusia iri dan nyinyir. Hanya karena statusnya sebagai anak dari pemilik perusahaan dan masuk ke dalamnya tanpa melewati tes.

"Come on, Di. Mengucapkan selamat nggak harus di hari-H kan? Kamu berdarah Eropa, mestinya lebih santai menanggapi event seperti ini." balas Raka, sedikit kesal Diane merengek hanya karena hal kecil.

Wajah Diane memerah, emosinya tersulut sudah. "Kamu pikir karena aku berdarah Eropa lantas menganggap pernikahan sebagai sesuatu hal yang main-main, begitu? Kamu pikir semua orang Eropa seperti itu?"

"Okay, sorry kalau aku salah ngomong." sahut Raka, berusaha meredakan ketegangan diantara keduanya. Merasa malu kepada pelayan yang tengah menyajikan pesanan mereka di atas meja. "Sehari setelah hari-H, aku janji akan datang untuk memberi ucapan selamat kepada kak Raisa dan suaminya. Jadi sekarang kita bisa berhenti berdebat." pungkasnya, lantas menghisap lemon tea, bersiap menikmati nasi goreng yang mengepulkan aroma harum. Ia kelaparan dan kelelahan, tak mau buang-buang energi hanya untuk berdebat.

MelewatkanmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang