14 : Ketika Fajar Menyingsing

1.6K 150 56
                                    

Sayang sekali cemilan malah terlaksana ketika fajar menyingsing, saat esoknya setelah pertemuan dengan petinggi-petinggi dua negara.

"Dingin, udaranya dingin, ya." Jepang memeluk dirinya sendiri. Akibatnya, ada getaran sedikit yang mendukung hawa dingin.

"Ya, begitulah di sini. Tapi segar, bukan?" Nesia menyodorkan air panas.

"Ya, segar." Jepang meraih gelas berisi air bening yang panas.

"Itu panas, hati-hati. Tapi kalau minumnya sekarang, nanti rasa hangatnya langsung mengalir ke seluruh tubuh!" Nesia merentangkan tangan seolah menuruti pesawat terbang.

Jepang tersenyum melihat kepolosan Nesia. Dia berdiri sambil menggenggam gelas. "Aku masih dingin."

"Benarkah? Kalau begitu, pakai selimut saja. Akan aku ambilkan!"

"Tidak, tidak perlu." Jawaban Jepang dan langkah kaki Jepang membuat Nesia mengerut heran. Lantas, butuh apa Jepang itu?

Jepang melangkah mendekati Nesia, duduk di karpet dan di samping Nesia. Bahu mereka bersentuhan, membuat Nesia tampak tak nyaman. "Nah, begini baru hangat."

Nesia tertawa patah-patah. Bukan sesuatu yang lumrah pria dan wanita berdekatan. Ketika hendak Nesia bergeser, Jepang menahannya.

"Sebentar saja, Nesia-san. Aku belum terbiasa dengan suhu di sini," ujar Jepang memohon.

"Eh? Em, tapi ...." Nesia merasakan dinginnya tangan Jepang. "Sebentar saja."

"Arigatou gozaimasu." Jepang tersenyum hangat. Dia semakin menggenggam tangan Nesia. Nesia semakin tidak nyaman; belum pernah dia rasakan ini. Padahal, dari dulu dia selalu digendong Belanda, digenggam tangannya oleh Spanyol, bahkan pernah dijinjing bak barang oleh Inggris.

Cukup lama mereka berdua dalam jarak sedekat itu. Bisa terdengar suara lain yang memecah hening. Entah itu dari sawah dengan para pekerjanya, ataupun cakap-cakap orang Jepang di sisi lain rumah. Dan satu hal lagi, suara deru napas mereka sendiri.

"A-aku lupa belum membereskan kamar." Dengan alasan ini Nesia bisa lolos dan melarikan diri. Dia berlari kecil menuju kamarnya. Padahal, masa iya Nesia lupa?

Jepang menatap kepergian Nesia. Dia sungguh senang bisa merasakan sedikitnya kehangatan Nesia, selain dari sikap gadis itu. Dia menghela napas, memikirkan misi-misi Asia Timur Raya miliknya. Dia menatap sejumlah cemilan di atas meja, meja yang ia berikan untuk Nesia.

Nesia kembali tak lama dari itu. Nesia menduduki tempat yang sebelumnya diisi Jepang.

"Sudah tidak dingin lagi, kan, Jepang?"

Jepang mengangguk.

"Kenapa cemilan di jam segini? Bukannya lebih baik kita sarapan saja?" Nesia sudah ingin bertanya sejak awal dibangunkan, tetapi sikap Jepang membuat ia sulit bertanya.

"Sou desu nee." Jepang mulai meminum air pemberian Nesia. Mungkin kini tak sepanas awal-awal. "Tetapi, aku belum begitu lapar. Aku ingin makan makanan ringan. Bisakah kita sarapan jam sembilan?"

Nesia agak terperanjat, itu bukan kebiasaannya. Paling tidak, Nesia selalu sarapan jam tujuh atau lebih tiga puluh menit dari jam tujuh, selebihnya dia sering terserang sakit.

"Jam setengah delapan kalau begitu?" Jepang dapat membaca dengan mudah gerak-gerik gadis di depannya.
Nesia langsung senang. Dia begitu polos dan mudah dibaca. "Maaf, ya. Aku bukannya gak suka cemilan. Tapi, kalau belum makan nasi, rasanya belum makan apa-apa." Nesia terkekeh dengan sikap kekanak-kanakan.

Jepang ikut terkekeh. "Kalau begitu kita sama."

"Sama? Benarkah?" Nesia ingin tahu kesamaannya dengan Jepang.

"Kita sama-sama suka nasi. Kita begitu mirip, bukan?"

Nesia terlihat lebih tertarik dengan pembahasan Jepang. "Kau benar, Jepang! Dan lagi, kita sama-sama Asia!"

"Ya." Jepang mengangguk. "Kau Tenggara, aku Timur. Meski begitu, kita tetap Asia."

Nesia mengangguk dua kali. "Cukup banyak persamaan kita, ya."

"Masih ada lagi persamaan kita, Nesia-san."

"Oh! Apa itu? Apa itu?" Nesia semakin tertarik.

"Bendera kita."

Mata Nesia langsung berbinar. Dia melengkungkan senyuman tipis yang mempesona. "Bendera." Dia mengangguk dalam. "Ya, bendera milikku! Sebentar lagi bendera milikku akan berkibar, bukan, Jepang?"

Jepang terdiam. Ah ... ya, siapa saja, personifikasi dari benua apa saja pasti ingin merdeka. Apalagi di tengah bergejolaknya Perang Dunia II ini. Dan lagi, bagi mereka yang terkena imperialisme Barat.

"Hm." Jepang mengangguk. "Benderamu akan berkibar, suatu saat nanti. Oleh karena itu, kita harus bekerja sama. Aku akan mengalahkan Amerika, dan kau harus mendukungku. Tak lama lagi, setelah itu, bendera milikmu akan berkibar."

Nesia terharu, dia mengelap tetesan air yang hampir terjatuh. Dia sudah banyak dikekang oleh orang luar lebih dari 3 abad. Mimpinya, mimpi rakyatnya, mimpi orang-orang yang telah gugur pada perlawanan terhadap Belanda, akan segera terwujud. Perasaan emosional seperti itu menggerogoti sanubari Nesia.

Dan Jepang pada akhirnya lebih suka Nesia tidak mengibarkan apa-apa.

Sebatas mimpi, akan aku biarkan, Nesia-san.

Samar-samar warna merah menyelinap dibalik mata Nihon.

°°°

To be continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nesia-san (Hetalia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang