Bab 2

980 40 1
                                    

Klik tanda bintang, kalau kalian suka cerita ini.
😘
.
.
.
💔💔💔

Mendung. Udara di tempat tinggalku yang memang berhawa sejuk menjadi semakin dingin. Kulitku bertambah pucat karenanya.

"Aruna, cepat mandi, Nak! Nanti bisa terlambat sekolah." Ibu berseru dari arah dapur.

"Dingin, Bu." Aku menghampiri Ibu, lalu duduk di depan meja makan. Memeluk tubuh sendiri. "Sebentar lagi, deh."

"Hei ... anak gadis, kok, malas mandi, sih?! Kalau nanti dapat suami yang jorok, emangnya mau?"

"Idiiih, Ibu jahat banget sama anak sendiri." Aku cemberut.

Ibu terkekeh. "Bukan gitu, Anak manis ... tapi mana ada pangeran tampan yang mau sama gadis yang malas mandi?"

"Ah, enggak juga. Kata orang, kan, jodoh itu di tangan Tuhan, nggak bakal ke mana. Apalagi ketuker, mustahil. Jadi kalau emang Aruna ditakdirkan punya suami tampan dan baik hati, nggak mungkin nyasar ke mana-mana dong, Bu."

Ibu menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapanku yang panjang lebar.

"Waaah ... lagi pada ngerumpi apa, sih, kok, rame banget, ya?"

Ayah datang dan langsung duduk di kursi sebelahku. Sudah siap dengan seragam profesinya yang tampak sangat berwibawa. Guru.

"Ibu jahat tuh, Yah. Masa, Aruna dibilang bakal dapat suami yang jorok." Aku menopang dagu di meja dengan kedua tangan.

Ayah mengulum senyum dan berbisik, "Cowok emang nggak bakal mau sama cewek yang males mandi. Iiih, bau aseeeem." Ayah mencubit hidungku.

"Iiih, Ayah sama aja, niiih, jahat!"

Aku makin memberengut ditertawakan Ayah dan Ibu.

Selanjutnya? Seperti biasa, aku melendoti Ayah dan menyandarkan kepala di bahunya. Dia menciumi ubun-ubunku.

"Aruna sayang, suatu saat nanti, bahu Ayah nggak akan sekokoh seperti sekarang, Nak. Harus ada seseorang yang menggantikan ayah untukmu. Untuk menjadi pelindungmu." Ibu mendekat, duduk bersama kami dan membelai rambutku. "Jadilah gadis baik, Nak. Agar Tuhan menghadiahkan seseorang yang spesial untukmu, Aruna. Sebab, wanita baik untuk pria baik. Begitupun sebaliknya." 

Aku mengernyit. "Aruna nggak butuh siapa pun. Punya Ibu dan Ayah udah cukup, kok."

Ibu menggeleng, menangkup kedua pipiku untuk menghadap ke arahnya. "Kamu salah, Nak. Hidup itu lebih nyaman jika saling melengkapi. Seperti kami, ayah dan ibumu ini. Dan kamu semakin melengkapi kami."

Kutatap mata sendu wanita di hadapanku. Ibu sangat cantik

"Benar, Sayang." Ayah membela Ibu. "Dan kami tidak akan henti-hentinya mendoakanmu, Aruna. Agar mendapat seorang pendamping hidup yang terbaik."

"Iya, iya ... Aruna ngerti deh." Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi. "Udah, ah. Aruna mau mandi. Ayah sama Ibu ngomongin jodoh melulu. Aruna, kan, masih kelas dua SMP. Punya pacar aja belum."

Berjingkat ke kamar mandi, kutinggalkan Ayah dan Ibu. Pura-pura tak peduli dengan nasihat mereka. Padahal, dalam hati bicara, 'Tuhan ... tolong kabulkan doa kedua orang tuaku. Aku ingin seberuntung Ibu, mendapat suami yang luar biasa baik seperti Ayah. Dan aku janji, akan belajar menjadi istri sehebat Ibu. Amin ....'

Alarm ponsel terdengar nyaring. Menyeret kesadaranku kembali.

Kenangan singkat itu kembali menjadi bunga tidur. Andai bisa, aku rela hidup selamanya di alam mimpi. Di mana hanya ada senyum dan tawa. Sebab kini, ketika terbangun, yang kudapati hanyalah ... sepi.

Aruna Mencari Cinta (telah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang