V- Vanilla Latte | Kitakado Tomohisa

202 28 0
                                    

Kopi selalu matang dalam prosesnya dan vanilla selalu berpegang teguh pada karakternya. Dua unsur rasa yang selalu menjadi candu bagi para penikmatnya. [Name] bukan seorang penikmat kopi, tapi ia menyukai proses panjang kopi, mulai dari biji hingga tertuang dalam cangkir. Seseorang pernah berkata padanya, "Kau tahu, kualitas kopi  memang  menentukan rasa, tapi kau jangan pernah mengabaikan peran sebuah tangan yang dan meraciknya hingga tertuang pada gelas," ujar orang itu dengan penuh penekanan.

Bagi orang itu, kopi bukan sekadar kolaborasi antara air dan serbuk kopi, tapi kolaborasi antara jiwa dan kopi untuk menciptakan rasa. Dia bilang harus ada jiwa yang dituangkan dalam setiap adukan kopi sebelum segelas kopi dihidangkan untuk mencapai rasa yang sempurna bagi penikmat kopi sejati. Pendapat itu datang dari seorang lelaki yang sangat mencintai kopi , dia meyakini kalau dunia perkopian menjadi passion-nya. Keyakinannya itulah membawa dia terjun langsung meracik kopi, bukan hanya untuk sekedar dinikmati sendiri, tapi bisa dinikmati banyak orang.

Nama lelaki itu Kitakado Tomohisa. Dia meninggalkan pekerjaannya sebagai idol hanya untuk mengejar yang dia bilang passion-nya itu. Karena kegilaanya itu pula [Name] bisa duduk di sini. Di salah satu sudut kedai kopi yang bernuansa klasik tapi tetap diberi beberapa sentuhan modern yang terlihat dari beberapa dinding diberi gambar mural yang bisa dipakai untuk berfoto.

Kedai ini adalah usaha yang dirintis oleh Tomohisa. Keberadaan [Name] tentu saja untuk menunggu laki-laki itu. [Name] menunggunya dengan segelas milk shake rasa vanilla. Kedai ini tidak hanya menyediakan varian kopi pada menunya. [Name] bukan penimat kopi, bahkan sangat jarang untuk meminumnya. Hanya sesekali saat Tomohisa memaksanya untuk menyesap kopi hasil racikannya, vanilla atau green tea jauh lebih baik untuk [Name].

"Hai, sudah lama menunggu?" tanya Tomohisa sembari memeluk [Name] dari belakang dan mendaratkan dagunya di bahu gadis bersurai [hair color] itu.

"Coba saja kau cek sendiri. Jangan-jangan aku sudah karatan."

Tomohisa tertawa dan berpindah duduk di depan [Name] yang kini tampak merengut.

Lelaki tampan dengan tinggi 180cm yang mengaku sangat mencintai kopi ini memilih wanita seperti [Name] yang bukan penikmat kopi. Aneh bukan? Tentu saja. Kalau tidak aneh bukan Tomohisa namanya.

"Vanilla lagi?" tanya Tomohisa setelah melihat ke arah gelas kekasihnya.

"Vanilla jauh lebih baik dari kopi." jawab [Name] seraya mengangkat bahunya.

"Kenapa kau suka vanilla?" Tomohisa menatap [Name] lekat, berharap akan mendapat jawaban dari gadis yang dikasihinya itu.

"Vanilla itu berkarakter."

"Kenapa?"

"Vanilla itu lebih berkarakter dari pada kopimu, kemana pun vanilla berbaur, vanilla pasti akan tetap jadi vanilla." [Name] mencoba untuk menjelaskan.

"Kopi juga begitu."

"Kopimu itu kalau bertemu coklat jadi moccacino, mereka menciptakan rasa baru. Beda dengan vanilla yang tidak pernah menghilangkan rasa apapun. Dia tetap jadi dirinya sendiri."

Ini bukan perdebatan pertama mereka tentang kopi dan vanilla. Tomohisa suka menggoda [Name] karena kecintaannya pada vanilla dan semua filosofinya. Vanilla yang melambangkan kerendahan hati karena rupanya yang sederhana, tapi tetap menberikan rasa dan aroma yang manis pada penikmatnya. Vanilla dengan karakternya yang kuat, kemana pun vanilla berbaur, vanilla tak pernah merubah rasa. Vanilla tak pernah kehilangan jati dirinya, vanilla akan tetap vanilla. Berbeda dengan kopi yang selalu menciptakan rasa baru ketika dia bertemu dengan elemen yang lain.

Tomohisa tak pernah memaksa [Name] untuk menyukai kopi seperti dirinya. Tapi gadis itu tahu banyak hal tentang kopi dari Tomohisa. Mungkin [Name] bukan teman Tomohisa untuk menikmati kopi, tapi gadis itu menjadi teman Tomohisa untuk berbagi tentang mimpi dan pencapaiannya tentang kopi.

[Name] memang bukan penikmat kopi, tapi ia selalu menikmati kebersamaannya dengan Tomohisa setiap kali pria itu bercerita tentang kopi.

Bagi [Name] dan Tomohisa, mencintai bukan berarti mereka harus menjadi sama. Mungkin memang mereka harus memliki komitmen dan tujuan yang sama, tapi keduanya tidak menghapus perbedaan. Seperti kecintaan [Name] pada vanilla dan Tomohisa pada kopi, mereka tetap berbeda dan tidak memaksakan diri untuk menjadi sama.

Tomohisa pernah berkata, "Biarkan kita seperti ini. Kau tetap menjadi pecinta vanilla dan aku menjadi pecinta kopi. Aku tidak mau kau ikut menyesap pahitnya kopi. Biarkan aku saja yang merasakan manisnya vanilla karena keberadaanmu. Kau tahu kita tidak perlu menjadi sama. Kita tetap bisa bertahan pada rasa kita masing-masing. Kita hanya perlu susu menjadi penengah di antara kita, lalu kita hidangkan cinta kita dalam secangkir vanilla latte."

Tomohisa memaparkan filosofinya dengan antusias saat itu, dan [Name] menyukai filosofinya tersebut. Mungkin mereka adalah pasangan filosofi yang begitu hobi memaparkan sisi kehidupan.

ALPHABET [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang