12 : 愛している

1K 119 5
                                    

Dapat dipastikan betapa bahagianya Jepang saat ini. Sudah dari 1868 Jepang melirik Nesia. Waktu itu belum ada perasaan lebih. Hanya dengan terus menerus mengadu nasib di rumah Nesia ini, Jepang mulai tertarik dengan keramahan gadis itu. Dia terkadang ceroboh, tertawanya kadang sangat keras, tidak pernah pandang bulu pada siapapun. Pernah beberapa kali membantu orang-orang Jepang yang tinggal di Indonesia dengan begitu ramah tanpa ada tatapan curiga.

Berapa tahun Jepang hanya menjadi penonton? Belanda selalu bertengkar dengan Nesia. Tetapi, pertengkaran mereka tidak semuanya menghasilkan pemberontakan. Terkadang hanya karena beberapa masalah kecil mereka bertengkar, kemudian tak lama dari itu kembali akur dan saling melemparkan tawa.

Apakah hal yang sama akan terjadi padaku? Maksudku ... pada kita? Jepang bertanya pada dirinya sendiri. Dia berdiri di bawah pohon rindang tempat pertama Nesia menatapnya.

"Sudah kuduga ada di sini!" Jepang terkesiap lantaran belahan jiwanya datang dari balik pohon.

Kali ini, kebaya yang ia pakai berwarna kuning cerah. Beberapa helaian poninya menyibak ke samping. Ada helaian rambut lain yang ke luar dari jalur tusuk konde. Ingin rasanya Jepang menggapai dan membenarkan helaian yang ke luar jalur itu.

"Sudah tak bisa kabur lagi, lho!" Nesia ke luar seutuhnya dari tempat persembunyian.

Jepang mengenakan pakaian yang waktu itu. Kimono pendek dengan celana hitam. Kimono berwarna biru tua. Topi segitiganya masih nyaman menutupi kepala. Nesia melangkah tiga kali agar mendekat. Dia mempunyai wajah ceria yang cerah. Pipinya berisi dengan tatapan hangat mentari.

"Aku pemalu, sumimasen." Jepang menekan topinya ke bawah. Dia menahan senyum, beberapa hamparan merah muda menyapu pipinya memberikan warna yang lucu.

"Benarkah? Padahal jangan pemalu! Aku kan menyambutmu." Nesia mengeluarkan suaranya yang menggema. Begitu membuat jantung Jepang berdegup-degup. "Ayo buka topimu, Jepang!"

Jepang mengangguk. Dia perlahan melepaskan penghalang. Pandangan Nesia yang mungil dan menggemaskan itu semakin terlihat. Pertama yang Nesia lakukan ialah tersenyum lebar. Jepang membalasnya dengan senyuman tipis. Terkadang dia sangat pemberani, terkadang dia sangat pemalu. Begitu kikuk.

"Ayo, kita jalan-jalan! Sekalian sapa wargaku. Aku juga akan menyapa wargamu!" Nesia setengah berbalik. Angin yang datang mempermainkan poni. "Oh iya, waktu itu Belanda mengusir orang-orangmu, ya? Apa wargamu tidak kelaparan? Waktu itu, wargamu kan sedang kesulitan-"

"Tenang." Jepang berjalan mendekat. Cukup dekat sampai Nesia harus mendongkak. "Sekarang sudah tidak apa-apa. Terima kasih, Nesia-san."

Nesia tersenyum kembali. "Sama-sama."

Mereka berjalan bersama. Mengarungi tanah kelahiran Nesia tanpa banyak perbincangan. Nesia lebih sering menyapa dan mengobrol dengan warganya yang ia jumpai. Nesia memberikan beberapa info tentang barang-barang khas Indonesia kepada Jepang. Jepang mengangguk dan tersenyum.

Tapi, senyuman Jepang tidak bertahan lama. Dia mengingat titah-titah bosnya. Aku harap, waktu berhenti di sini. Jepang berhenti berjalan. Nesia menyadari itu, dia kembali ke tempat Jepang. Jepang menunduk untuk menatap mata Nesia. Nesia terkunci di sana.

"Jepang? Jangan bersedih! Belanda sudah pergi!" Nesia meyakinkan.

Jepang terkejut. Bukankah kata-kata itu berlaku untuk Nesia sendiri? Jepang sedih karena tahu masa depan Nesia akan seperti apa.

"Ya, aku takkan bersedih. Asal kau selalu di sampingku."

Nesia sebentar merasa tersipu. "Kamu kayak anak kecil saja!" Dan kembali menjadi ceria.

Jepang tertawa pelan mendengar Nesia.

Pemuda Asia Timur itu akan menikmati waktu yang ada sambil sedikit demi sedikit menuntaskan misi ajaran Shinto; misi dari bosnya.

°°°

To be continue...

Nesia-san (Hetalia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang