Happy reading
Love
***"Bukannya lo yang kasih dia nama"
"Oya?" Al meneguk minumnya, wajahnya sedikit berpaling "entahlah gue gak inget. Gue sering melupakan hal yang gak penting"
Cukup jelas. Segala yang berhubungan dengan Indira sengaja Al lupakan atau malah pura-pura melupakan. Seolah mereka tidak pernah memiliki hubungan apapun dimasa lalu. Indira tidak mengerti kenapa Al bisa sekejam ini. Apa dulu Indira melakukan kesalahan besar padanya? Menyebabkan cacat pada tubuhnya, merugikan keluarganya, menghancurkan masa depannya. Atau apa? Seseorang coba teriakan apa kesalahannya!
Senyum kecut mengihiasi wajahnya "iya emang itu gak penting. Gak perlu lo tanya"
"Namanya Itzi" Maya tertawa rikuh "mungkin Al lupa ya. Udah lama juga soalnya wajarkan Ra?"
"Maaf Al lupa. Akhir-akhir ini Al sibuk sama pindahan" terdengar pembelaan cukup apik.
"Oh sibuk ya. Kepala gak kebentur sesuatukan? Takutnya amnesia kaya di tv ikan terbang itu loh" tawa sarkas indira menyadi solois meja makan itu semuanya terlihat diam bahkan ibunya menyenggol bahunya. "Apa, kenapa. Bukannya itu lucu. Kok Ira merasa Al beda yah makanya bilang kaya gitu"
"Bahkan dalam satu menit dunia banyak mengalami perubahan. Dalam satu menit 250 bayi lahir, sekitar 3000 petir menyambar bumi, sekitar 136.824.000 karbondioksida lepas ke langit mendekati atmosfer bumi, ada 5.144.400 sampah baru. Masih mau menganggap gue sama?" Jelasnya mirip profesor
Yang menjadi fokus Indira adalah bagaiamana Al menghafal angka-angka itu?
"Alesto" suara berat ayahnya menegur.
"Aku udah selesai. Terimakasih makanannya, selamat malam semua"
"Tunggu" ibunya menyela kebangkitan Al "bukannya kamu mau memainkan biola untuk kami. Pasti semua ingin mendengarkan hebatnya bakat kamu yang luar biasa itu"
Maya terlihat antusias "memangnya Al bisa memainkan alat musik. Pasti itu akan hebat tante jadi gak sabar"
"Al memang banyak berubah ya sekaran, bagus apalagi perubahan yang positif" Gunawan terlihat sama bangganya. "Coba om pengen dengar"
"Al" panggil ayahnya ketika suasana mulai mebaik namun wajah Al menunjukan keengganan "ingat kesepakatan kita"
Al terlihat menghembusakn nafas pasrah "aku akan mengambil biolanya"
Mungkin Al mengalami hal yang sama seperti Indira sama-sama dipaksa untuk menghadiri perjamuan yang tidak penting untuk mereka. Tapi ayolah Indira saja bisa membuang muka kecutnya di hadapan tante Vita. Kenapa Al tidak bisa berpura-pura seperti dirinya, tidak sulit hanya mengukir sedikit senyum disaat orang bertanya.
Setelah berselang beberapa menit Al turun dari tangga menenteng biola dan bow. Menghadap para tetua di meja makan Al mulai menaikan biolanya. Bahkan saat Al baru melakukan gerakan itu sorakan ibunya terlihat norak di telinganya bahkan tak ayal malah membandingkan dirinya dengan Al, sudahlah mungkin cuman dinegara ini dimana anak tetangga lebih hebat dari pada anak sendiri.
"Demi tuhan Alesto sangat tampan. Dia lebih berkharisma dibanding kecil dulu, waktu bisa mengubah segalanya" maya menangkup pipinya sendiri seperti anak gadis yang baru kasmaran.
"Kaya papah waktu muda ya mah" goda suaminya.
"Iya.... Jelas beda" lanjutnya, membuat senyum Gunawan luntur seketika.
Suara ibunya masih berlanjut memuji apa yang melekat pada diri Alesto. Sedikit banyak Indira mulai terpengaruh dan memikirkan segala tuain pujian. Alesto lebih terlihat dewasa dan benar saat dia bicara atau menatap lawan biacaranya terasa berbeda. Badannya yang tegap saat berjalan turut andil memberinya kharisma selain wajah tampan yang sejak dulu menjadi guratan takdirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPOGULIS
RomansaTeror menyalip wajahnya. Semua semakin memburuk. Hidungnya mengkerut menahan bau alkohol yang sejak tadi menguar kuat dari mulut mereka. Diseret paksa badannya ringkih, kaki mulusnya tergores oleh beberapa benda keras dan tajam entah batu atau apala...