U- Umbrella | Nanase Riku

350 54 1
                                    

Tak ada yang lebih sendu daripada menikmati hujan di sore yang kelabu. Matahari tak punya kuasa lagi untuk melukiskan bayang-bayang di sepanjang paving block depan halte dekat sekolah. Sejak pagi, mendung yang memenuhi langit telah menyembunyikan matahari. Kini hanya angin yang sedikit nakal. Ia berdesir ke sana ke mari, sehingga hujan singgah di wajah [Name] sejenak sebelum luruh ke tanah.

Gadis berambut [hair color] itu duduk kedinginan di halte yang mulai kosong. Sendirian. Diam-diam ia mengumpat dalam hati. Meratapi hujan yang tiba-tiba turun di pertengahan Agustus, serta menyesali bus yang tak juga datang.

Untuk mengusir rasa jenuh, [Name] berusaha menikmati suara titik-titik air yang jatuh di trotoar depan halte. Mereka membentuk percikan-percikan kecil yang berirama. Gadis itu mulai terhanyut dalam irama air hujan, sehingga tidak menyadari kehadiran sosok laki-laki berjaket merah yang duduk berselang satu kursi dari tempatnya duduk. Laki-laki bersurai crimson itu sedang mengambil sesuatu dari tas ranselnya.

Ketika [Name] menoleh ke arah laki-laki itu, sebuah payung yang segera terkembang di tangannya. Warna biru terangnya mengingatkan [Name] pada warna langit di musim panas.

"Eh? [Name] belum pulang?" tanya orang itu begitu menyadari ada sosok lain di halte tersebut.

[Name] menggeleng seraya tersenyum canggung. Mungkin sedikit malu karena tertangkap basah memperhatikan laki-laki yang ternyata adalah teman sekelasnya itu.

"Bus-ku belum datang." jawabnya pelan.

"Souka?" Laki-laki itu mengangguk, "Mau pulang bersama?" tawarnya yang sukses membuat [Name] membulatkan matanya terkejut.

Seolah tersadar akan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya, laki-laki bernama lengkap Nanase Riku itu sontak gelagapan. Dan dengan wajah merona, ia berkata, "K-kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa. A-aku mengajakmu karena kudengar bus yang biasa kau tumpangi mengalami sedikit masalah karena ada kecelakaan lalu lintas, j-jadi mungkin bus-nya akan memakan waktu lumayan lama untuk sampai di sini."

[Name] terlihat berpikir. Mungkin ada baiknya jika ia menerima tawaran itu. Lagipula, Riku adalah laki-laki yang baik. Juga polos, tentu saja. Terkadang [Name] merasa bahwa mungkin Riku adalah seorang anak kecil yang terjebak dalam tubuh dewasa. Oke, itu konyol. Dan [Name] tau itu.

"A-apa tidak merepotkan?" tanyanya hati-hati. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin menyusahkan orang lain.

Riku tersenyum dan menggeleng, "Tentu saja tidak. Rumah kita searah, kan?"

"Baiklah."

Riku segera bangkit dari posisi duduknya. Laki-laki bermata merah itu tanpa sadar meraih sebelah tangan [Name] untuk berdiri di sampingnya. "Ayo kita pulang."

[Name] yang terkejut atas skinsip yang Riku lakukan hanya bisa mengangguk dan mensejajarkan langkahnya dengan laki-laki berambut merah itu.

Di bawah payung yang sama, mereka mulai berjalan di atas jalanan yang tergenang air karena sang langit belum juga menghentikan tangisannya sejak tadi.

"Riku-kun suka menyanyi ya?" tanya [Name] tiba-tiba.

Riku menoleh pada [Name]. Namun karena jarak mereka yang dekat dan juga tinggi mereka yang nyaris sama, Riku jadi bisa melihat wajah gadis yang diam-diam dia sukai itu dengan jelas.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Riku yang kini sudah kembali menatap lurus ke jalanan di depannya. Ah, ada rona tipis di wajah laki-laki manis itu

"Aku pernah melihatmu bermain dengan seorang anak jalanan di bawah payung yang melindungi kalian dari tetesan hujan. Kau memberinya roti dan mengajarkan anak itu bernyanyi. Dan kuakui, suaramu sangat bagus."

[Name] menemukan hal itu 2 bulan yang lalu tanpa sengaja. Dan tanpa sadar pula, ia terpikat dengan pemandangan indah bagai lukisan itu. Wajah tampan Riku yang tersenyum di bawah hujan yang turun membuat hati [Name] mencair dan membuat gadis itu terbayang-bayang akan sosok laki-laki polos tersebut.

"Ah, itu." Riku mengangguk, "Aku hanya bisa bertemu anak itu di hari saat turun hujan saja."

"Kenapa?" tanya [Name] bingung.

"Karena kami sudah berjanji." Riku tersenyum dan mulai bercerita, "Saat itu aku baru keluar dari toko kaset. Dia menawarkan ojek payung padaku karena hujan turun tiba-tiba. Aku menawarkan dia untuk tetap berada di bawah payung bersamaku, namun dia menolaknya. Dia memilih untuk tetap berada di luar payung dan berjalan di sampingku. Saat ponselku berdering dengan lagu Idolish7, dia mengikuti iramanya dan menyanyikannya. Sejak saat itu, kami menjadi teman."

Senyum tak lepas dari wajah Riku ketika laki-laki itu menceritakannya. Membuat [Name] yakin bahwa Riku adalah tipe orang yang begitu menjaga sebuah ikatan.

"Kau tersenyum sangat lepas, dan sesaat kau terlihat bersinar secerah matahari ketika menceritakan hal ini. "

Riku tertawa kecil, "Benarkah? Mungkin hujan yang membuat hatiku jadi tentram dan terasa nyaman. Aku sangat menyukai hujan."

"Sepertinya kita punya satu kesamaan."

"Apa?"

"Kita sama-sama menyukai hujan…" [Name] tersenyum. Dan dengan setengah menerawang, ia kembali berkata. "Aku baru menyadari hujan itu indah setelah melihatmu saat itu. Dan sejak saat itu pula aku selalu memperhatikanmu."

"Eh?!" Riku menoleh cepat pada [Name] yang kini membeku begitu menyadari ucapan konyolnya beberapa saat yang lalu.

'Bodoh! Apa yang aku katakan?!' rutuk [Name] dalam hati.

"M-maksudku-..."

"Kurasa kita tidak memiliki satu kesaamaan, melainkan dua."

"Hah?" [Name] menatap bingung Riku yang kini juga tengah menatapnya.

Apa maksudnya?

"Karena aku juga selalu memperhatikanmu."

Oh

Apa?!

ALPHABET [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang